Selamat Jalan, Pak Swan!

Figur Pak Swan mengingatkan pada sosok Bima yang keras dan amat tegas, sementara Pak Jakob Oetama bagai Yudhistira yang lebih reserved.

Senin, 12 Agustus 2019 | 00:20 WIB
0
793
Selamat Jalan, Pak Swan!
P. Swantoro dan Jakob oetama (Foto: Dok. Pribadi)

Tadi siang saya melayat ke rumah Pak Polycarpus Swantoro, mantan Wakil Pemimpin Umum/Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, tempat saya pernah bekerja sebagai anak buahnya.

Rumah yang bersahaja di Kompleks Perumahan PWI, Jalan Media Massa, Cipinang Muara dekat Kebon Nanas. Jenazah Pak Swan dibaringkan di peti jenazah. Wajahnya yang sedang dirias terlihat teduh. Yang menarik perhatian saya adalah drawing potret diri Pak Swan, sedang memegang sebatang rokok. Beliau memang perokok yang kuat.

Bagi saya, figur Pak Swan mengingatkan pada sosok Bima yang keras dan amat tegas. Sementara Pak Jakob Oetama bagai Yudhistira yang lebih reserved. Dwi Tunggal yang saling komplementer. Usia mereka berbeda hanya empat bulan. Januari lalu Pak Swan genap berusia 87 tahun.

Kemarin beliau masih sempat meminta diantar ke gereja, padahal biasanya ke misa tiap hari Minggu. Seolah ini menjadi tanda bahwa Pak Swan siap menghadap Sang Khalik.

Putra pertama Pak Swan, Nuranto, berkisah betapa ayahnya menjadi "kalong" belasan tahun sebagai redaksi malam, sehingga mereka jarang berjumpa di rumah. "Saya biasa memanggil Bapak, Lu. Hahaha," tuturnya. Amat egaliter.

Kemarin saya berjumpa Mas Nuranto dan adik bungsunya, Ernanto serta Bu Swantoro yang masih terlihat sehat. "Ernanto tadinya diharapkan lahir sebagai anak cewek, sudah disiapkan nama Ernawati. Eh ternyata cowok lagi," kisah Nuranto. Pak Swan beranak empat cowok. Putra kedua telah wafat.

Salah satu kenangan akan ketegasannya adalah ketika pertengahan tahun 1985 saya minta izin setengah tahun untuk menyelesaikan skripsi sarjana saya di Fakultas Biologi UKSW Salatiga. Pak Swan berkata, "OK you selesaikan sekolahmu. Kalau tidak selesai juga, you keluar dari Kompas!"

Baca Juga: "Dari Buku ke Buku", Selamat Jalan Pak Swantoro...

Alamak. Waktu saya masuk di Kompas pertengahan 1981, syarat jadi calon wartawan waktu itu hanya Sarjana Muda.

Sebenarnya saya tinggal merampungkan skripsi. Tapi saya tinggalkan kampus selama empat tahun, sehingga di DO. Untung tahun 1985 saya diizinkan mendaftar ulang, untuk "membayar utang" ke Alma Mater pertama saya.

Kompas adalah Alma Mater kedua saya, yang telah banyak memberi kesempatan mengembangkan diri.

Selamat jalan, Pak Swan. Rest in Peace.

***