Susi Pudjiastuti [3] dari Bikin Bappenas Marah sampai Ogah Beli Pesawat PT DI

Itulah sosok Susi, yang alam menjadikannya pengusaha, musibah menjadikannya malaikat, dan kebobrokan pemerintahan menjadikannya pemberontak.

Minggu, 7 Juli 2019 | 23:21 WIB
1
520
Susi Pudjiastuti [3] dari Bikin Bappenas Marah sampai Ogah Beli Pesawat PT DI
Susi Pudjiastuti (Foto: Tribunnews.com))

Hingga tahun 2008, Susi Air mengoperasikan 26 pesawat. Pada tahun 2010 bertambah 0 unit lagi. Ke-26 pesawat Susi Air itu berpangkalan di Pangandaran, Jakarta, Medan, Balikpapan, dan Papua. Jalur perintis yang baru dibuka adalah rute Kendari – Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Saat peresmian rute itu, Susi mengingatkan Bupati Wakatobi, Susi Air tidak akan nengangkut cargo yang berisi ikan hias.

“Kalau kami dipaksa, saya kembalikan uang Bapak, saya pulang. Saya gak mau dengar suatu hari orang Wakatobi bilang, ikan hias di sini sudah habis, diangkut pesawatnya Bu Susi.”

Banyak perusahaan penerbangan yang menerbangi rute perintis mengalami kebangkrutan. Menurut Susi, seharusnya mereka tidak boleh rugi karena disubsidi. Kalau rugi, berarti ada yang gak beres dalam manajemen keuangannya.

Susi mengakui, pada awalnya bisnis aviation membuat perusahaannya bleeding secara brutal dalam cashflow. Kredit pesawat di Indonesia tenornya cuma delapan tahun. Padahal di luar negeri bisa 15 sampai 20 tahun, karena itu cicilannya menjadi mahal.

“Terpaksa kita harus puasa, tiap bulan harus bayar cicilan ke bank dan biaya operasional. Nyaris tak pernah ada likuiditas di perusahaan. Itulah bisnis aviation, kata Warren Buffet, 'when a billionaire become a millionaire'. Karena itulah saya pakai pesawat baru, agar tingkat efisiensinya tinggi,” kata dia.

Kunci sukses Susi Air, menurut penerbang senior Capt. Kabul Riswanto, adalah controlling system perusahaan yang cukup bagus terhadap operasional pesawat, dan pesawat yang dioperasikan memiliki efisiensi tinggi.

“Banyak airliner rute perintis yang bangkrut karena tidak efisien dan tidak adanya pengawasan terhadap crew di lapangan,” kata Kabul yang juga pernah menjadi pilot Kepresidenan di Garuda Indonesia.

Menurut Kabul, rata-rata margin pada bisnis penerbangan perintis tidak lebih dari 3%. Sehingga untuk mencapai margin itu, diperlukan setidaknya tujuh pesawat yang efisien. Pesawat-pesawat Cessna Caravan yang dioperasikan Susi Air, adalah salah satu pesawat yang paling efisien.

Susi bercerita, di daerah remote pesawatnya tidak selalu mengangkut penumpang. Di Papua misalnya, Susi Air biasa mengangkut bahan makanan, mayat, tiang BTS, kertas pemilu, semen, gubernur sampai menteri.

Sekarang banyak pemda yang men-charter pesawat Susi Air untuk jangka waktu tertentu, dan jika tidak dipakai, pemda-pemda itu menjual seat ke calon penumpang.

Kesulitan utama yang waktu itu dialami perusahaan penerbangan adalah kekurangan pilot. Pilot yang baru lulus sekolah penerbang sudah diambil Boeing. Untuk menjadi co-pilot di pesawat besar minimal 3.000 jam terbang di pesawat kecil, karenanya banyak pilot pesawat propeller yang jam terbangnya sudah di atas 3.000, pindah ke airliner besar.

Sedangkan kalau memakai pilot asing, kata Susi, urusannya banyak. Harus mengurus ke Depnaker, Department Perhubungan, Kepolisian, BAIS, TNI AU. Tapi itu satu-satunya pilihan, karena pilot lokal tidak ada.

Waktu itu, Garuda saja perlu 100 pilot per tahun. Sementara satu sekolah penerbangan di Indonesia paling banyak menghasilkan 20 pilot baru per tahun, sedangkan kebutuhannya sekitar 3.500 pilot. Karena itu Susi Air mendirikan flying school di Pangandaran. Sekolah itu mulai beroperasi Juli atau September 2009.

Baca Juga: Kisah Sukses Susi Pudjiastuti [1] “My Name Is Susi, But There Is No Susi Air.”

Pertanyaan yang paling patriotik yang pantas diajukan ke Susi adalah, kenapa tidak memakai produk PT Dirgantara Indonesia?

Untuk pesawat kecil buatan PT DI yaitu NC 212, masih terlalu besar untuk mendarat di Pangandaran atau bandara-bandara perintis lain. Selain itu, harganya mahal dan tidak ekonomis untuk mengangkut hasil laut. Belum lagi masalah term and condition dalam kontrak yang serba tidak jelas.

"Kalau saya memesan Cessna dari Wichita, Amerika Serikat jelas, harganya sekian, delivery kapan, kalau tidak tepat waktu penaltinya berapa, dan seterusnya. Tapi kalau pesan ke PT DI, yang jelas hanya harganya, selesainya kapan, jika terjadi ini-itu bagaimana, tidak ada clausulnya."

Tentang bisnis kelautan, Susi punya satu kisah konyol. Suatu hari sekitar tahun 2006, ia diminta datang ke Bappenas untuk memberi pandangan dan pemikirannya sebagai pengusaha hasil laut yang sukses.

Ceritanya, ada pemilik sebuah kapal barang di Spanyol mau menjual kapalnya ke Indonesia. Kapal itu berukuran 5.000 death weight tones (dwt). Menurut orang-orang Bappenas, kapal itu bisa dibeli dengan cara patungan oleh sejumlah koperasi nelayan di Indonesia. Mereka meminta pendapat Susi, sebaiknya kapal itu diapakan agar berguna bagi para nelayan Indonesia.

Pertanyaan itu tidak langsung dijawab Susi. Justru dia balik bertanya, “Siapa yang membiayai perjalanan kapal itu dari Spanyol hingga nongkrong di Tanjung Priok?”

Tak seorang pun yang ada di sana menjawab pertanyaan Susi. Biaya untuk mendatangkan kapal sebesar itu dari Spanyol ke Jakarta, tidak akan kurang dari Rp500 juta. Nah, kalau jadi kapal itu dibeli, biaya perjalanan mendatangkan kapal itu akan dimasukkan ke dalam harga kapal. "Itu pasti sebuah praktik pat gulipat."

Ada tiga jawaban Susi untuk menjawab pertanyaan tadi: sebaiknya diapakan kapal itu? Pertama, kalau ada modal, rombak kapal itu menjadi restoran seafood yang terapung. Tapi jika tidak ada modal, bisa memilih jawaban kedua: rombak kapal itu jadi lapang bola terapung, kumpulkan semua nelayan, suruh mereka main bola di sana. “Biar para nelayan itu gembira.” Dan jawaban ketiga: tenggelamkan kapal itu jadi rumpon, agar menjadi sarang ikan.

“Toh nanti nelayan juga yang untung, kalau ikan banyak berkumpul di situ,” kata Susi.

Mendengar jawaban Susi, orang-orang Bappenas itu marah, dan rapat langsung ditutup. Lagi pula, kata Susi, kalaupun koperasi nelayan dikumpulkan, mana sanggup membiayai operasional kapal sebesar itu?

Tsunami Pangandaran

Tahun 2005 giliran Pangandaran, kampung halaman Susi yang diterjang tsunami. Bukan hanya industri pariwisata yang hancur, bisnis Susi pun kembali jatuh. Industri hasil laut terpukul, kembali ke titik nol selama dua tahun. Namun untuk tidak terjadi PHK, saat itu Susi mensubsidi perusahaannya Rp1 milliar per bulan.

Adapun hal yang lebih membuat Susi marah, sehari setelah terjadi tsunami, saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui juru bicaranya Andi Malarangeng mengatakan, "Tsunami di Pangandaran tidaklah separah yang terjadi di Aceh setahun sebelumnya. Sehingga Presiden tidak merasa perlu untuk berkunjung ke Pangandaran."

Mendengar pernyataan itu, Susi langsung mengumpulkan wartawan untuk konferensi pers. Di situ Susi mengatakan, pernyataan seperti yang dikemukakan oleh Andi Malarangeng itu tidak pantas dikemukakan pihak Istana, dan sikap seperti itu menunjukan bahwa Istana tidak memiliki empati bagi masyarakat Pangandaran yang terkena musibah.

“Memangnya nyawa orang Pangandaran tidak lebih penting dibanding nyawa orang Aceh? Kalau Presiden tidak mau datang ke Pangandaran, cukup diam saja. Tidak perlu memberikan pernyataan seperti itu. Kami bisa bangkit sendiri. Dan uluran tangan dari sesama masyarakat di Indonesia akan berdatangan ke sini!” kata Susi, geram.

Kemarahan Susi seperti itu, terjadi lagi setahun kemudian, tahun 2006 ketika Daerah Istimewa Yogyakarta diguncang gempa. Saat itu Susi mau mengirimkan bantuan makanan dan pakaian dengan pesawatnya. Karena Bandara Adi Sutjipto masih ditutup, maka pesawat siap mendarat di lapangan terbang Kota Gede. Tapi apa yang terjadi? Pesawat Susi tidak diizinkan mendarat di sana, dengan alasan: lapangan terbang itu belum diresmikan.

“Sinting nggak alasannya kayak gitu?! Sementara orang-orang di sana menanti bantuan!”

Itulah sosok Susi, yang alam menjadikannya pengusaha, musibah menjadikannya malaikat, dan kebobrokan pemerintahan menjadikannya pemberontak. Ketika ditanya, akan seperti apa Susi Air dan bisnis hasil laut miliknya dalam lima sepuluh tahun tahun mendatang? Dengan mantap Susi menjawab, “Saya tidak tahu!”

(Selesai)

***

Tulisan sebelumnya: Susi Pudjiastuti [2] Tsunami Aceh Titik Balik Melesatnya Susi Air