Belajar dari Harmoko

Harmoko adalah figur yang sangat kritis pada masa Orde Lama. Tercermin dalam banyak karikaturnya. Ia tak pernah setuju dengan gaya agitasi PKI, yang penuh manipulatif dan sangat konfrontatif.

Selasa, 6 Juli 2021 | 19:16 WIB
0
564
Belajar dari Harmoko
Harmoko (Foto: CNBC Indonesia)

Diam-diam sejak lama sekali, saya adalah pengagum Harmoko. Bukan dalam cerita karier politiknya, tapi tentu saja dalam bagaimana ia memperjuangkan hidupnya. Ia adalah gambaran pribadi yang dalam kultur Jawa disebut "wani perih". Berani berjuang dari tingkat yang paling bawah sekali. Dari titik yang banyak orang menganggapnya "asor". Paria! Ia sempat menjadi seniman gelandangan di Senen, sebuah komunitas yang barangkali hanya punya tandingan di Malioboro bila konteksnya di Jogja.

Kawasan Senen pada awalnya adalah daerah berawa dan penuh semak belukar, dimana celeng dan ular beludak adalah penghuni tetapnya. Hingga Justinus Van Vinck menyulapnya jadi sebuah pasar, sebagai "pasar tengah" antara Tanah Abang dan Meester Cornelis. Karena posisi strategisnya itulah, Pasar Senen tak pernah melulu jadi pasar sebagaimana Tanah Abang. Ia menjadi melting point, bagi banyak inteletual, seniman, pemikir, aktivis bertemu dan berkumpul.

Dunia penerbitan Indonesia juga tumbuh subur di daerah ini. Balai Pustaka, kantornya tak jauh dari sini. Demikian pula dulu Haji Mas Agung mendirikan jaringan penerbit yang kemudian gulung tikar itu, Gunung Agung. HMA adalah profil yang absurd seorang Tionghoa, tapi bernama Bali, tapi agamnya Islam.

Demikian pula banyak lorong di sekitar Kramat dan Kwitang menjadi pasar buku, baru maupun loak yang menjadi titik bangkit kecerdasan anak bangsa. Jangan mengaku intelektual sejati, bila belum pernah blusukan di kawasan ini...

Pun demikian, perusahaan-perusahaan penerbitan baik media massa maupun buku tumbuh di kawasan ini. Sebut saja satu "orang besar di dunia budaya" di Indonesia, yang tak tersentuh dalam lingkungan pergaulan Senen. Konteks inilah, mengapa dulu orang PKI dalam agitasinya selalu menempatkan kawasan ini sebagai medan tempurnya. Di luar untuk merekrut anggota baru, juga menghancurkan reputasi para lawan yang dianggapnya berseberangan dengan dirinya.

Mungkin demikianlah gambaran unik Pasar Senen pada masa-masa lalu. Sebelum di hari ini, berhenti sebagai pasar konfeksi owolan, pakaian bekas dari luar negeri. Dan tempat mencari massa untuk demonstrasi bayaran.

Baca Juga: Harmoko, Bukan Sekadar "Hari-hari Omong Kosong"

Dan lingkungan pergaulan seperti inilah Harmoko tumbuh dan menempa diri. Bakat awalnya mula-mula adalah menggambar, lalu ia mengadu nasib menjadi seorang kartunis. Kartunis adalah sebuah keahlian yang unik yang tak semua orang miliki. Dari ketrampilan ini dengan mudah menjadi seorang penulis, karena kepekaan sosialnya, kapasitas intelektualnya dan selera humornya. Sesuatu yang tak bisa dibalik, seorang penulis belum tentu ia bisa menggambar apalagi menjadi karikaturis.

Sikap sinistik, kritis, dan penuh empati inilah yang menjadi bekal ia pelan-pelan melakukan pansos, atau kalau meminjam istilah Jawa "alon-alon munggah bale". Beruntung ia dilahirkan di Nganjuk, sebuah kultur yang membekalinya tradisi wayang kulit. Ia bisa mendalang tanpa pernah benar-benar belajar, ia bisa begitu saja. Hal seperti dirinya banyak saya temukan dalam banyak figur lain yang berasal dari kawasan Timur Laut Mentaraman ini. Bekal inilah, yang kemudian menjadi bekal dirinya memiliki kemampuan komunikasi dan watak asketik yang sangat kokoh.

Karirnya melesat pesat, setelah berpindah-pindah di banyak media. Saat ia mendirikan Harian Pos Kota. Sebuah koran kuning, yang tirasnya pada massanya tak tertandingi. Nyaris semua orang bisnis kelas kambing akan memasang iklan di media ini. Hingga kita menemukan 3/4 bagian dari koran ini adalah "kolom iklan".

Harian ini adalah "koran rakyat tanpa pernah menjadi komunis". Ia memiliki keberpihakan pada selera rakyat, tanpa terbebani menjadi intelektual yang sering kakinya tak menapak ke bumi. Ia sangat terasah secara paripurna sebagai "Menteri Penerangan", jauh sebelum ia ditarik ke dalam dunia birokrasi Orde Baru.

Artinya, hal ini membantah anggapan bahwa ia bisa masuk ke lingkaran Bina Graha, sekedar karena hubungan kekerabatan antara istrinya dengan Bu Tien Suharto. Ia memang memiliki bakat alami yang luar biasa, yang kemudian sialnya banyak ditiru oleh para buzzer di hari ini yang sayangnya tak memiliki bekal dan jam terbang yang sama. Sesuatu ironi yang sangat menyedihkan!

Harmoko adalah seorang pembelajar yang tangguh.

Suka atau tidak, ia adalah seorang Menteri Penerangan selama tiga periode kabinet. Dalam sebuah rejim semi-otoriter, yang konon Presidennnya pernah dianggap sebagai paling korup sepanjang masa (sic!). Dimana demokrasi diperbolehkan, tapi dibatasi, didikte, dan sekedar pelengkap. Sekedar "genep-geneping urip kanagaran".

Peran seorang Menpen adalah salah satu yang terpenting, di luar menteri-menteri yang berafiliasi dengan bidang Hankam dan Ekuin. Ia adalah timbangan tengah, mizan yang memiliki akses ke semua informasi termasuk di dalamnya hal-hal yang sifatnya intelejen dan strategis.

Bagi saya, inilah kenapa ia selalu mengatakan dan memiliki ciri abadi jargon "sesuai dengan petunjuk bapak Presiden". Di luar ia, memposisikan diri sebagai juru bicara, ia juga menempatkan diri sebagai orang yang "mikul dhuwur mendhem jero". Yang maknanya jadi banyak sekali: butuh perlindungan, sadar kapasitas, dan keterbatasan. Sesuatu yang sering secara gampang dipahami oleh para pembencinya justru sebagai "penjilat" atau sekedar "asal bapak senang". Bener ning ora pener...

Banyak yang tidak tahu sejarah, bahwa popularitas dan loyalitasnya itu, kemudian justru mengundang cemburu dari lingkaran dalam keluarga Cendana. Ia diberhentikan di tengah jalan, bukan saja dari Menteri Penerangan, tapi juga sebagai Ketua Umum Golkar. Sesuatu yang diterimanya secara legawa, karena tak terlihat ia melakukan banyak perlawanan. Hingga ia justru punya momentum aneh, saat Menjadi Ketua MPR di tahun 1997 ia mengangkat Suharto secara aklamasi. Setahun kemudian ia jugalah yang memberhentikan Suharto sebagai Presiden.

Baca Juga: Selamat Jalan, Pak Harmoko…

Sebuah ironi yang luar biasa! Menunjukkan bahwa yang namanya karma itu satu-satunya hal yang tak pernah kita hitung, tapi saat dirinya tiba kita tak akan memiliki kemampuan menolaknya.

Ironi yang sama anehnya, saat ia menjadi satu-satunya Menteri dalam era Orde Baru yang rumahnya di Sala dibakar dalam kerusuhan massa. Ia senasib dengan Liem Sioe Liong yang juga menjadi satu-satunya konglomerat pendukung Orde Baru yang rumahnya diporak-porandakan dalam kerusuhan Mei.

Hal-hal seperti inilah yang kita tak tahu sampai kapan, akan menemukan terus terang dalang siapa sesungguhnya dalang Peristiwa Mei 1998. Yang konon file aslinya hasil penyelidikan oleh sebuah Komisi Ad Hoc tiba-tiba raib di tangan SBY itu. Misteri yang absurd di negara yang katanya demokratis dan Islamis itu!

Banyak orang yang tidak mengerti, Harmoko meninggal karena sebuah penyakit yang belum ada obatnya. Sebuah penyakit yang dinamakan supranuklear progresif atau progressive supranuclear palsy (PSP). Sebuah kelumpuhan yang menyerang organ otak. Gangguan yang terjadi akibat kerusakan sel-sel di area otak yang mengontrol gerakan tubuh, koordinasi, pemikiran, dan fungsi penting lainnya.

Saya bisa bayangkan, seumur hidupnya ia habiskan dengan berpikir, berpikir, berpikir. Otak yang lelah, kelelahan karena realitasnya ia adalah seorang otodidak, yang tak pernah hirau pada pendidikan tinggi apalagi gelar-gelar akademis. Sesuatu yang saat-saat ini saya pikir justru lebih sebuah beban, daripada kebanggaan dan kekuatan.

Ia tetap menulis di harian miliknya dengan tema besar "Kopi Pagi", hingga kemudian Covid-19 menghampirinya. Tak pernah tertolong, karena ampirannya ke RSPAD hanya untuk memastikan kematiannya. Kematian yang tidak merepotkan siapa-siapa, tak butuh waktu lama antara waktu meregang hingga nyawa melayang ke udara. Jenis kematian yang indah dalam budaya Jawa. Kematian yang dirindukan semua orang baik...

Bagi saya, Harmoko bukanlah melulu "Hari-Hari Omomg Kosong". Ia adalah sejenis orang yang selalu dicerca dan dihina, tapi semua orang memimpikan memiliki semangat, kegigihan dan nasib baik yang sama. Saya mencatatnya ia adalah orang yang jauh sebelum demokrasi kita kebablasan ia sudah berani mengatakan kritik dan sinisme itu adalah bagian tak terpisahkan dalam demokrasi. Dan ia tak sekedar menerimanya, ia menjiwainya sampai akhir hayatnya!

Sugeng kondur Pak Har, wilujeng ngaso ing kasedan jati....

NB: Harmoko adalah figur yang sangat kritis pada masa Orde Lama. Tercermin dalam banyak karikaturnya. Ia tak pernah setuju dengan gaya agitasi PKI, yang penuh manipulatif dan sangat konfrontatif. Hal ini sangat mempengaruhi kebijakannya kelak. Kenapa saat menjadi menteri: karakter merangkul, menyapa, dan ngaruhke sangat tercermin dalam program-program kerjanya baik itu Klompencapir, Safari Ramadhan, Pers Masuk Desa, dan sebagainya.

Ia adalah orang Jawa yang tidak malu dengan ke-Jawa-annya. Ia tetap seorang asketis, yang memandang hidup adalah sebuah cakra manggilingan. Ketika ia ada di bawah tidak gumunan, ketika ia di atas tak kagetan, ketika ia jatuh lagi ia tak getunan.

***