Selamat Jalan, Pak Harmoko…

Pada saat ia menjadi Ketua MPR/DPR itulah, ia mengambil sikap berseberangan dengan Presiden Soeharto, dengan meminta agar Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Senin, 5 Juli 2021 | 08:35 WIB
0
260
Selamat Jalan, Pak Harmoko…
Harmoko (Foto: Kompas.com)

Perkenalan saya dengan Pak Harmoko terjadi pada tahun 1981. Pada saat itu, saya bertugas meliput perjalanan api Pekan Olahraga Nasional (PON) X yang diambil dari sumber api abadi di Mrapen, Purwodadi, Jawa Tengah.

Waktu itu, saya, dan rekan, Milly Moenardjo, ditugaskan oleh majalah Sport milik KONI untuk mengikuti perjalanan api PON hingga ke Jakarta. Api PON X itu dinyalakan di Mrapen pada tanggal 8 September 1981.

Setelah diinapkan semalam di Stadion Sriwedari, Solo, sebagai tempat penyelenggaraan PON yang pertama (1948), api itu akan menjelajahi lima provinsi dan menempuh jarak 1.376 km sebelum tiba di Balai Kota Jakarta, 18 September 1981. Dalam estafetnya ke Jakarta, api PON X itu melibatkan 93.568 pembawa obor, termasuk cadangan.

Dalam satu perjalanan di Jawa Tengah, di daerah Wonosari, saya memisahkan diri dari rombongan pembawa api PON X, dan melakukan pemotretan. Setelah itu, saya bermaksud menyusul rombongan ke kota terdekat.

Namun, di tempat itu tidak ada kendaraan umum. Akhirnya saya memberhentikan mobil yang lewat untuk menumpang (liften), tentunya dengan menunjukkan kamera.

Tiba-tiba lewat sebuah Toyota Land Cruiser berwarna hitam, saya memberhentikannya, dan menanyakan, apakah saya bisa ikut ke kota besar terdekat?

Saya dipersilakan naik di kursi penumpang depan. Saya menengok ke belakang, ternyata di kursi penumpang belakang duduk dua tokoh, yakni Pak Harmoko, waktu Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia dan di sebelahnya, Pak Soedharmono, Menteri Sekretaris Negara.

Saya mengenal kedua tokoh itu dari suratkabar dan TVRI. Saya menundukkan kepala untuk memberi hormat, dan duduk santai. Saya berbuat seolah-olah tidak peduli pada apa yang jadi topik pembicaraan kedua tokoh itu. Padahal kuping saya berusaha mencuri dengar apa yang mereka bicarakan.

Tampaknya, keduanya memeriksa spanduk-spanduk yang dipasang di sepanjang perjalanan api PON X. Spanduk-spanduk itu bertulisan, Soeharto Bapak Pembangunan Indonesia lengkap dengan foto wajahnya. Sampai di kota besar terdekat, saya turun sambil mengucapkan, terima kasih banyak.

Selain spanduk, pengkondisian pemberian gelar Soeharto Bapak Pembangunan Indonesia, juga dilakukan melalui buku dan berita-berita di suratkabar dan TVRI.

Hasilnya tidak ada yang keberatan ketika gelar Bapak Pembangunan Indonesia diberikan kepada Soeharto pada tahun 1983. Dan, sebagai balasan, Harmoko diangkat menjadi Menteri Penerangan (1983-1997) Sementara Mensesneg Soedharmono diangkap menjadi Ketua Golkar (1983-1988), dan akhirnya menjadi Wakil Presiden (1988-1993).

Pada tahun 1983, saya menjadi wartawan Kompas, dan pertemuan dengan Menteri Penerangan Harmoko menjadi intens karena saya ditugaskan untuk meliput Departemen Penerangan, Markas Besar ABRI/Departemen Hankam, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Luar Negeri.

Pertemuan dengan Menteri Penerangan Harmoko selalu ramai dan dipenuhi canda. Dan, pada akhir pertemuan, ia selalu mengatakan, ”Pak Jakob (Jakob Oetama, Pemimpin Umum Kompas) sehat kan? Salam saya untuk beliau.”

Semasa menjadi Menteri Penerangan, Harmoko sangat terkenal, karena sebelum mulai membacakan hasil rapat kabinet, ia selalu memulainya dengan mengatakan, atas petunjuk Bapak Presiden…  

Menteri yang selama 14 tahun menunjukkan kesetiaannya kepada Presiden Soeharto, kemudian diangkat menjadi Ketua Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (1997–1999).

Dan, pada saat ia menjadi Ketua MPR/DPR itulah, ia mengambil sikap berseberangan dengan Presiden Soeharto, dengan meminta agar Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Usai sidang antara pimpinan DPR dan pimpinan fraksi di Gedung DPR Senayan, 18 Mei 1998 pukul 15.20, Ketua Harmoko, yang didampingi para Wakil Ketua DPR, membacakan sikap pimpinan DPR yang isinya meminta Presiden Soeharto secara arif dan bijaksana mengundurkan diri.

Ketika ditanya, bapak selama menjadi Menteri Penerangan selalu mengatakan, atas petunjuk bapak presiden… kok bisa-bisanya, bapak sebagai Ketua MPR/DPR meminta Presiden Soeharto untuk mundur?

Lho… itukan bukan pendapat saya pribadi, saya mewakili perasaan seluruh rakyat Indonesia yang menginginkan Presiden Soeharto untuk mundur…

Itulah percakapan saya yang terakhir dengan Ketua MPR/DPR Harmoko di kompleks perumahan pejabat tinggi, Jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan, satu bulan setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21Mei 1998.

Pak Harmoko meninggal dunia pada hari Minggu, 4 Juli 2021 pukul 20.22 di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.

***