Catatan Biasa Orang Biasa [19] Tempelengan Pak Abidin

Puluhan tahun kemudian, bertemu kembali ketika saya menjadi wartawan di Bandung dan Kang Anton menjabat Kapolwil Priangan lalu menduduki posisi sebagai Kapolda Jawa Barat pada 2016.

Sabtu, 13 Maret 2021 | 07:18 WIB
0
200
Catatan Biasa Orang Biasa [19] Tempelengan Pak Abidin
Anton Charliyan

Vespa warna biru muda keluaran tahun 1970 itu terparkir di bagian dalam gerbang utama sekolah. Berarti Pak Mamat Sutisna, guru matematika sudah datang. Untuk sebagian siswa, dengan hanya melihat motornya saja cukup membuat jantungya berdegup kencang. “Wah Pak Mamat geus datang euy,” kata mereka sambil bergegas masuk kelas.

Pak Mamat Sutisna berpostur agak tinggi tapi terbilang kurus. Wajahnya tegas dan jarang tersenyum. Rambutnya hitam lurus. Beberapa helai kerap jatuh di kening hingga menyentuh bagian atas kacamatanya. Sorot matanya tajam. Kalau bicara tidak banyak basa-basi, langsung ke pokok masalah.

Sebetulnya Pak Mamat tidak galak. Tidak pernah ada kabar melakukan tindakan fisik kepada siswa. Paling banter hanya marah, jika mendapati sesuatu yang menurutnya memang harus dimarahi. Kalau dalam bahasa Sunda, guru yang satu ini seperti punya “sima”. Sehingga orang lain segan. Bahkan banyak pula yang takut.

Suatu ketika Pak Mamat mengajar di kelas kami. Setelah papan tulis penuh coretan angka dan rumus-rumus, beliau berniat menghapusnya. Namun ternyata penghapusnya tidak ada. “Mana penghapusnya. Masak di kelas tidak ada penghapus?” tanyanya. Semua siswa terdiam, Pak Mamat menunggu. Kelas jiga gaang katincak.

Karena tak juga ada respon, Pak Mamat mengeluarkan sapu tangan dari saku kanan celananya, dan menghapus papan tulis dengan kain kecil itu. Sapu tangan putih bergaris-garis hitam itu jadi kotor seketika. Tentu kami kaget dan merasa sangat bersalah. Saat kekagetan kami belum sirna, Pak Mamat bertindak lebih lanjut: meninggalkan kelas dan tidak melanjutkan pelajarannya. Ketua kelas kemudian menyusul ke ruang guru.

Akan tetapi meski banyak yang segan terhadap guru yang satu ini, namun ada saja murid yang nekat berulah pada jam pelajaran beliau. Pada kali yang lain, Pak Mamat menugaskan seorang siswa putri untuk menuliskan beberapa soal matematika di papan tulis. Lalu beliau meninggalkan kelas untuk satu keperluan.

Saat siswa putri itu sedang melakukan tugasnya, tiba-tiba seorang teman pria maju ke depan dan melakukan tindakan tidak senonoh. Siswa perempuan tersebut kontan saja menjerit karena kaget lalu menangis. Kelas kami geger. Beberapa saat kemudian siswa nekat itu dipanggil mengahadap guru BP.

Teman sekelas saya ini memang dikenal “baong”. Penampilannya urakan. Seringkali datang ke sekolah dengan mata merah dan mulut bau “naga”. Suatu hari, seroang guru menugaskan kami membaca buku pelajaran bersangkutan. Dia minta waktu 20 menit untuk menemui tamunya di ruang guru.

Ketika seisi kelas sedang tekun menyelami kata demi kata di buku pelajaran itu, tiba-tiba dari bangku deretan belakang ada teriakan, “Setuuuuunnn...setuuuunn”. Serentak kepala menoleh ke arah suara tersebut. Tampak teman yang “istimewa” itu sedang menghadap tembok, tangannya diacungkan dan terkepal. Ya ampun, dia pipis di kelas. Mungkin mabuk.

Belakang saya tahu, dia anak seorang pejabat di sebuah kecamatan di Tasikmalaya.
Kata “setun” yang diteriakannya, tentulah berasal dari “Rolling Stones”, nama grup band terkenal asal Inggris dengan vokalisnya yang nyentik, Mick Jagger. Musisi yang satu ini memang cukup berpengaruh pada gaya hidup sebagian remaja. Simbol bibir dower dengan lidah menjulur, sedang menggila dan menjadi aksesoris kaum muda.

Ditempeleng

Salah seorang pembina Pramuka di sekolah kami bernama Pak Abidin. Sebelum masuk SMPN 2, saya sudah mengenalnya. Karena Pak Abidin adalah teman baik Bapa dan beberapa kali sempat ke rumah. Beliau punya hobi fotografi dan kami sempat diabadikan dengan kameranya. Hingga kini sebagian foto-foto masa kecil kami itu masih tersimpan.

Pak Abidin sering bercerita dan memberi nasihat. Saat berkumpul bersama anggota Pramuka, sering menceritakan para senior yang sudah menjadi alumni. Seorang di antaranya bernama Anton Charliyan, senior yang terpaut jauh jaraknya. Katanya, dia seorang Pramuka yang patut ditiru. Disiplin dan ulet, leadership-nya bagus.

“Tapi saya pernah menempelengnya,” kata Pak Abidin. Kami kaget mendengar pengakuan itu. Sampai segitunya tindakan fisik Pak Abidin kepada murid sendiri. Jangan buruk sangka dulu, kata Pak Abidin melanjutkan. Ceritanya, pada suatu kegiatan, murid-murid tidak mau diam. Berisik terus walau sudah diperingatkan.

Akhirnya Pak Abidin menempeleng Anton Charliyan yang ada di sampingnya. Tindakan itu dilakukan, bukan berarti yang bersangkutan melakukan kesalahan. Melainkan sebagai shock therapy kepada murid lainnya yang tidak mau diatur. “Jadi Anton mah enggak salah. Tempelengannya juga tidak dengan amarah. Itu cara saya saja agar mereka mau diatur,” ujarnya.

Saya baru tahu sosok Anton Charliyan ketika bertemu pada silaturahmi Pramuka di SMAN 1 Tasikmalaya. Beliau adalah salah satu perintis Ambalan Satya Karya Laksana. Saat bertemu, Kang Anton masih bertugas sebagai anggota serse. Ke mana-mana berpakaian biasa. Tidak tampak sebagai anggota polisi.

Puluhan tahun kemudian, bertemu kembali ketika saya menjadi wartawan di Bandung dan Kang Anton menjabat Kapolwil Priangan kemudian menduduki posisi sebagai Kapolda Jawa Barat pada 2016. Pangkatnya saat itu inspektur jenderal polisi. Saya pernah mengonfirmasi apa yang dikisahkan Pak Abidin itu, Kang Anton mengangguk dan tertawa.

***

Tulisan sebelumnya: Catatan Biasa Orang Biasa [18] Samtidar dan Bioskop Misbar