Catatan Biasa Orang Biasa [18] Samtidar dan Bioskop Misbar

Bioskop keliling juga rajin menyambangi kampung-kampung. Tempat pemutaran film seperti ini yang paling dekat dari rumah saya ada di Nagrog, kampung tetangga.

Kamis, 4 Maret 2021 | 08:31 WIB
0
297
Catatan Biasa Orang Biasa [18] Samtidar dan Bioskop Misbar
Layar tancap (Foto: boombastis.com)

Pertama kali saya masuk ke gedung bioskop saat kelas 4 SD tahun 1976. Ketika itu murid-murid SD Angkasa diangkut naik truk tentara untuk menonton film Samtidar yang diputar di bioskop Kujang di Jalan Masjid, seberang utara Masjid Agung Tasikmalaya. Murid-murid SD lain pun sudah antre memasuki bioskop tersebut.

Film ini dibintangi A. Hamid Arief, Andy Carol, dan Ellya Rosa. Menceritakan tentang seorang anak dari keluarga kaya yang jatuh miskin, bernama Samtidar (Andy Carol). Keluarga itu pulang ke desa. Samtidar berjuang mencari nafkah untuk membantu kehidupan kakeknya. Sang ayah pergi ke kota untuk memperbaiki nasib keluarganya. Film tersebut diproduksi tahun 1972 dan kami menontonnya empat tahun kemudian.

Film The Message adalah film yang saya tonton pada tahun berikutnya. Film produksi 1976 dan disutradarai Moustapha Akkad (Suriah) itu, berkisah tentang perjuangan Nabi Muhammad menyebarkan Islam. The Message yang menampilkan aktor Anthony Quinn sebagai Hamzah (paman Nabi), sangat membekas bagi saya. Apa yang sering diceritakan Bapa tentang Nabi dan para sahabatnya, tergambar lebih jelas dalam film ini.

Warga Tasik cukup punya pilihan untuk menonton film di bioskop. Tempat hiburan layar lebar pada tahun 1980-an itu menyebar di berbagai tempat. Ada bioskop Parahyangan dan Hegarmanah, keduanya di Jln. Yudanegara, bioskop Garuda di Jln. Dr. Sukarjo, Tasik Theatre di Pasar Baru, bioskop Nusantara di Jln. Gunung Sabeulah), serta bioskop Megaria dan Kujang di dekat Masjid Agung.

Beberapa bioskop akan marema saat masa Lebaran tiba. Terutama bagi bioskop yang memutar film-film komedi Warkop. Produser film-film itu memang pintar mencari momen yang tepat. Seolah kehadiran Dono, Kasino, Indro (semula bersama Nanu), menjadi hadiah Lebaran yang ditunggu-tunggu. Penonton pun berjubel. Mereka banyak berasal dari tempat yang jauh dari pusat kota.

Saya bukanlah penggila film. Lagi pula tidak punya cukup uang untuk menjadikan film di bioskop sebagai hiburan rutin. Saya hanya menonton di bioskop sesekali jika punya “duit tiis”. Film “Mana Tahan”, film pertama Warkop, saya tonton di bioskop Kujang saat SMP.

Dalam film itu berakting pula Elvie Sukaesih yang berperan sebagai asisten rumahtangga.
Nama-nama artis seperti Rano Karno, Yessi Gusman, Lidya Kandou, Herman Felani, Yeni Rachman dan Roy Marten, akrab di tengah masyarakat. Wajah-wajah mereka menghiasi sampul buku tulis atau baju kaos. Bintang film Mandarin yang ngetop tentulah Chen Lung, yang kelak berubah namanya menjadi Jacky Chan setelah hijrah ke Amerika Serikat.

Film Chen Lung “Drunken Master” alias Pendekar Mabuk buatan 1978 begitu fenomenal. Chen Lung menjadikan gerakan-gerakan dalam bela diri kungfu sangat menghibur.

Bioskop Garuda, boleh dibilang bioskop kelas menengah ke bawah. Di tempat ini lebih sering ditayangkan film produksi Hollywood, meskipun tidak selalu gres. Kadang saya nonton sendirian atau bareng dengan teman-teman Aprak. Pernah suatu ketika terjadi ketegangan. Bukan karena adegan filmnya, melainkan ada isu tahanan melarikan diri dan masuk ke bioskop. Maklum, bioskop Garuda berdempetan dengan kompleks penjara.

Bioskop keliling

Bioskop keliling juga rajin menyambangi kampung-kampung. Tempat pemutaran film seperti ini yang paling dekat dari rumah saya ada di Nagrog, kampung tetangga. Biasannya menggunakan halaman belakang gedung sekolah dasar sebagai bioskop. Sekelilingnya ditutup “gedeg” bilik bambu. Hanya ada satu pintu masuk, sekaligus untuk tempat pemeriksaan tiket. Namun tetap ada saja ada warga yang “kreatif” berhasil “moncor” dan menonton dengan gratis.

Pemutaran film berlangsung pada Sabtu malam. Kain putih berukuran sekitar 3 x 6 meter dibentangkan di antara dua tiang bambu. Ke layar itulah gambar-gambar bergerak ditembakkan proyektor. Siang hari sebelumnya, sudah ada “wawar” menggunakan mobil dan pengeras suara “Toa”.

Kru bioskop keliling itu beriklan dari kampung ke kampung, memberitahukan kepada khalayak tentang film yang akan diputar. Selebaran kertas berwarna pun dibagi-bagikan. Filmnya beragam, ada film Indonesia, India, Hollywod dan Cina. Film musikal Rhoma Irama tentulah paling digemari.

Bioskop seperti ini disebut “misbar” alias gerimis bubar. Pertunjukkan akan bubar ketika gerimis mulai turun. Penyelenggara pertunjukan sering memakai jasa pawang hujan, konon agar air tidak turun dari langit selama film diputar. Si pawang menggunakan hewan kodok yang disimpannya dalam kopiah sebagai media untuk menolak hujan. Entahlah.

Suatu kali, sehabis isya langit mendung. Kepada warga yang berkerumun si pawang sesumbar, hujan tidak akan turun. Dia begitu percaya diri sambil mengelus-elus kodoknya. Tidak lama kemudia gerimis datang dan berubah jadi hujan. “Wah pantesan hujan, kodoknya lepas. Pulang ah,” katanya sambil berlari.

Film yang diputar tidak bisa full ditonton. Selalu ada jeda untuk penggantian rol film. Di bioskop misbar, terkadang pergantian rol ini memakan waktu cukup lama. Karena rol kedua masih diputar di kampung lain yang jaraknya terbilang jauh. Belum lagi kalau ada keributan di antara penonton. Film langsung distop. Kalau suasana sudah kondusif, penayangan film dilanjutkan.

Pernah suatu waktu, pemutaran film di arena misbar dibubarkan. Karena terjadi keributan yang tidak kunjung reda, yang disusul kobaran api persis di bawah kain layar putih. Ketimbang menimbulkan kejadian yang tidak diinginkan, pihak keamanan memerintahkan semua penonton meninggalkan lokasi pertunjukan.

***

Tulisan sebelumnya: Catatan Biasa Orang Biasa [17] Kalah di Bandung, Menang di Tasik