Ikat Pinggang dan Shalat Jumat

Fakta membuktikan, di jaman sekarang, gara-gara lupa pakai ikat pinggang, agama bisa dipertanyakan orang.

Minggu, 31 Maret 2019 | 13:50 WIB
0
659
Ikat Pinggang dan Shalat Jumat
Ikat pinggang (Foto: Tumblr.com)

Hari Jum'at  1 Maret 2019. Menjelang jam 12.00, saya bergegas ke Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, untuk shalat Jum'at. Setibanya di masjid, saya pun segera menempati tempat favorit di halaman masjid, dekat pohon beringin yang rindang.

Rupanya, karena berangkat terburu-buru, saya lupa mengenakan ikat pinggang. Ini baru saya sadari saat shalat sunnah sebelum khutbah dimulai. Celana panjang yang saya pakai terasa melorot ke bawah berlahan saat bangkit dari sujud. "Wah, bahaya," kata saya dalam hati.

Setelah shalat selesai, saya pun menengok ke arah para pedagang kaki-lima, mencari penjual ikat pinggang. Untung, pedagang itu tampak tak jauh.

Saya berlari kecil menghampiri lapak pedagang ikat pinggang, dan dengan cepat mencoba memilih yang pas.

"Berapa harganya yang ini?" Saya bertanya pada anak muda pedagang lapak itu.

"Lima puluh ribu," jawabnya singkat.

"Ok..!" Tanpa menawar, saya pun cepat-cepat mengeluarkan uang karena khutbah Jum'at memang sudah dimulai.

"Nanti saja bayarnya." Pedagang muda itu menolak menerima uang yang saya sodorkan.

"Ok... kalau gitu saya akan bayar setelah shalat." Saya menyetujui walau belum faham betul mengapa ia tak mau menerima uang yang saya sodorkan.

Saat saya mulai melangkah pergi, saya penasaran ingin tahu alasan sikap pedagang itu.

Dengan suara pelan saya bertanya: "Kenapa tak mau menerima uang?"

"Pak... Bapak Muslim, bukan?"

"Apa?" Saya terperanjat.

"Apa Bapak seorang Muslim?"

"Ya... tentu saja. Kenapa?" Saya tertegun mendengar pertanyaannya terasa galak.

"Kalau Bapak muslim, tentu tahu bukan kalau khutbah sudah dimulai, tak ada lagi dagang," katanya dengan nada keras.

"Oo... gitu. Baiklah. Maaf ya. Nanti saya bayar setelah shalat Jum'at." Saya tersipu malu.

Saat saya mulai ngeloyor pergi, saya menengok ke arah wajah Si Pedagang itu. Rupanya, wajahnya masih melotot terlihat begitu bengis walaupun saya sudah meminta maaf.

Wuih... saat itulah peristiwa terjadi. Saya tiba-tiba merasakan dada terasa sesak, dan darah di kepala terasa mendidih. Saya pun dalam sekejap mambalikkan badan menghampiri Si Pedagang yang tatapan matanya tampak begitu keras. Darah muda melekat kembali dalam badan.

"Hehe...kamu. Aku awalnya sebenarnya hormat kamu. Tapi cara kamu bicara dan wajah kamu yang tak sopan membuat saya berubah pikiran. Sudah jelas-jelas aku datang ke sini Jum'atan, mengapa pakai tanya segala aku muslim atau bukan. Cara kamu bicara membuat aku kesal...! Brengsek kamu?" Saya menghardik keras.

Di tengah suara khutbah Jum'at, saya benar-benar kehilangan kendali emosi. Suara saya yang semula lembut pada Si Pedagang ikat pinggang itu, tiba-tiba mendadak meninggi. Saya pun lupa sama sekali pada celana saya yang mau melorot gara-gara lupa pakai ikat pinggang. Dan....

"Astaghfirullah.." Saya pun beristighfar ketika Si Pedagang yang semula berwajah sangar itu berubah kecut dan takut.

"Maaf Pak... Maaf Pak!" Katanya berkali-kali.

"Ya sudah. Lain kali kamu jelaskan saja baik-baik, kalau khutbah sudah dimulai, tak ada transaksi. Gitu saja. Kamu tahu, aku juga nggak bakalan belanja kalau nggak karena celana aku melorot. Tau?"

Saya pun mencoba meredakan emosi.

Huh... gara-gara lupa ikat pinggang, Jumatan kali ini jadi kacau.

Kemudian, saya pun benar-benar ngeloyor pergi ke arah sajadah yang masih tergelar tak jauh dari pedagang ikat pinggang itu. Dalam shalat Jum'at, saya memanjatkan doa:

"Maaf Tuhan, atas kejadian yang memalukan itu."

Semoga lain kali, saya tak akan lupa lagi memakai ikat pinggang. Ini penting karena fakta membuktikan, di jaman sekarang, gara-gara lupa pakai ikat pinggang, agama bisa dipertanyakan orang. Hehe... 

***