Kompas Inside [11] Petrus Kanisius Ojong atau Auw Jong Peng Koen

Tanpa PK Ojong yang mengulik sisi bisnis, Harian Kompas dengan induk usaha Kompas-Gramedia itu mungkin tidak akan menjadi besar tanpa kerja keras dan kesederhanaan seorang PK Ojong.

Sabtu, 20 Februari 2021 | 07:00 WIB
0
1031
Kompas Inside [11] Petrus Kanisius Ojong atau Auw Jong Peng Koen
PK Ojong, istri dan anak (Foto: Gramedia Digital)

Petrus Kanisius Ojong atau Auw Jong Peng Koen adalah pendiri Harian Kompas bersama Jakob Oetama. Kedua "legend" media ini kerap disebut "Dwi Tunggal" dengan komposisi yang saling melengkapi; redaksi dan bisnis. PK Ojong, demikian ia bisa dipanggil, meninggal tahun 1980 saat berusia 59 tahun.

Ojong misalnya, karena latar belakangnya yang pengusaha, sangat memperhatikan sisi bisnis media sehingga mampu membangun korporasi media dengan nama Kompas-Gramedia (KG), sedangkan Jakob lebih mengurusi keredaksian. KG menjadi besar seperti sekarang ini tidak lepas dari perannya, bersamaan dengan itu Harian Kompas menjadi koran terbesar di Indonesia sampai sekarang.

Saya tidak sempat menjadi salah satu karyawannya di Harian Kompas karena baru bekerja tahun 1990 atau 10 tahun setelah Ojong meninggal, namun saya mendengar banyak cerita tentang kebaikan pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat tahun 1920 ini.

Ia dikenang oleh rekan-rekan juniornya yang saya kenal, sampai kepada OB yang telah bekerja cukup lama, sebagai sosok yang sederhana. Bahkan sederhana untuk ukuran keberhasilannya sebagai pengusaha. Sederhana ditunjukkan dalam sikap, bahkan dalam pakaian atau alat-alat kerjanya.

Helen Ishwara dalam buku biografi PK Ojong Hidup Sederhana, Berpikir Mulia menggambarkan kesederhanaan PK Ojong lewat penuturan Siswadi, bahwa mesin tik yang digunakan sebagai alat kerjanya merupakan mesin tik "reyot" dibandingkan dengan mesin tik yang ada di kantor awal Redaksi Harian Kompas. Buku terbitan PBK tahun 2001 itu saya baca sehingga membantu memberi gambaran pemahaman tentang sosok PK Ojong.

Dalam buku yang sama yang pernah saya baca dan saya ingat, Helen menggambarkan kesederhanaan PK Ojong lewat ikat pinggang yang bisa bertahan belasan tahun melilit pinggangnya. Tentu saja bukan karena PK Ojong tidak bisa membeli ikat pinggang baru, tetapi dia berprinsip yang ada pun masih bisa digunakan, mengapa harus diganti?

Di Harian Kompas, PK Ojong mengasuh rubrik Kompasiana, sebuah rubrik yang ia ciptakan dan tulis sendiri, berisi sketsa kehidupan masyarakat secara faktual, bukan fiksi. Gaya menulisnya sangat personal, sehingga mirip gaya blogger dalam menulis di blog pribadi.

Itu sebabnya blog sosial yang saya dirikan tahun 2008 bersama teman-teman mengambil nama rubrik Kompasiana milik PK Ojong ini. Nama ini mewakili gaya penulisan yang lugas, tanpa tedeng aling-aling, menangkap hal-hal sepele yang luput dari pengamatan jurnalis lainnya yang "terjebak" rutinitas.

PK Ojong menaruh perhatian pada sejarah peperangan besar yang pernah terjadi, juga tokoh-tokoh yang terlibat dalam perang itu. Beberapa di antaranya telah dibukukan dan mengalami cetak ulang.

Dalam mengembangkan manajemen Kompas, sisa-sisa kebaikan PK Ojong masih terasa, di mana prinsipnya lebih mengedepankan kesejahteraan dan ketahanan hidup karyawannya daripada memberikan gaji besar yang jor-joran setiap bulannya. Unsur bonus, gratifikasi, dan dua kali THR (Lebaran dan Natal), tetapi dipertahankan sampai sekarang dan menjadi warisan PK Ojong.

Bahkan pada awal saya bekerja tahun 1990-an, setiap karyawan bahkan sampai OB, mendapat jatah belasan media terbitan KG seperti Harian Kompas, Tabloid Monitor, Bola, Majalah Hai, Majalah Intisari, Majalah Donald Bebek, dan lain-lain. Setiap karyawan yang telah bekerja tujuh tahun berhak atas pinjaman pembelian tanah/rumah dan untuk jabatan tertentu disediakan cicilan kendaraan bermotor.

Namun, karena ada pembenahan manajemen sejak 2000 dan pembenahan salah satunya berarti pemangkasan, maka jatah koran dan majalah bagi karyawan ditiadakan. Yang tersisa hanya Harian Kompas saja, itu pun kemudian dihapuskan setelah memasuki era digital di tahun 2016 ini. Setiap karyawan diberi akses untuk membaca Kompas di format digital secara gratis.

Itu hal-hal besar yang dipikirkannya. Namun, PK Ojong juga memikirkan hal-hal sepele seperti jatah dua telur ayam negeri yang diberikan kepada karyawan yang bekerja malam sampai pagi. Kedua telur ayam itu biasa saya kumpulkan, dibungkus menggunakan plastik transparan dan diletakkan oleh OB yang bertugas di atas meja. Saya kadang membawa telur itu malam-malam ke tukang Indomie rebus untuk dimasakkan. 

Jika bertugas tepat malam minggu, maka disediakan susu panas segar yang bisa membangkitkan gairah kerja, setidak-tidaknya mengusir penat dan menyegarkan pikiran. Uang lembur malam minggu pun lebih besar dari uang lembur malam biasa. Beberapa karyawan mengenang, bahkan pada masa awal payung dan jas hujan pun disediakan.

Tentu saja kebijakan menyejahterakan karyawannya hasil keputusan bersama Jakob Oetama yang diteruskan oleh "soulmate"-nya itu. Namun demikian, citra kesederhanaan demikian melekat pada diri Ojong. 

Dalam sejumlah literatur disebutkan, PK Ojong demikian keras dan tanpa kompromi untuk urusan berita. Saat Kompas dibredel tahun 1978 oleh rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, misalnya, PK Ojong bersikeras agar tidak menyerah melawan penguasa dengan tidak menandatangani surat pernyataan yang disodorkan pemerintah.

Baca Juga: O Tempora Mores! In Memoriam Jakob Oetama

Akan tetapi Jakob berbeda sikap dengan seniornya itu. Ia melihat sisi lain dari banyaknya orang yang sudah bergantung pada kelangsungan hidup Kompas itu sendiri. Jakob kemudian menandatangani surat pernyataan itu.

Namun di kemudian hari, terbukti bahwa apa yang dilakukan "junior" Ojong, dalam hal ini Jakob, adalah langkah yang benar. Sebab percuma juga berjuang memperbaiki bangsa tetapi medianya di-berangus sebagaimana terjadi pada Harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis.

Memang Mochtar Lubis dengan Indonesia Raya-nya dikenang keberanian dan sikap heroiknya, tetapi koran itu tidak pernah terbit lagi sehingga tidak punya peran apa-apa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Jakob lebih melihat sisi lain dari sekadar memperoleh cap heroik tetapi hanya dikenang sementara waktu saja atau sekadar dicatat sejarah saja dengan kompromi kepada kehendak penguasa saat itu.

Namun, tanpa PK Ojong yang mengulik sisi bisnis dari media, Harian Kompas dengan induk usaha Kompas-Gramedia itu mungkin tidak akan menjadi besar seperti sekarang ini tanpa kerja keras dan kesederhanaan seorang PK Ojong.

***

Tulisan sebelumnya: Kompas Inside [10] "Menenggelamkan Diri" Ala Polycarpus Swantoro