Pelajaran apa yang perlu kita berikan kepada mereka dan kepada publik luas agar kegaduhan semacam ini tidak jadi norma.
Dalam hidup bersosial sehari-hari, kita mengandalkan kepercayaan pada masing-masing individu. Saling-percaya menjadi kunci bahkan dijadikan dogma lintas agama yang harus dipegang teguh.
Tidak jauh beda dengan sebuah negara yang terus bertumbuh dalam demokrasi, kepercayaan adalah mata uang paling mahal. Begitu kepercayaan hilang, bahkan secarik kertas bernama ijazah bisa menjadi ladang konflik berkepanjangan.
Itulah yang kini sedang terjadi di mana segelintir orang, sebut saja Roy Suryo dan kawan-kawan, menyebarkan keraguan terhadap keaslian ijazah Presiden Ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo, meski Universitas Gadjah Mada di mana Sang Presiden kuliah telah menyatakan bahwa dokumen itu sah adanya.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Apakah ini hanya soal administrasi akademik, atau ada gejolak lebih dalam yang perlu kita bedah? Mengapa segelintir orang tidak percaya kepada sistem dan aturan yang berlaku di negaranya sendiri?
Ijazah bukan hanya tanda kelulusan. Ia adalah simbol legitimasi intelektual, representasi bahwa seseorang telah melewati sebuah sistem nilai. Maka, ketika seseorang menggugat ijazah seorang presiden, yang mereka sasar bukan sekadar dokumen, tetapi otoritas moral dan legalitas kekuasaan itu sendiri.
Jika tujuan mereka berhasil, target berikutnya mendelegitimasi seluruh hasil putusan selama Presiden Jokowi memerintah, termasuk seluruh peraturan dan perundang-undangan. Freeport yang telah berhasil diambil pun bisa dimentahkan kembali, demikian pula hilirisasi nikel yang membuat negara-negara Eropa sewot.
Dengan menggugat ijazah Jokowi, kelompok ini sedang mengatakan: “Kekuasaanmu tidak sah.” Mereka tak sedang berdialog, tapi mengajukan vonis. Inilah yang membuat sepak terjang mereka berbahaya. Bukan karena mereka mempertanyakan, tapi karena mereka menolak untuk percaya, apa pun jawabannya.
Fenomena ini menggambarkan krisis yang lebih luas, yakni hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara. Bukan hanya UGM yang diragukan, tetapi juga kepolisian, pengadilan, bahkan potensi lembaga asing pun mulai dipakai sebagai pembanding.
Ketika hasil penyelidikan Bareskrim Polri diumumkan, misalnya, mereka langsung menyatakan tidak percaya dan meminta digital forensik dilakukan di luar negeri, Amerika Serikat atau Singapura. Padahal ijazah sejatinya bukti non-digital.
Ini adalah bentuk apa yang oleh Hannah Arendt disebut sebagai “kehancuran otoritas”—ketika tatanan bersama tidak lagi dihormati, dan setiap orang menjadi hakim bagi dirinya sendiri.
Kelompok penggugat keabsahan ijazah Jokowi kerap mengklaim ini bagian dari kritik sebagai anak bangsa. Namun, perlu dibedakan antara kritik dan sinisme. Kritik adalah bagian dari demokrasi. Tetapi ketika seseorang terus menolak bukti, menyangkal fakta, dan menuduh tanpa dasar, itu bukan kritik, itu sinisme politis yang hanya ingin menciptakan kegaduhan.
Tujuannya bukan membangun, tapi menghancurkan legitimasi lawan politik, meski dengan ongkos sosial yang besar.
Demokrasi yang sehat menuntut kedewasaan nalar publik. Jika publik diajari untuk tidak percaya pada apa pun kecuali apa yang ingin mereka dengar, maka kita sedang menuju apa yang disebut Jean Baudrillard sebagai simulacra—realitas palsu yang dibuat agar tampak lebih meyakinkan dari kenyataan itu sendiri.
Roy Suryo dan kawan-kawan memposisikan diri sebagai pembawa “kebenaran alternatif”, padahal dalam praktiknya mereka menolak segala bentuk klarifikasi resmi. Jika ini dibiarkan, maka rakyat akan belajar untuk menganggap lembaga negara sebagai musuh, dan mempercayai akun media sosial atau meme WhatsApp sebagai sumber utama kebenaran.
Tak Cukup Berdiam Diri
Sudah benar sebagai warga negara biasa menempuh jalur hukum. Menjawab tantangan Roy Suryo dan kawan-kawan dengan berani sebagai lelaki. Jika Presiden Jokowi terus diam, maka narasi mereka akan terasa semakin sah dan semakin merajalela. Tuman kalau didiamkan.
Dalam konteks ini, diam bukanlah keutamaan, tetapi kekosongan respons yang bisa dimaknai sebagai pengakuan bersalah. Maka, membiarkan isu ini mengambang tanpa sikap tegas justru akan memperlebar ruang bagi hoaks dan manipulasi opini publik.
Jokowi tidak perlu membela diri dalam pengertian politik, tetapi sebagai warga negara yang dizalimi, ia berhak dan wajib melapor ke kepolisian untuk menunjukkan bahwa negara ini masih memiliki hukum yang bisa ditegakkan. Ini bukan soal pribadi, tapi soal menjaga otoritas hukum di hadapan publik.
Solusi dari persoalan ini tidak bisa hanya mengandalkan proses hukum. Ada tiga lapis pendekatan yang perlu dilakukan, pertama, literasi publik harus diperkuat. Masyarakat perlu diajak untuk memahami bedanya kritik dengan fitnah, antara bukti dan asumsi. Ini tugas jangka panjang, tetapi sangat mendasar.
Kedua, pemerintah dan lembaga negara harus menunjukkan transparansi dan konsistensi. Ketika lembaga bersikap profesional dan tidak ambigu, maka ruang sinisme akan menyempit. Ketiga, penegakan hukum harus berlaku, bukan untuk membungkam, tetapi untuk menjaga nalar publik tetap waras. Hukum adalah pagar yang melindungi demokrasi dari destruksi kebebasan yang tak bertanggung jawab.
Jangan Biarkan Demokrasi Dibajak oleh Prasangka
Demokrasi bukan hanya tentang memilih pemimpin. Demokrasi adalah soal mempercayai proses, menghormati lembaga, dan menerima fakta, meski kadang tidak sesuai harapan. Bila setiap orang bisa dengan mudah menolak kebenaran resmi hanya karena tak suka pemimpinnya, maka demokrasi kita telah berubah menjadi ruang huru-hara naratif tanpa fondasi nalar.
Roy Suryo dan kawan-kawan bukan sedang mencari kebenaran. Mereka sedang mencari panggung. Dan untuk itu, kita harus memberi panggung tandingan—bukan dengan kebisingan yang sama, tetapi dengan kejelasan, keberanian, dan keteguhan hukum.
Benar bahwa kita hidup di zaman di mana kebenaran bisa dicurigai, dan kebohongan bisa dirayakan. Lembaga-lembaga resmi tak lagi dipercaya, tetapi bisik-bisik di media sosial malah dijadikan dasar keyakinan. Tetapi jangan biarkan orang-orang seperti Roy Suryo merajalela meracuni ruang batin dan pikiran publik dengan harapan palsu, bahwa ijazah Jokowi benar-benar palsu.
Dalam lanskap inilah muncul sekelompok orang—sebutlah Roy Suryo dan kawan-kawan—yang dengan yakin dan lantang mempertanyakan keaslian ijazah Presiden Joko Widodo. Bukan sekali, bukan dua kali. Bahkan setelah Universitas Gadjah Mada menyatakan ijazah itu asli, mereka tetap bersikeras.
Pertanyaannya bukan lagi “apa yang mereka cari?” melainkan mengapa mereka terus bersikeras setelah kebenaran dijelaskan? Dan yang lebih penting, pelajaran apa yang perlu kita berikan kepada mereka dan kepada publik luas agar kegaduhan semacam ini tidak jadi norma.
Dalam dunia filsafat, kebenaran selalu diasosiasikan dengan aletheia (Yunani), yakni membuka yang tersembunyi. Namun, bagi kelompok seperti Roy Suryo, kebenaran bukan sesuatu yang ingin dibuka, melainkan sesuatu yang ingin diarahkan sesuai dengan kepentingan mereka. Ketika UGM berkata “asli”, mereka tak menerima. Ketika bukti hukum diajukan, mereka cari celah baru. Ini menandakan bahwa mereka tidak sedang mencari kebenaran, tetapi menghindarinya.
Filsuf Prancis, Jacques Derrida, pernah menulis bahwa “makna bisa selalu ditunda” (différance). Roy Suryo dan kawan-kawan mempraktikkan ini secara politis, mereka menunda kesimpulan, mempertanyakan yang sudah selesai, dan membiarkan publik hidup dalam ketidakpastian. Tujuannya bukan klarifikasi, melainkan pembusukan nalar belaka.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews