Kalau dibilang semua Chindo tidak paham masalah kemiskinan struktural, saya tidak setuju. Tergantung siapa dulu… Sebaliknya dari pihak Chindo sendiri perlu menyadari bahwa posisi kita itu tidak equal.
Beberapa hari lalu, saya melihat postingan di Instagram tentang pendapat bahwa "Chindo (Tionghoa) tidak paham kemiskinan (structural)". Ini memang topik yang “debatable”. Kalau saya pribadi keberatan dengan generalisasinya. Saya juga Chindo kok, tapi saya tahu apa itu kemiskinan struktural.
Alasan pertama, tentunya karena background pendidikan saya, di mana bidang yang saya tekuni berkaitan dengan “kemiskinan di kawasan perkotaan”. Tentu saja saya tahu, kesulitan – kesulitan apa saja yang timbul dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Alasan yang kedua adalah pengalaman hidup sendiri. Saya adalah “Chinese kampung”, sejak kecil secara ekonomi pas-pasan. Keluarga saya pindah dari satu kampung ke kampung yang lain, kontrak dari satu rumah ke rumah yang lain. Pernah selama 2 tahun tinggal di kampung padat, dengan sanitasi luar biasa buruk. Saat itu, ada pengalaman harus mandi ditemani belatung, karena ada tikus mati di saluran air kamar mandi.
Selama 2 tahun itu, saya juga melihat sendiri, bagaimana tetangga-tetangga saya dari satu generasi ke generasi yang lain, tidak bisa mentas-mentas dari kawasan kampung padat tersebut. Pengalaman ini menginspirasi saya untuk kuliah dengan spesialisasi di bidang permukiman.
Reaksi sebagian besar netizen Chindo atas pendapat di atas, rata-rata komplen, dan menyebutkan bahwa ada sangat banyak Chindo yang hidup susah, tapi… dengan kerja keras akhirnya bisa keluar dari kemiskinan itu.
Pendapat ini ada benarnya, tapi juga tidak sesederhana ini. Benar, bahkan dalam riset sayapun, saya mendapati perbedaan antara Chindo Pecinan, Chindo perumahan dengan Chindo kampung. Baik perbedaan situasi social ekonomi, perbedaan kesempatan untuk berkembang, sampai perbedaan mentalitas dan cara hidup. Bahkan Chindo pun ada yang terjebak kemiskinan struktural itu!
Adalah keliru kalau berpikir bahwa semua Chindo hidupnya makmur.
Akan tetapi, menekankan bahwa semua orang miskin bisa mentas dari kemiskinan hanya dengan kerja keras (stándar Chindo, misalnya) juga tidak benar.
Contohnya dari pengalaman hidup saya sendiri. Duluuu… kalau ditanya, dengan cara apa generasi orang miskin bisa lepas dari kemiskinan? Barangkali jawaban favorit saya adalah dengan pendidikan. Why? Karena biarpun saya Chindo, tapi orang tua saya tidak bisa kasih saya modal usaha buat buka toko atau buka pabrik.
Opsi satu-satunya ya usaha supaya bisa sekolah tinggi, bisa dapat tempat di sekolah negeri (yang relatif murah) tapi yang favorit, supaya kualitasnya terjamin. Usaha untuk berprestasi di sekolah, atau usaha dapat beasiswa, lalu kerja profesional dan pastikan dirimu sukses. Tapi akhirnya saya menyadari bahwa tidak semua orang miskin bisa dientaskan dengan métode ini.
Ada yang bilang, standar miskinnya beda… Yes! Itu salah satunya. Saya bilang kalau saya hidup pas-pasan, hidup di kampung padat, mandi ditemani belatung. Tapi saya tetap bisa sekolahkan? Saya bisa kuliah, meskipun dengan uang saku mepet, SPP murah sekitar Rp500 ribu/ semester, serta masuk kelas dengan perut belum kenyang. Tapi saya berhasil lulus kuliah.
Sementara di luar sana, ada anak-anak yang tinggal di bantaran Kali, yang jangankan untuk sekolah, untuk makan cukup saja perjuangan. Yang model begini, besar tanpa pendidikan yang memadai, ga mungkin juga ortunya sanggup kasih modal usaha setelah mereka besar.
Tidak perlu disembunyikan bahwa di tengah masyarakat Indonesia, Chindo secara umum sudah memiliki privilege akibat kebijakan zaman penjajahan. Yang miskin banyak, tapi secara umum, Chindo TIDAK berada di lapis kerak terbawah dari kelompok miskin Indonesia. Peluang untuk menaikkan taraf hidup relatif lebih besar.
Untuk standar Chindo, masa kecil saya memang kekurangan. Saya tahu kalau dipandang rendah oleh teman-teman Chindo saya. Di belakang punggung saya mereka ngatain masa depan saya suram lah… yang nggak bakal bisa kuliah lah… Tapi faktanya di tengah bangsa Indonesia, ada berjuta-juta anak lain yang hidupnya lebih susah dari saya, yang mereka tidak punya kesempatan untuk memperbaiki hidupnya.Hal yang kedua masalah mentalitas. Saya bisa tahu bahwa jalan keluar dari hidup pas-pasan adalah dengan pendidikan, itu karena didikan orang tua saya. Orang tua saya menyadari pentingnya pendidikan. Akan tetapi, di luar sana, orang-orang yang sudah beberapa generasi tinggal di kanan kiri rel kereta api, ada berapa yang menyadari pentingnya pendidikan? Sementara anaknya tumbuh kecukupan gizi saja sudah sujud syukur.
Anak yang kurang gizi berpotensi jadi kurang cerdas. Anak-anak ini, disuruh belajar keras jungkir balik pun, pada ujungnya sulit lulus pendidikan formal yang memadai, apalagi disuruh bersaing untuk mendapatkan beasiswa. Pasti relatif lebih susah. Dan lingkaran kemiskinan pun akan terus berulang.
Inilah contoh kemiskinan struktural itu. Jangan pernah berpikir bahwa orang miskin itu pemalas ya… banyak dari mereka yang sudah kerja super keras.
Pada intinya, kalau dibilang semua Chindo tidak paham masalah kemiskinan struktural, saya tidak setuju. Tergantung siapa dulu… Sebaliknya dari pihak Chindo sendiri perlu menyadari bahwa posisi kita itu tidak equal.
Betul kita mengalami diskriminasi. Namun, kebijakan sejak zaman penjajahan itu menjadikan Chindo berada di posisi yang lebih baik dari kelompok lain di Indonesia. Sehingga menasehati orang miskin dari kelompok lain untuk bekerja keras saja (seperti Chindo miskin) untuk lepas dari kemiskinan juga tidak tepat.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews