Disorientasi Politik Civil Society

Melihat kondisi itu, transisi Indonesia menuju demokrasi yang diharapkan, tampaknya akan berlangsung lebih lama lagi.

Senin, 18 Januari 2021 | 07:48 WIB
0
134
Disorientasi Politik Civil Society
Ilustrasi

Dalam proses transisi demokrasi, seharusnya terjadi penguatan dan konsolidasi kekuatan civil society (masyarakat madani/beradab). Namun yang terjadi justru menghasilkan disorientasi para pelaku civil society.

Tokoh-tokoh civil society kini banyak terlibat dalam posisi-posisi puncak negara. Baik pada lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Sehingga mereka menjadi bagian integral negara.

Ironisnya, banyak yang mengalami disorientasi dengan melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan nilai-nilai civil society. Nilai-nilai yang dulu pernah mereka perjuangkan. Misalnya, pernah menjadi korban HAM, namun kini diam bahkan bersorak ketika ada dugaan pelanggaran HAM di depan mata.

Fragmentasi dan konflik politik di antara mantan pemimpin dan tokoh civil society ini hanya semakin memperburuk pertumbuhan demokrasi.

Sedangkan di pihak lain, berbagai individu, kelompok, dan organisasi civil society yang sangat instrumental bagi aktualisasi civil society, juga mengalami disorientasi.

Sebagian mereka tetap berusaha menjadi bagian dari civil society yang genuine dan otentik. Berperan sebagai “mitra kritis” negara (critical partners of the state).

Namun, mereka sudah terlalu lemah untuk bisa memainkan peran secara efektif. Dikooptasi oleh kekuasaan agar posisinya lemah.

Sebagian unsur civil society lainnya, justru terekrut – baik langsung maupun tidak – ke dalam negara. Mereka bukan hanya terkooptasi, tapi lebih jauh lagi, menjadi perpanjangan tangan politik kekuasaan.

Melihat kondisi itu, transisi Indonesia menuju demokrasi yang diharapkan, tampaknya akan berlangsung lebih lama lagi.

***