Ambigu KPU Terkait Larangan Napi Koruptor Mencalonkan sebagai Kepala Daerah

Bupati Tulungangung yaitu Syahril Mulyo waktu menjadi tersangka atau terkena OTT oleh KPK-yang bersangkutan sudah ditetapkan sebagai calon kepala daerah oleh KPU.

Kamis, 14 November 2019 | 00:12 WIB
0
193
Ambigu KPU Terkait Larangan Napi Koruptor Mencalonkan sebagai Kepala Daerah
Kantor KPU (Foto: Detik.com)

Pilkada serentak tahun 2020 akan dilaksanakan atau diselenggarakan pada bulan September dan akan diikuti 270 daerah. Dengan rincian: 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota.

Terkait  pilkada serentak yang akan dilaksanakan tahun 2020, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan membuat atau menerbitkan Peraturan KPU atau PKPU yang melarang mantan narapidana korupsi dilarang ikut atau mencalonkan sebagai kepala daearah. Bahkan sekalipun ada penentangan atau ketidaksetujuan  dari DPR atau Kementerian Dalam Negeri, tidak menyurutkan keinginan KPU untuk melarang napi koruptor mencalonkan sebagai kepala daerah.

Ketua KPU Arief Budiman mengungkapkan alasannya-mengapa napi koruptor dilarang ikut pilkada-menurut yang bersangkutan ada "novum baru atau fakta baru" yang dulu menjadi argumentasi dan sekarang patah argumentasi itu."

Maksudnya yaitu dulu ada kepala daerah dan juga sebagai calon kepala daerah untuk periode kedua-yang terkena OTT oleh KPK tetapi dalam pilkada serentak tahun 2018-calon kepala daerah tersebut malah terpilih sebagai kepala daerah, yaitu Bupati Tulungagung, Syahril Mulyo. Dan ia dilantik sebagai kepala daerah hanya tiga menit kerena setelah pelantikan langsung diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri waktu itu.

Dan fakta lainnya yaitu bupati Kudus yang dulunya pernah divonis atau menjadi narapida koruptor dan ketika  menjadi kepala daerah menjadi terpidana lagi oleh KPK.Sekalipun ketika menjadi narapidana yang pertama yang bersangkutan bukan sebagai kepala daerah atau bupati Kudus.

Terkait keinginan "niat baik" KPU yang ingin atau akan melarang napi koruptor mencalonkan sebagai kepala daerah-menurut penulis niat baik saja belum cukup. Tetapi juga harus taat hukum dan prosedur. Karena niat baik kadang menabrak aturan atau prosedur.

Perlu diketahui, KPU adalah pelaksana dari undang-undang pilkada yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah. Dan KPU bukan sebagai pembuat undang-undang atau sebagai penafsir undang-undang. Kedudukan Peraturan KPU atau PKPU secara hukum dibawah undang-undang.

Dan pada waktu itu dalam pilkada serentak tahun 2018, KPU juga pernah mengeluarkan Peraturan KPU nomor 20 tahun 2018. Peraturan tersebut digugat di Mahkamah Agung (MA) dan putusan Mahkamah Agung membatalkan PKPU tersebut. Yang artinya mantan napi koruptor tetap boleh mencalonkan sebagai kepala daerah,dengan syarat mengumumkan kepada masyarakat atau publik terkait status sebagai narapidana.

Terkait dalih dan dalil ketua KPU Arief Budiman yang seolah menemukan novum baru atau bukti baru yaitu Bupati Tulungagung Syahril Mulyo yang sudah ditahan dan menjadi terdakwa KPK, namun dalam perjalan tetap terpilih sebagai kepala daerah dan dijadikan argumentasi untuk melarang napi koruptor ikut pilkada, menurut penulis KPU tidak konsisten atau cenderung ambigu.

Mengapa penulis berpandangan demikian?

Jadi Bupati Tulungangung yaitu Syahril Mulyo waktu menjadi tersangka atau terkena OTT oleh KPK-yang bersangkutan sudah ditetapkan sebagai calon kepala daerah oleh KPU.

Nah, waktu itu ada usulan dari partai politik atau pemerintah untuk mengganti calon kepala daerah yang menjadi tersangka atau terdakwa. Memang belum ada atau tidak ada aturan terkait hal itu. Tetapi waktu itu KPU tidak mau mengganti calon kepala daerah yang menjadi tersangka atau terdakwa oleh KPK dengan dalih belum ada putusan tetap dari pengadilan.

KPU beralasan kalau mengganti calon kepala daerah yang menjadi tersangka atau terdakwa dan putusan pengadilan ternyata membebaskan tersangka atau terdakwa,maka KPU bisa digugat.

Inilah menariknya, jawaban KPU yaitu normatif atau legal formal yang mematuhi putusan hukum di pengadilan. Di satu sisi KPU ingin mematuhi hukum formal di pengadilan dan menjaga atau melindungi hak kepala daerah yang menjadi tersangka atau terdakwa, tetapi di satu sisi ingin melarang napi koruptor ikut pilkada dengan Peraturan KPU yang lebih rendah kedudukannya dari undang-undang.

Kekhawatiran KPU terkait calon kepala daerah yang sudah menjadi tersangka atau terdakwa dan juga sudah ditahan tetapi tetap terlipih menjadi kepala daerah "tidak akan terjadi" kalau KPU menyetujui atau menerima usulan dari partai politik atau pemerintah, yaitu bisa mengganti calon kepala daerah yang menjadi tersangka atau terdakwa. Kalau diganti kan tidak mungkin seorang tersangka atau terdakwa bisa terpilih sebagai kepala daerah.Dan tidak bisa menyalahkan masyarakat yang memilihnya juga. Itulah demokrasi.

Inilah ambigunya KPU, tidak mau menerima usulan partai politik atau pemerintah untuk mengganti calon kepala daerah yang menjadi tersangka atau terdakwa tetapi ketika calon kepala daerah yang sudah menjadi kepala daerah-merasa keberatan atau kecewa. Apalagi demi formalitas kepala daerah yang terpilih tersebut dilantik dan tiga menit kemudian diberhentikan.Lelucon demikan tidak akan terjadi kalau dari awal membolehkan atau mengganti calon kepala daerah yang menyandang status tersangka atau terdakwa.

Toh, KPK dalam menuntut tersangka atau terdakwa di pengadilan Tipikor juga disertai tuntutan pencabutan hak politiknya dan pengadilan lah yang memutuskan,apakah terdakwa selain divonis hukuman sekian tahun dan dicabut hak politiknya. Harusnya KPU memakai hasil putusan pengadilan Tipikor ini untuk melarang napi koruptor ikut pilkada.

***