Tak Mudah Memahami Jokowi [2] Pemain Catur yang Dingin

Sepanjang Jokowi bisa mengendalikan tentu kita masih bisa berharap. Semoga Jokowi tak berubah, di tengah liak-liuk gerilyanya. Yang bukan hanya melingkar, tapi berliku-liku.

Jumat, 22 November 2019 | 05:13 WIB
0
1080
Tak Mudah Memahami Jokowi [2] Pemain Catur yang Dingin
Ilustrasi Joko Widodo (Foto: detik.com)

Ini sambungan tulisan sebelumnya, betapa ‘tidak mudah memahami Jokowi’. Lebih-lebih, ketika akhirnya tahu, Prabowo Subianto masuk menjadi bagian Kabinet Kerja Jokowi. Kecewa?

Tentu. Ngapain kita dulu milih Jokowi? Membela-belanya, hingga dikata-katain sebagai ini-itu, oleh para kampret? Dikeluarkan dari WAG keluarga karena milih Jokowi? Bayangin! Gedheg tentu. Problematis, Dilematis. Dan mbelgedhes. Tapi inilah realitas politik. Politik elitis. Suara rakyat, kedaulatan rakyat, dalam Pilpres langsung pun, tak memberi posisi tawar untuk rakyat.

Mencoba memahami sistem ketatanegaraan, dalam aturan konstitusi kita menganut sistem presidential. Kekuasaan eksekutif sepenuhnya di tangan Presiden. Senyampang itu, sebagai pelaksana konstitusi, Presiden diawasi Parlemen (DPR secara langsung, beserta DPD dan MPR). Merekalah lembaga pengawas, di samping soal legislasi dan anggaran negara yang mesti dijalankan Presiden.

Pada sisi itu, apa yang dinamakan oposisi? Dalam peran kenegaraan, semestinya di situlah posisi diambil Parlemen.

Mengawasi, mengkritisi, bahkan menghakimi kinerja Presiden. Anggota DPR adalah wakil rakyat. Pihak yang dipercaya rakyat, mewakili kepentingan rakyat, untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Dari Presiden dan seluruh jajarannya hingga Kadus pun.

Pada sisi ini, apakah kita masih percaya Jokowi? Karena dialah top leader, top manager di jajaran eksekutif. Dia yang akan menjalankan atau mengeksekusi pemerintahan. Memang masalah terberatnya, sistem politik dan pemilu kita, yang menihilkan partisipasi rakyat. Masih terbatas pada pengambilan suara di Pemilu dan Pileg semata. Kemudian kita hanya melihat bagaimana parpol rebutan posisi di Parlemen maupun kursi menteri.

Tapi jangan khawatir. Ini jaman perubahan. Rakyat kini punya alternative menyampaikan opini. Memiliki medsos yang sesungguhnya bisa sangat berdaya. Omongan Bung Karno, rakyat kuat negara kuat, tetap relevan. Tapi jika medsos hanya sebagai ujaran kebencian, nyebar hoax, tak ada artinya dalam transformasi sosial dan politik kita hari ini.

Meski sesungguhnya, tak begitu susah memahami Jokowi, sekiranya kita percaya. Bahwa Jokowi orang baik. Nothing to lose. Bersih dari KKN. Tak sebagai orang di partai politik, kaum oligarkis, yang banyak hiden agendanya. Mereka kini hanya mikir 2024.

Jokowi pemain catur yang dingin. Ia tahu siapa yang dirangkul dan yang sebenarnya target gebugannya. Ia bisa lebih dingin dari Soeharto. Lebih halus, ketika banyak musang berbulu domba dan domba berbulu hitam. Dengan menjadikan Prabowo ‘pembantunya’, Jokowi menunjukkan kelasnya. Lihat bagaimana ia menolak camen usulan Golkar. Tanpa peran KPK, Jokowi bisa menganulirnya.

Sepanjang Jokowi bisa mengendalikan tentu kita masih bisa berharap. Semoga Jokowi tak berubah, di tengah liak-liuk gerilyanya. Yang bukan hanya melingkar, tapi berliku-liku.

(Bersambung)

***

Tulisan sebelumnya: Tak Mudah Memahami Jokowi [1] Retorikanya Tak Seagung Soeharto