Tak mudah memahami Jokowi, yang datang bersama perubahan paradigma. Kita, apalagi kaum SJW, mungkin tak suka dengan istilah kerja keras dan kerja cepat.
Bagi para ningrat, apalagi orang-orang abad romantik, dengan dongeng perjuangan berdarah-darah, Jokowi mungkin bukan sosok idolatry. Pidato kepresidenannya, tak sangat glorius.
Tak sangat gagah. Tak ada retorika. Tak seagung Soeharto, yang teks pidatonya selalu terukur. Bisa dipastikan, dibanding para ghost-writer Gubernur, Bupati atau Walikota pun, Jokowi mungkin kalah. Dibanding para orator di panggung-panggung demo, dibanding Rizieq Shihab yang bisa khutbah sambil joget, Jokowi lewat. Kalah jauuhh.
Referensi dan preferensi kita, bahkan 20 tahun setelah Reformasi 1998, tidak berubah. Konsep heroisme dan kepemimpinan macho, masih jadi ukuran. Padahal, dunia selalu berubah. Bersamaan dengan revolusi teknologi informasi dan komunikasi, ini era baru yang diam-diam menjungkir-balikkan para superhero dari comfortable zone.
Di AS, Barrack Obama bisa terpilih sebagai presiden. Namun senyampang itu, kemudian bisa memilih Donald Trump. Di Indonesia, Majalah Tempo yang sastrawi, bisa blingsatan oleh ulah netizen. Puncak tragedinya, pengakuan orang yang mendungu-dungukan liyan, tapi ngaku akun twitternya dicuri orang dungu.
Apalagi ketika sistem pilpres di Indonesia tak lagi oleh MPR, melainkan langsung oleh rakyat. Dari SBY kemudian Jokowi, pesan perubahan sebenarnya jelas. Meski mungkin tak sangat heroik. Track-record adalah kata kunci siapa lebih dipilih dan dipercaya. Ini era transisi, kita memasuki era seorang yang "tak terlalu hebat" (dalam konvensi lama) bisa terpilih secara demokratis.
Jokowi bukan artikulator yang baik. Meski pemikirannya artikulatif. Ia bisa tas-tes dan kejam. Ia bisa rebat cekap. Tetapi ia type pemimpin androgini. Seorang pendengar dan penimbang. Tapi karena kompleksitasnya, seperti berkelit antara hukum dan politik (kasus KPK misalnya) membuat yang tak sabaran menudingnya lamban. Karena pidatonya tak menyebut soal korupsi, Jokowi dituding tidak peka.
Orang pinter menyebutnya presiden infrastruktur, atau developmentalis. Istilah pejoratif yang meski diam-diam itu pengakuan tak terelakkan. Bayangkan, dalam usia kemerdekaan lebih 50 tahun, infrastruktur kita tertinggal. Bagaimana mau ngomong soal kompetisi global?
Tak mudah memahami Jokowi, yang datang bersama perubahan paradigma. Kita, apalagi kaum SJW, mungkin tak suka dengan istilah kerja keras dan kerja cepat. Kita, mungkin akan ngotot soal 'kerja cerdas'. Kayak apa 'kerja cerdas' itu, mereka pun tak bisa menjabarkan. Kecuali lebih senang ribut di panggung media. Sembari nyomot ayat-ayat basi.
(Bersambung)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews