Tak Mudah Memahami Jokowi [1] Retorikanya Tak Seagung Soeharto

Tak mudah memahami Jokowi, yang datang bersama perubahan paradigma. Kita, apalagi kaum SJW, mungkin tak suka dengan istilah kerja keras dan kerja cepat.

Rabu, 20 November 2019 | 06:56 WIB
0
790
Tak Mudah Memahami Jokowi [1] Retorikanya Tak Seagung Soeharto
Presiden Soeharto dan Presiden Joko Widodo (Foto: Tribunnews.com)

Bagi para ningrat, apalagi orang-orang abad romantik, dengan dongeng perjuangan berdarah-darah, Jokowi mungkin bukan sosok idolatry. Pidato kepresidenannya, tak sangat glorius.

Tak sangat gagah. Tak ada retorika. Tak seagung Soeharto, yang teks pidatonya selalu terukur. Bisa dipastikan, dibanding para ghost-writer Gubernur, Bupati atau Walikota pun, Jokowi mungkin kalah. Dibanding para orator di panggung-panggung demo, dibanding Rizieq Shihab yang bisa khutbah sambil joget, Jokowi lewat. Kalah jauuhh.

Referensi dan preferensi kita, bahkan 20 tahun setelah Reformasi 1998, tidak berubah. Konsep heroisme dan kepemimpinan macho, masih jadi ukuran. Padahal, dunia selalu berubah. Bersamaan dengan revolusi teknologi informasi dan komunikasi, ini era baru yang diam-diam menjungkir-balikkan para superhero dari comfortable zone.

Di AS, Barrack Obama bisa terpilih sebagai presiden. Namun senyampang itu, kemudian bisa memilih Donald Trump. Di Indonesia, Majalah Tempo yang sastrawi, bisa blingsatan oleh ulah netizen. Puncak tragedinya, pengakuan orang yang mendungu-dungukan liyan, tapi ngaku akun twitternya dicuri orang dungu.

Apalagi ketika sistem pilpres di Indonesia tak lagi oleh MPR, melainkan langsung oleh rakyat. Dari SBY kemudian Jokowi, pesan perubahan sebenarnya jelas. Meski mungkin tak sangat heroik. Track-record adalah kata kunci siapa lebih dipilih dan dipercaya. Ini era transisi, kita memasuki era seorang yang "tak terlalu hebat" (dalam konvensi lama) bisa terpilih secara demokratis.

Jokowi bukan artikulator yang baik. Meski pemikirannya artikulatif. Ia bisa tas-tes dan kejam. Ia bisa rebat cekap. Tetapi ia type pemimpin androgini. Seorang pendengar dan penimbang. Tapi karena kompleksitasnya, seperti berkelit antara hukum dan politik (kasus KPK misalnya) membuat yang tak sabaran menudingnya lamban. Karena pidatonya tak menyebut soal korupsi, Jokowi dituding tidak peka.

Orang pinter menyebutnya presiden infrastruktur, atau developmentalis. Istilah pejoratif yang meski diam-diam itu pengakuan tak terelakkan. Bayangkan, dalam usia kemerdekaan lebih 50 tahun, infrastruktur kita tertinggal. Bagaimana mau ngomong soal kompetisi global?

Proyeksi Indonesia 2045, dengan hitungan rinci, bukan hanya para pembenci, para pemilih Jokowi pun kadang belum bisa nangkep; Apa yang harus dikerjakan kita bersama, sekarang ini? Jokowi bukan Soeharto, yang bisa 30 tahun berkuasa, bagaimana kepemimpinan paska Jokowi? Apakah bonus demografi berdampak pada tumbuhnya generasi baru? Dengan cara pandang baru?

Tak mudah memahami Jokowi, yang datang bersama perubahan paradigma. Kita, apalagi kaum SJW, mungkin tak suka dengan istilah kerja keras dan kerja cepat. Kita, mungkin akan ngotot soal 'kerja cerdas'. Kayak apa 'kerja cerdas' itu, mereka pun tak bisa menjabarkan. Kecuali lebih senang ribut di panggung media. Sembari nyomot ayat-ayat basi. 

(Bersambung)

***