Takut Dipolitisasi, Mahasiswa Tolak Fraksi Gerindra

Ini sebuah sikap yang terpuji dan patut diapresiasi dari Perwakilan mahasiswa, mereka tidak ingin ada kesan mahasiswa dimanfaatkan oleh kepentingan politik sebuah golongan atau Partai.

Selasa, 24 September 2019 | 08:50 WIB
0
1021
Takut Dipolitisasi, Mahasiswa Tolak Fraksi Gerindra
Foto: Tirto.id

Patut diapresiasi independensi mahasiswa yang demo menolak Revisi UU KPK dan RKUHP. Perwakilan mahasiswa yang niat awalnya ingin bertemu dengan Pimpinan DPR, akhirnya diterima oleh Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas, di ruang Fraksi Gerindra yang terletak di lantas 18 Nusantara I.

Perwakilan mahasiswa dari berbagai kampus tersebut, selain ditemui Supratman Ketua Komisi II Ahmad Riza Patria dan Anggota Komisi XI Heri Gunawan. Politikus Gerindra lain, Andre Rosiade, juga hadir.

Namun Perwakilan Mahasiswa yang diwakili oleh Ketua BEM FISIP Universitas Indonesia, Thierry Ramadhan, menolak diterima diruang Fraksi Gerindra, meminta pertemuan digelar di tempat yang netral--tanpa satu pun terpajang logo partai.

Ini sebuah sikap yang terpuji dan patut diapresiasi dari Perwakilan mahasiswa, mereka tidak ingin ada kesan mahasiswa dimanfaatkan oleh kepentingan politik sebuah golongan atau Partai. Sepertinya mereka sudah mencium ada gelagat yang tidak baik.

"Agenda kami agenda independen. Tolong semua yang merasa mahasiswa keluar," ujar Thierry.

"Kami minta tempat dipindahkan bukan di ruang fraksi. Kalau seandainya tidak ada ruangan, kami berharap di depan saja enggak apa. Yang penting bisa berdialog dengan wakil rakyat kami. Tolong jangan ada embel-embel partai," tambahnya.

Kekuatiran mahasiswa takut dimanfaatkan oleh kepentingan Partai politik cukup beralasan, karena memang dalam situasi seperti itu sangat mungkin ada keinginan Partai politik untuk memanfaatkan mereka, terbukti politisi partai Gerindra mengklaim mahasiswa ingin bertemu dengan mereka.

Riza Patria mengklaim mahasiswa ingin bertemu dengan perwakilan politikus Gerindra. Spontan para mahasiswa menyanggahnya. Riza pun mengakui ada komunikasi yang keliru sehingga mereka diarahkan ke ruang fraksi Gerindra.

"Makanya ini ada missed komunikasi. Bukan kami yang minta kalian bertemu kami, tidak. Meskipun kami fraksi, kami tolak UU KPK, tapi bukan kami yang minta," ucap Riza.

Gerindra sebagai Partai yang menolak Revisi UU KPK, merasa mendapat angin dengan kehadiran mahasiswa, namun pada kenyataannya mahasiswa tetap tidak ingin kepentingan mereka diakomodir oleh politisi Gerindra.

Mahasiswa tetap bersikukuh untuk berdialog diruangan lain di luar ruangan Fraksi Gerindra. Supratman mendapatkan kabar kalau ruang rapat badan legislasi bisa digunakan untuk audiensi. Akhirnya para mahasiswa pindah ke ruang rapat baleg di lantai 1 Nusantara I.

Perwakilan mahasiswa merasa kecewa, karena mereka berharap bisa bertemu dengan Komisi III DPR, ternyata mereka hanya diterima Supratman dan Heri Gunawan, juga Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu.

Kali ini para mahasiswa menanyakan keberadaan seluruh anggota Komisi III DPR.

"Saya langsung saja berbicara. Pertanyaannya, ke mana anggota Komisi III yang lain? Kenapa tidak di sini?" tanya Ketua BEM UI Manik Marganamahendra.

"Memang butuh anggota Komisi III yang lain? Ini sudah ada perwakilan, Pak Masinton," jawab Supratman.

Perwakilan mahasiswa ini merasa kecewa dengan perwakilan anggota Komisi III DPR yang ada, yang tidak menerima aspirasi yang sudah mereka sampaikan. Padahal sebelumnya mereka sudah membuat kesepakatan dengan Sekjen DPR RI Indra Iskandar, Kamis 19 September 2019.

"Memang ada kesepakatan dengan sekjen?" tanya Supratman.

Manik kaget mendengar jawaban itu. Ia menyimpulkan tuntutan mahasiswa tak disampaikan Sekjen DPR RI ke anggota dewan.

"Jadi gimana, nih? Jadi tidak disampaikan sekjen? Jadi bapak-bapak tidak mengetahui?" tanya Manik, disambut tepuk tangan mahasiswa lainnya.

Wajar kalau mahasiswa sangat emosional melihat respon Anggota Dewan terhadap aspirasi yang mereka sampaikan. Padahal apa yang dilakukan mahasiswa di Jakarta jauh lebih simpatik dibandingkan aksi mahasiswa di Wamena, Papua, yang sudah bertindak Anarkis.

Sehingga terkesan bukan lagi aksi mahasiswa, lebih kepada perbuatan premanisme. Tindakan brutal yang merusak fasilitas negara dan hunian penduduk bukanlah tindakan dan Perilaku mahasiswa, dan terbukti aksi demo di wamena, Papua sudah ditunggangi kepentingan politik.

Ajakan dialog Perwakilan mahasiswa yang demo di Gedung DPR-MPR, harusnya direspon secara positif oleh Anggota legislatif. DPR sebagai representasi dari rakyat tidak bisa menganggap remeh aspirasi mereka, justeru mereka hadir mewakili aspirasi rakyat.

Keberadaan DPR adalah untuk mendengar aspirasi rakyat, bukan mewakili kepentingan politik partai. DPR harus bisa menterjemahkan apa yang diinginkan rakyat, aspirasi yang wakilkan kepada Perwakilan mahasiswa adalah menolak Revisi UU KPK dan RKUHP.

Itulah perlu adanya dialog antara perwakilan mahasiswa dan DPR. Agar DPR bisa menjelaskan apa kepentingannya tetap mempertahankan revisi UU KPK. Kalau RKUHP sudah jelas dibatalkan, setelah Pimpinan DPR bertemu dengan Presiden di Istana kemarin.

Kalau untuk berdialog saja mahasiswa tidak bisa, maka kebuntuan ini akan berakibat pada meluapnya emosi mahasiswa yang merasa tidak diakomodir aspirasinya.

Konsekuensinya adalah, gelombang demontrasi mahasiswa akan terus bertambah besar setiap harinya.
Demontrasi tersebut kalau tidak diantisipasi oleh DPR dengan adanya dialog, maka besar kemungkinan Gedung DPR-MPR akan diduduki mahasiswa, seperti yange terjadi pada tahun 1998. Jelas situasi seperti itu bukanlah sesuatu yang kita harapkan.

Atau jangan-jangan DPR memang menghendaki situasi tersebut.? Karena dengan situasi yang seperti itu, kemungkinan besar Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal, 20 Oktober 2019, akan gagal dilaksanakan, dan bisa jadi sebelum dilantik, Presiden Jokowi sudah dipaksa turun oleh mahasiswa.

Sumber

***