Ketegasan pimpinan KPK yang diketuai Agus Rahardjo dan Presiden Jokowi terkait dengan penanganan kasus korupsi yang tanpa pandang bulu itu tentunya patut diapresiasi.
Siapa yang tidak kenal dengan Imam Nahrawi? Namanya mulai mencuat sejak menjadi Ketua DPW PKB Jatim. Jejak digital mencatat, Minggu (20/7/2008), bersama PKB kubu Muhaimin Iskandar, ia bersukaria atas kekalahan KH Abdurrahman Wahid.
Mereka melakukan syukuran paska kemenangan kubu Imin setelah MA menolak kasasi PKB kubu Gus Dur itu. Ia mencukur gundul rambutnya. Ketika itu, Ketua Dewan Syuro, KH Azis Mansyur sendiri yang memotong rambut Imam. Itulah jejaknya.
Setelah 11 tahun aksi gundul itu, Menpora Imam Nahrawi harus menjadi pesakinan dan telah ditetapkan KPK karena diduga menerima gratifikasi senilai Rp 16,5 miliar dari KONI sebagai commitment fee pengurusan pencairan dana hibah Kemenpora.
Kasus dugaan tipikor pemberian dana hibah KONI ini telah sampai pada penetapan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka oleh KPK. Sebelum Imam, KPK telah menjerat lima orang tersangka kasus dana hibah tersebut.
Mereka adalah Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johnny E. Awuy, dua staf Kemenpora yakni Adhi Purnomo dan Eko Triyanto, serta Mantan Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Mulyana.
Ending dan Johnny telah divonis bersalah oleh majelis hakim tipikor. Ending selaku Sekjen KONI dihukum 2 tahun delapan bulan penjara, sementara Johnny sebagai Bendahara Umum KONI divonis penjara 1 tahun delapan bulan.
Selain itu, Adhi Purnomo, Eko Triyanto, dan Mulyana juga baru saja menerima vonis majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 12 September 2019 lalu. Ini merupakan bukti atas komitmen Presiden Joko Widodo dalam pemberantasan korupsi.
Presiden Jokowi tidak ikut campur tangan terkait dengan mitra Parpol Koalisi yang terlibat kasus korupsi. Tanda-tanda Imam bakal menjadi tersangka seusai Sesmenpora Gatot Dewa Broto diperiksa dalam penyelidikan KPK, Jum’at (26/72019).
Saat itu Gatot mengaku diperiksa KPK terkait pengelolaan anggaran di Kemenpora. “KPK ingin tahu tentang pola pengelolaan anggaran dan program sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2018. Kenapa harus saya? Karena saya sebagai Sesmenpora,” kata Gatot.
Alhasil, ungkap KPK, Imam menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 26,5 miliar sepanjang pada 2014 hingga 2018. Isyarat penetapan tersangka kepada Imam sudah mulai tercium sejak KPK tiba-tiba menahan asisten pribadinya, Miftahul Ulum, Rabu (11/9/2019.
Saat itu, penetapan tersangka pada Ulum belum diumumkan KPK. Sepekan setelah menahan Ulum, KPK pun akhirnya mengumumkan Ulum dan Imam sebagai tersangka.
Imam merupakan menteri Kabinet Kerja jilid I pemerintahan Presiden Jokowi yang dijerat sebagai tersangka. Sebelumnya ada Menteri Sosial Idrus Marham yang dijerat dalam kasus suap PLTU Riau-1.
Idrus divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Idrus terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar. Uang tersebut diberikan oleh pengusaha sekaligus salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.
Dalam kasus ini, Idrus terbukti menerima suap bersama-sama Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Eni merupakan anggota Fraksi Partai Golkar. Baik Eni maupun Idrus adalah sama-sama “orang” Golkar. Imam Nahrawi dari PKB.
Kedua parpol itu adalah mitra Parpol Koalisi Jokowi. Sebelumnya, KPK menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi, yang juga kader PDIP sebagai tersangka dugaan korupsi dalam proses pemberian izin usaha pertambangan pada 3 perusahaan di lingkungan Pemkab Kotawaringin Timur.
“KPK meningkatkan status penanganan perkara ke Penyidikan dan menetapkan SH sebagai tersangka,” ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, seperti dilansir Merdeka.com, Jumat (1/2/2019).
Diduga Supian Hadi selama periode 2010-2015 telah merugikan keuangan negara dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Fajar Mentaya Abadi), PT Billy Indonesia, dan PT. Aries Iron Mining di Kabupaten Kotawaringin Timur.
Syarif menjelaskan, Supian saat diangkat menjadi Bupati Kotawaringin Timur periode 2010-2015, langsung mengangkat teman-teman dekatnya yang merupakan tim suksesnya sebagai petinggi di perusahaan-perusahaan itu. Diduga negara dirugikan sekitar Rp 5,8 triliun.
Sebelum revisi UU KPK, menurut catatan peniliti ICW Kurnia Ramadhan, catatan lima tahun terakhir, setidaknya ada 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Bahkan Ketua DPR Setya Novanto bersama Wakil Ketua DPR Taufik Kurniwan, pun tidak luput dari jerat hukum KPK. Dari 23 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, delapan diantaranya dari Partai Golkar.
Partai berlambang pohon beringin ini penyumbang terbesar dalam kasus korupsi di Senayan. Selanjutnya, tiga PDIP, tiga Demokrat, tiga PAN, dua Hanura, dan masing-masing satu PKS, PKB, PPP, Nasdem. “Perkara yang sedang ditangani KPK banyak melibatkan anggota DPR,” kata Kurnia, seperti dilansir Tirto.id, Minggu, (15/9/2019).
Publik tentu masih mengingat salah satu kasus mega korupsi e-KTP. Korupsi itu merupakan hasil kongkalikong banyak pihak; eksekutif, legislatif, maupun swasta. Persekongkolan jahat itu membuat duit negara sebesar Rp 2,3 triliun raib dalam proyek bernilai Rp5,9 triliun.
Akibat mega korupsi itu, tiga politisi dijebloskan ke Lapas Sukamiskin; Miryam S. Haryani (Hanura), Markus Nari (Golkar), dan Setya Novanto (Golkar).
Dalam pembacaan tuntutan Setnov pada Maret 2018, Jaksa KPK Eva Yustisia mengungkap, terdakwa (Setnov) bersama Djamal Azis, Chairuman Harahap, Markus Nari, dan Akbar Faisal (Anggota Komisi III) melakukan penekanan kepada Miryam agar mencabut BAP saat persidangan Irman dan Sugiharto.
Dalam BAP itu, Miryam menjawab secara rinci aliran dana yang mengalir ke anggota DPR. Hal itu menyebabkan para politisi ketakutan. Bahkan, Setnov sempat menjamin Miryam tak akan dipenjara bila mencabut keterangannya tentang korupsi e-KTP.
Bujukan Setnov itu akhirnya meyakinkan Miryam untuk mencabut BAP pada 23 Maret 2017. Selain itu, anggota Komisi III DPR yang tersangkut dalam kasus korupsi lainnya, Patrice Rio Capella.
Mantan Sekjen Partai NasDem terkait penanganan kasus bansos di Kejaksaan Tinggi Sumut dan Kejaksaan Agung. Akibatnya Rio meringkuk di balik jeruji selama 1,6 tahun, lebih kecil dari tuntutan Jaksa 2 tahun.
Rio dianggap terbukti menerima hadiah Rp 200 juta dari Gubernur nonaktif Sumut Gatot Pujo Nugroho (dari PKS) dan istrinya, Evy Susanti. Duit itu diserahkan untuk mengamankan kasus dugaan korupsi dana bansos di Kejaksaan Agung.
Tak hanya Rio, anggota Komisi III lainnya yang tersangkut korupsi adalah I Putu Sudiartana dari Partai Demokrat dan mantan Ketum DPP PPP Muhammad Romahurmuziy alias Romy (kasusnya sudah masuk Pengadilan Tipikor Jakarta).
I Putu Sudiartana, Wakil Bendahara Partai Demokrat periode 2015-2020, divonis 6 tahun penjara karena terbukti menerima suap dan gratifikasi Rp500 juta terkait rencana proyek pembangunan 12 ruas jalan di Sumatera Barat pada 2016.
Sementara, mantan Ketua PPP Romy itu diduga terlibat dalam kasus jual-beli jabatan Kanwil Kemenag Jawa Timur dan Gresik. Kecuali Gatot Pujo Nugroho dan I Putu Sudiartana, para napi, terdakwa, dan tersangka adalah dari Parpol Koalisi Jokowi.
Yakni: PDIP, Golkar, NasDem, Hanura, PKB, dan PPP. Jika melihat jejak digital, ada kader Parpol Koalisi Jokowi lain, seperti Mendag Enggarsiasto Lukito (NasDem), Menag Lukman Hakim Sarifuddin (PPP), dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar, berpotensi menyusul.
Ketegasan pimpinan KPK yang diketuai Agus Rahardjo dan Presiden Jokowi terkait dengan penanganan kasus korupsi yang tanpa pandang bulu itu tentunya patut diapresiasi. Dan, diharapkan pula, pimpinan KPK yang baru juga mengikuti jejaknya.
Semoga saja sebelum pelantikan pimpinan KPK yang baru, Agus Rahardjo sudah mengeksekusi tiga nama terakhir yang disebut di atas tersebut.
Bravo KPK!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews