Miskonsepsi Ideologi

Secara klise dikatakan, caranya jangan pakai indoktrinasi dan harus sesuai dengan gaya milineal. Cuma itukah cakupan, kandungan dan implikasi ideologi?

Minggu, 4 Agustus 2019 | 07:57 WIB
0
249
Miskonsepsi Ideologi
Ilustrasi ideologi Pancasila (Foto: Kompas.com)

Ada tendensi sesat pikir dalam memandang pembangunan ideologi Pancasila sebagai sesuatu yang sejajar dengan bidang-bidang pembangunan lainnya. Apa yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum untuk menempatkan isu ideologi di sisi sempit dari tema luas perdebatan calon presiden adalah anak kandung dari kekeliruan seperti itu.

Padahal, ideologi Pancasila itu merupakan dasar falsafah pembangunan (Philosophische Grondslag), teropong untuk memandang pembangunan (Weltanschauung), dan bintang penuntun pembangunan (Leitstern). Sebagai dasar, cara pandang, dan panduan pembangunan, Pancasila itu mestinya dijadikan paradigma pembangunan yang harus ditempatkan di atas sekaligus merembesi segala bidang pembangunan lainnya.

Isu ideologi seharusnya menjadi tema tersendiri yang ditempatkan sebagai hulu (urutan pertama) dari serangkaian debat calon presiden. Tema-tema selanjutnya adalah turunan dari debat ideologi, sebagai konsekuensi imperatif ideologis terhadap bidang-bidang pembangunan di hilirnya.

Miskonsepsi ideologi seperti itulah yang menjadi pangkal inkonsistensi antara idealitas dan realitas pengamalan Pancasila. Kebijakan dalam berbagai bidang pembangunan seringkali berjalan sendiri-sendiri dan sesuka-suka, tanpa keterpaduan dan keajegan dengan nilai-nilai Pancasila.

Lebih dari itu, isu Pancasila lebih sering dipahami sebatas metode sosialisasi Pancasila. Secara klise dikatakan, caranya jangan pakai indoktrinasi dan harus sesuai dengan gaya milineal. Cuma itukah cakupan, kandungan dan implikasi ideologi?

Pertama-tama harus dipahami hakikat Pembangunan Nasional itu sesungguhnya merupakan gerak berkelanjutan dalam peningkatan mutu peradaban bangsa. Ketahanan nasional sebagai daya sintas suatu bangsa pada dasarnya ditentukan oleh daya (kualitas) budaya dan peradaban yang tercermin dari kondisi-kondisi yang berlangsung pada tiga ranah utama kehidupan manusia: ranah mental-spiritual, ranah institusional-politikal, dan ranah material-teknologikal.

Ranah pertama kerap disebut sebagai ranah budaya, sedang ranah kedua dan ketiga disebut sebagai ranah peradaban. Meski demikian, lazim pula dipahami, bahwa dalam istilah peradaban pun terkandung basis nilai budaya. Oleh karena itu, ketiga ranah tersebut bisa disebut dalam satu tarikan nafas sebagai ranah peradaban.

Paradigma Pancasila telah mengantisipasi pentingnya memperhatikan ketiga ranah tersebut. Ranah mental-spiritual (kultural) basis utamanya adalah sila pertama, kedua, dan ketiga.

Dengan spirit Ketuhanan, kemanusiaan dan persatuan, dikembangkan daya-daya spiritualitas dalam sosiabilitas yang berperikemanusiaan, egaliter, mandiri, amanah (berintegritas), beretos kerja yang positif dan kreatif, serta sanggup menjalin persatuan (gotong-royong) dengan semangat pelayanan (pengorbanan).

Ranah institusional-politikal basis utamanya sila keempat. Bahwa tatanan sosial-politik hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat-kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi demokrasi yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara kesejahteraan); yang termanifestasi dalam kehadiran pemerintahan negara yang melindungi segenep bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemedekaan, perdamaian dan keadilan.

Ranah material-tenologikal basis utamanya sila kelima. Bahwa kemandirian dan kesejahteraan umum hendak diraih dengan mengupayakan perekonomian merdeka; berlandaskan usaha tolong-menolong (semangat koperatif), disertai pengusaan negara atas “karunia kekayaan bersama” (commonwealth) serta atas cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak; seraya memberi nilai tambah atas karunia yang terberikan dengan input pengetahuan dan teknologi.

Pada akhirnya, ketiga ranah tersebut, secara sendiri-sendiri dan secara simultan diarahkan untuk mewujudkan visi negara-bangsa: terwujudnya perikehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (material dan spiritual), berlandaskan Pancasila.

Pengembangan ketiga ranah tersebut memerlukan keandalan tiga agen sosial: rejim pendidikan dan pengetahuan, rejim politik-kebijakan, rejim ekonomi produksi.

Prioritas rejim pendidikan-pengetahuan adalah membenahi aspek mental spiritual dengan merevitalisasi pendidikan budi pekerti, terutama pada tingkat pendidikan dasar, dengan oritentasi melahirkan generasi baru Indonesia yang berkarakter dan kreatif dengan jiwa merdeka.

Prioritas rejim politik-kebijakan adalah menyusun tata kelola pemerintahan dan kemasyarakatan yang menguatkan persatuan dan keadilan. Kebijakan politik harus merespons tantangan perbaikan tata kelola budaya (mental-spiritual), tata kelola sumberdaya material dan teknologi, serta tata kelola demokrasi, hukum dan pemerintahan.

Prioritas rejim ekonomi-produksi adalah meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan umum dengan mengupayakan inklusi ekonomi serta mengembangkan sektor produktif berbasis pengetahuan dan teknologi, dimana pengembangan riset dan teknologi harus beringsut dari lembaga riset negara menuju ranah industri-perusahaan (terintegrasi ke dalam sektor produktif).

Dengan cara-cara seperti itulah, idealitas Pancasila bisa bergerak mendekati realitas. Tes terakhir dari keampuhan Pancasila teruji ketika setiap sila dan konsepsinya bisa dibumikan dalam kenyataan semesta pembangunan.

Yudi Latif,  Pengurus Aliansi Kebangsaan

***

Keterangan: Tulisan telah dimuat di Harian Kompas, Kamis, 04 April 2019