Papua: “We Are Not Monkey!”

Demo Papua, tidak ada sebutir peluru tajam pun yang keluar dari senjata aparat. Yang terjadi justru sebaliknya. Aparat (polisi) malah dikejar-kejar pendemo yang menuntut Referendum dan Merdeka .

Jumat, 23 Agustus 2019 | 16:40 WIB
0
630
Papua: “We Are Not Monkey!”
Demo Papua di depan Istana Merdeka, Kamis, 22 Agustus 2019. (Foto: Tempo.co).

Sejak berubah nama dari Provinsi Irian Jaya menjadi Papua (dan Papua Barat) pada waktu Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid – Wapres Megawati Soekarnoputi, persoalan Papua memang begitu seksi untuk dijadikan “proyek politis”.

Gelontoran dana Otonomi Khusus dari Pusat, ternyata belum sanggup “memakmurkan” warga Papua hingga kini. Konflik horizontal di Bumi Cendrawasih nyaris terjadi setiap saat. Beragam pemicu bisa menjadi pemantik kerusuhan di Papua.

Provokasi yang terjadi di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya dan demo di Kota Malang, bermula dari umpatan nama penghuni “Kebun Binatang”, seperti “monyet” yang ditujukan kepada mahasiswa Papua menjadi pemantik kerusuhan.

Ditambah lagi adanya provokasi dari akun Permadi Arya alias Abu Janda @permadiaktivis: gara2 FPI geruduk asrama Papua di Surabaya.. sekarang warga Papua marah tidak terima sampai rusuh bakar2an (6:54 PM - Aug 19, 2019).

Framing Abu Janda terhadap Front Pembela Islam (FPI) itu sudah sangat terlalu luar biasa! Seharusnya Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian bertindak tegas. Karena, fakta di lapangan yang beredar dalam video-video, justru tampak ormas Doreng.

“Terbukti ormas cecunguk pengkhianat-cukong yang menyerang asrama mahasiswa Papua di Surabaya,” ungkap sumber Pepnews.com. Kepada para pengkhianat, jangan kalian main api dengan mengorbankan rakyat Papua dan umat Islam.

Mengapa juga disebut umat Islam segala? Karena framing Abu Janda itulah, rakyat Papua yang tidak tahu peristiwa sebenarnya yang terjadi di Surabaya, langsung menyangka adanya keterlibatan FPI, sehingga sempat ada upaya menyerang masjid.

Namun, upaya tersebut mendapat perlawanan umat Islam di Papua, sehingga tidak sampai terjadi bentrok. Setidaknya itulah yang terjadi pada Senin, 19 Agustus 2019, di Manokwari, Papua Barat, lokasi awal mula kerusuhan di Bumi Cendrawasih.  

Tudingan Abu Janda jelas sudah masuk kategori upaya pecah-belah antar umat beragama (Islam dan Kristen) di Papua. Apalagi, sebelum peristiwa Papua tersebut sudah menyebar video Ustadz Abdul Somad yang dianggap menghina Salib.

Karena dianggap menghina simbol agama Nasrani itu, UAS dilaporkan sejumlah kelompok masyarakat ke Polisi. Menariknya, rekaman video yang dianggap menghina ini terjadinya sekitar 3 tahun lalu. Mengapa baru sekarang ini dipersoalkan?

Siapa pengunggap rekaman video tersebut, menarik untuk ditelusuri. Karena, dari sinilah nanti bisa terungkap motif di balik penyebarannya. Dalam klarifikasinya, UAS menegaskan video ceramah itu adalah barang lama, tiga tahun lalu.

UAS dilaporkan oleh organisasi massa Brigade Meo ke Polda NTT terkait ceramah UAS yang viral di media sosial dan dianggap meresahkan umat Nasrani. WE Online, Senin, 19 Agustus 2019 08:33 WIB mengutip penelusuran akun @nephilaxmus.

Penelusuran dari akun twitter atas nama @nephilaxmus menemukan, ada lima cuitan dari beberapa akun yang mendorong kontroversi hukum melihat salib UAS ini yang menjadi viral belakangan ini. Dengan kata kunci penelusuran: ‘somad salib’. 

Akun Twitter @KatolikG merupakan akun yang terawal mengusung isu video hukum melihat salib UAS tersebut. Pada cuitannya, akun @KatolikG melampirkan postingan akun Instagram  @katolik_garis_lucu yang berisi respons atas video ceramah UAS tersebut. 

Cuitan akun Twitter @KatolikG itu kemudian dibalas komentar beberapa akun, diantaranya akun @PosRonda551, yang memosting cuitan komentarnya pada 15 Agustus 2019 pukul 09.23 PM. 

Selanjutnya, akun Twitter lain yang mengawali isu ini yakni akun @TolakBigotRI pada 16 Agustus 2019. Dalam cuitannya akun ini prihatin dengan ceramah UAS ini. 

Sehari sebelum HUT Kemerdekaan RI-74, beberapa akun menggulirkan isu ceramah salib UAS yaitu akun @inspirasijiwa pada 16 Agustus 2019 pukul 12.22 PM. 

Akun lainnya yang mengomentari isu video ceramah UAS, yakni akun @Rudi_Tarigan yang memosting statusnya pada 16 Agustus 2019 pukul 12.38 PM mengomentari postingan dari akun @TolakBigotRI

Nah, itu adalah temuan akun @nephilaxmus, kalau penasaran, akun ini sudah menyilakan Anda bisa menelusuri sendiri melalui pencarian di Twitter dengan mengetikkan kata kunci 'somad salib'.

Dari penelusuran akun @nephilaxmus tersebut sebenarnya sudah sangat jelas sekali. Bahwa di sini ada unsur kesengajaan dari pemosting untuk membenturkan UAS (Islam) dengan umat Nasrani, sehingga berpotensi muncul konflik antar agama. 

Ini yang kemudian membuat Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) menyatakan akan tetap mendampingi UAS berkaitan dengan kasus yang dituduhkan kepadanya. Pendampingannya terkait proses hukumnya.  

“Pasalnya, selain pengurus LAMR, UAS menyandang gelar adat kehormatan Melayu Riau, Datuk Seri Ulama Setia Negara,” kata Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat (MKA) LAMR, Datuk Seri Al Azhar, dalam pernyataan pers di Pekanbaru, Senin (19/8/2019).

Datuk Al Azhar menyampaikan hal tersebut didampingi oleh Ketum Dewan Pimpinan Harian (DPH) LAMR Datuk Seri Syahril Abubakar, menanggapi gencarnya pemberitaan tentang tuduhan UAS menista agama tertentu yang sampai dilaporkan ke kepolisian.

Menurutnya, Datuk Seri Abdul Somad telah membuat klarifikasi atas tuduhan yang ditujukan kepadanya. Selain itu, materi yang dipermasalahkan terjadi tiga tahun lalu dan dibentangkan secara eksklusif.

“Atas dasar itu, kami justru mempertanyakan mengapa baru sekarang materi ceramah UAS dipermasalahkan, setelah tiga tahun terjadi, apalagi ceramah itu bersifat eksklusif (tertutup),” katanya.

Menurut Datuk Seri Syahril Abubakar, atas dasar itu pula pihaknya menduga, ada kepentingan lain di balik mempermasalahkan ceramah UAS tersebut.

“Tapi kami yakin, berbagai pihak masih memiliki niat baik agar masalah ini tidak merusak hubungan harmonis anak bangsa, sehingga bisa diselesaikan secara baik,” ujarnya.

Pihak UAS sendiri juga sudah melakukan klarifikasi bahwa hal tersebut disampaikan untuk menjawab pertanyaan jamaah tentang Nabi Isa dan patung menurut Islam.

UAS mengklaim menjawab pertanyaan jamaah tersebut di dalam kajian tertutup, di Masjid Raya Annur Pekanbaru, di kajian rutin setiap Sabtu subuh, bukan tabligh akbar di lapangan terbuka atau di televisi.

Jadi, nasib Papua itu sebenarnya tak ubahnya dengan nasib umat Islam. Mereka telah menjadi target operasi “proyek politis” dari kalangan elit tertentu di Jakarta. Apalagi, konon, hal ini masih ada kaitannya dengan bargaining susunan kabinet.

Apalagi, pemantik kerusuhan Papua itu karena ada umpatan “monyet” yang ditujukan kepada mahasiswa Papua di Surabaya dari seorang yang diduga aparat. Dari sini pun bisa ditanyakan, mengapa dia harus berkata seperti itu, siapa yang perintahkan?

Solusi atas ketersinggungan warga Papua hanya dengan permintaan maaf saja. Oknum aparat itu harus diproses secara hukum tanpa pandang bulu. Kasihan Papua, eksploitasi tambang di perut Bumi Cendrawasih “dikuasai” elit politik di Jakarta.

Tak ada satupun orang Papua yang berani minta saham PT Freeport Indonesia, seperti yang telah dilakukan elit Jakarta, “Papa Minta Saham”. Tapi, Papua masih cukup beruntung bila dibandingkan dengan umat Islam di provinsi luar Papua.

Meski mereka membawa bendera Bintang Kejora, toh tidak ada aparat berwenang yang berani merampas dan menangkapnya, meski di depan Istana Merdeka sekalipun. Ini berbeda dengan perlakukan terhadap umat Islam. Langsung dipersekusi!

Apalagi sampai membawa Bendera Tauhid! Langsung dituding terpapar radikal, terlibat HTI, dan diburu aparat! Bahkan, ditembakin dengan peluru tajam, seperti saat demo di depan MK pada 21-22 Mei 2019 hingga menewaskan 9 orang.

Demo Papua, tidak ada sebutir peluru tajam pun yang keluar dari senjata aparat. Yang terjadi justru sebaliknya. Aparat (polisi) malah dikejar-kejar pendemo yang menuntut Referendum dan Merdeka di Papua, Senin (19/8/2019).      

Kasihan Papua dan umat Islam yang sejatinya telah menjadi korban “proyek politik” demi sebuah tujuan elit politik di Jakarta.

***