Politik itu ambigu. Di satu sisi menyebalkan di sisi lain kangen jika berita tidak dibumbui intrik-intrik politik. Suatu ketika ada perasaan jenuh ketika semua media hampir setiap hari mengabarkan berita tentang politik.
Ada pertarungan antarkubu yang berseberangan. Saling serang dengan logika atau nalar masing- masing. Semua mengaku berjuang atas nama rakyat, agama dan bangsa. Dua- duanya saling menciderai, dua-duanya terluka. Ada tangis, air mata yang menetes, sebab ada kebencian yang tertanam kuat melihat para pemimpin tanpa sungkan berkampanye dengan data- data yang tidak terukur.
Politisi saling klaim telah mampu merangkul rakyat dan menjanjikan akan membuat terobosan pembangunan, memanjakan rakyat dengan seribu janji yang dibawa saat jumpa pendukung dari daerah ke daerah dari pulau ke pulau, dari satu komunitas ke komunitas yang lain dari yang dominan berbaju putih ke baju baju berwarna merah, kuning, bahkan mungkin hingga pink dan orange.
Selama enam bulan masyarakat dibuai janji. Selama itu mereka menahan perih, pedih, tersayat-sayat menyaksikan masyatakat saling olok saling caci. Lebih mengerikan lagi komentar-komentar warganet yang sering ngawur, sering kebablasan tidak terkontrol sehingga menampakkan manusia barbar yang tidak tahu aturan, tidak tahu sopan santun meskipun setiap hari dengan tekun mereka berdoa.
Bahkan doapun kini tidak steril. Ada doa politik, doa di ruang publik, doa di panggung kampanye, doa di televisi. Dengan wajah ekspresif doa–doa itu menderas mengarah ke Tuhan Pencipta Alam Semesta. Ada doa tulus, ada doa teraniaya, ada doa penuh kecaman, doa penuh ancaman, doa keputusasaan, doa pesimisme dan doa optimisme.
Tahun politik membuat setiap orang tidak berani bicara blak- blakan apalagi masalah pilihan politik. Ada sinisme, ada rasa tidak enak, ada yang akhirnya harus putus cinta gara- gara pilihan politik.
Semburan kebencian itu merasuk dalam jiwa sehingga ketika sudah memilih salah satu tidak ada lagi ruang dalam bathin untuk menghargai pilihan kolega, teman, saudara. Semuanya seperti menjauh, membuat suasana tegang dan takut muncul.
Saya menunggu musim kampanye berlalu, menunggu bias mata orang- orang tidak dipenuhi rasa benci. Kalah menang hanyalah sebuah kontestasi. Pada akhirnya untuk menyambut masa depan ada yang harus berkorban dan dikorbankan.
Ada kalah dan menang. Yang kalah legowo dan sportif menerima kekalahan yang menang tidak lantas besar kepala dan merasa di atas angin.
Lekaslah berlalu musim kampanye, Kami rindu bersama teman sepeminuman kopi berbagi cerita, canda tanpa menyinggung masalah politik yang membuat panas jiwa dan menggelegakkan emosi sampai ujung- syaraf di lingkaran ubun- ubun. Lapangan- lapangan tidak dipenuhi bendera- bendera partai dan gelasah plastik tak bertuan.
Biarlah tempat – tempat ibadah menjadi senyap hingga dialog manusia dan Tuhan menghadirkan rasa tenang sampai ke kedalaman nurani.
Biarlah emak- emak tidak lagi melahirkan dusta dalam bercengkerama berpura- pura menjadi pejuang politik,padahal mereka sebetulnya hanya ingin berbagi ruang membahas remeh temeh kehidupan keluarga masing- masing sambil sesekali membuat gosip tentang tetangga yang tidak pernah mau kumpul.
Kami rindu saat tidak lagi para politisi saling beradu janji. Biarlah mereka bekerja di kursi masing- masing memperjuangkan apa yang mereka janjikan saat kampanye. Bukan menguburkan keinginan rakyat yang hanya diberi janji tetapi jarang ditepati.
Lupakan saja kebencian dalam perbedaan ideologi dan pilihan politik. Melangkah bersama bergotong royong membangun negeri tanpa peduli siapa pemimpinnya. Toh saya, anda, mereka, kita tetap harus hidup dalam persoalan hidup yang beragam setiap hari. Derita, senang, sial,beruntung, sukses karir, gagal dalam usaha itu bagian masalah yang harus dihadapi sepanjang hayat.
Itulah persoalan sebenarnya yang mesti bisa dipecahkan agar manusia tetap bisa mengisi hari hari dengan optimis tanpa harus disandera persoalan.Salam damai- damai saja.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews