Sehari sebelum KPU merilis rincian petugas kelompok pemungutan suara, sebuah cerita duka itu bermula. Pasca pemilihan tanggal 17 April 2019 lalu bahkan kabar duka terkait meninggalkan beberapa petugas KPPS mengiasi pemberitaan online yang kerap saya baca. Sebuah foto yang saya jadikan caption tulisan diatas, masuk melalui pesan whatshaap. Saya mencermati foto yang diambil di sebuah lokasi yang terkait dengan pemungutan suara.
"Wani Perih mbak" demikian pesan yang menyertai.
Sontak saya bertanya panjang lebar terkait insiden yang menyebabkan tanganya tampak seperti di foto. Kondisi Mutiara, seorang anggota PPK di salah satu kecamatan di Kabupaten Banjarnegara - Jawa Tengah, belumlah seberapa. Dia masih merasa bersyukur karena masih bisa tetap menjalankan tugas-tugasnya di PPK hingga kini. Dia pun menceritakan beberapa kabar duka yang datang dari rekan-rekan yang bertugas sebagai ujung tombak pemilu 2019 yang harus bertaruh nyawa akibat kelelahan.
Pesan berikutnya saya baca dengan seksama. Tertulis 3 nama yang telah berpulang ke Rahmatullah di lingkup kabupaten Banyumas. Satu diantaranya adalah Srikandi demokrasi, sosok perempuan anggota KPPS Banjarsari Kidurl TPS 09 Sokaraja yang bernama Ibu Sopiah.
Dua lainnya almrhum Bapak Sudiran Anggota Linmas Cikakak Kecamatan Wangon. Dan Alm Bapak Slamet Anggota Linmas TPS 9 Kelurahan Kober- Purwokerto barat. Tiga nama pejuang demokrasi ini menjadi bagian dari total 91 orang yang terlibat dalam pemungutan suara dan tersebar hampir di seluruh Propinsi.
Di Bekasi, salah satu anggota KPPS wilayah Kranji mengalami kecelakaan tragis hingga meninggal. Di Jember, Sri kandi demokrasi bernama Dewi Lutfiatun Nadhifah mengalami keguguran saat bertugas sebagai pengawas TPS. Seorang guru SD di Tegal pun meninggal seaktu menunaikan tugas sebagai komisioner Panwaslu Kecamatan Brebes. belum lagi mereka yang masih dalam perawatan akibat sakit yang menurut data KPU berjumlah 374 orang tersebar di beberapa Propinsi. Dan banyak cerita lain yang menjadi pernik duka demokrasi pada pemilu 2019 kali ini.
Dedikasi mereka akan pelaksanaan demokrasi penuh dengan konsekuensi. Kelelahan hingga mengindahkan rasa sakit akibat konsentrasi penuh pada pekerjaan pemilihan umum menjadi pengantar mereka menjemput takdir menjadi pahlawan demokrasi. Pun kerja mereka belumlah Paripurna. Penetapan atas perolehan suara sebagai pertanda rampungnya proses pemilihan umum masih berkisar 3 minggu kedepan.
Dalam suasana duka akibat kehilangan rekan kerja, nyatanya petugas kelompok pemungutan suara itu terus bekerja. Anehnya, ada satu kondisi yang terlihat kurang berempati dengan keadaan ini. Alih-alih menyuarakan "kemenangan", kubu sebelah dengan suka cita berkumpul di Kartanegara untuk melakukan syukuran. Ketika hasrat politik sedemikian dikedepankan, maka unsur kemanusiaan pun terpinggirkan.
Kabar duka demokrasi dikesampingkan. Yang ada pekik yakin akan "kemenangan" sepihak. Pemaksaan sebuah kondisi dengan tuduhan curang, dan terkesan ingin memaksakan sebuah jalan pengerahan massa manakala kemenangan sepihak itu dimentahkan oleh realitas yang mengungkap data sebenarnya. Bukankah proses penghitungan sesuai jadwal formal masih belum final?
Kenapa tidak memilih cara-cara simpatik untuk menunggu apapun hasilnya tanpa terkesan memaksakan dengan aneka strategi tekanan massa?
Mereka yang sungguh-sungguh bekerja tengah dirundung duka. Sementara para "pialang" politik yang mencari kepentingan sesat dari berlangsungnya pemilu 2019 justru terkesan berpesta atas nama kemenangan sepihak belaka. Jika harus disebut sebagai Bapak reformasi, di mana kiranya rasa kemanusiaan Amien Rais yang terus saja meniupkan hawa panas ke kandidat presiden 02?
Bukankah Capres 02 pastinya lelah dan butuh istirahat. Tolong jangan teramat memaksakan keadaan. Lihatlah pemilu ini sebagai satu kesatuan utuh atas cita-cita bersama membangun bangsa.
Ketika negara berupaya hadir untuk membalut duka keluarga melalui rilis resmi KPU hingga ucapan bela sungkawa yang mendalam oleh Joko Wisodo selaku Presiden RI, dimana jiwa-jiwa berketuhanan yang welas asih dari kubu sebelah yang masih saja fokus pada perolehan kemenangan sepihak. Ibarat bertanding, keputusan menang-kalah pilpres jelas bukan diputuskan oleh kelompoknya sendiri.
Ada mekanisme dan ketentuan yang mengatur semua perangkat kerja yang sudah disiapkan. Tak bisakah sedikit bersabar? Sedemikian tingginyakah hasrat berkuasa sehingga harus mendahului takdir dan merasa sudah paling berhak atas posisi menang? Sungguh saya tidak habis fikir. Tidak menutup kemungkinan salah satu atau salah dua yang pahlawan demokrasi yang meninggal justru diam-diam merupakan simpatisan 02?
Jika saat kampanye capres-cawapres 02 selalu menggunakan studi kasus dengan menyebut nama seseorang di sebuah daerah sebagai klaim atas upaya mereka dalam berbelanja masalah di tengah masyarakat Indonesia.
Kini di mana kepedulian mereka, saat ada kabar duka? Masihkah mereka menomorsatukan survei internal dan mementahkan realitas kemanusiaan? Andai saya menjadi salah satu yang memberikan nyawa saya dalam proses demokrasi pada pemilu 2019 ini, yakin saya tidak akan rela kelompok yang memiliki ego politik tinggi akan memperoleh kemenangan.
Sebab pemenang sejati bukanlah mereka yang belum apa-apa sudah meng-klaim diri menang tanpa mengindahkan data stakeholder yang kompeten dan berpengalaman dibidangnya (sebut saja terkait Quick count). Pemenang sejati adalah mereka yang menghormati sistem, mekanisme dan aturan hukum seseuai perundang-undangan. Tidak menyebarkan upaya gaduh di tengah masyarakat.
Pemenang sejati dalam hal ini adalah dia yang menjadi pemimpin sejati yang ditetapkan oleh perangkat sistem, tidaklah memenangkan dirinya sendiri. Terlebih mengesampingkan nurani atas duka demokrasi pada pemilu 2019 ini.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews