Plat Nomor B 2024 AHY Masuk Istana, Cerminan Politik Dua Kaki?

Semoga permainan cantik Demokrat diikuti sikap bijak dimanapun mereka berdiri. Jika situasi demikian merugikan, akankah partai lainnya mengikuti Demokrat?

Rabu, 8 Mei 2019 | 11:17 WIB
0
680
Plat Nomor B 2024 AHY Masuk Istana, Cerminan Politik Dua Kaki?
Mobil AHY saat ke Istana (Foto: Tribunnews.com)

Sejak hitung resmi KPU mencapai angka di atas 70 persen, bagi saya pilpres ini telah usai. Hingar bingar di dua kubu saya anggap hanya riak bagaikan ritual lima tahunan. Tetapi, ada yang cukup menggelitik di kontestasi negeri ini. Apalagi kalau bukan kelakuan mereka yang mendamba kekuasaan yang membuat berita politik jadi makin seru layaknya sebuah film mini seri.

Beberapa pihak terbukti konsisten dalam sikap politik. Sebelum kedua pasangan calon presiden mendeklarasikan diri di tahun 2018 lalu, para petinggi partai telah memasang kuda-kuda untuk mengambil posisinya di momen ini. PDIP, Nasdem, PKB adalah partai yang cukup solid sejak 2014 dalam mendukung Jokowi. Sementara itu Gerindra, PKS dan PAN juga cukup setia mendukung Prabowo sejak pilpres lalu hingga kini.

Dalam perjalanannya, beberapa partai dari koalisi Prabowo meloncat ke Jokowi pasca ditetapkannya Jokowi-JK sebagai pemenang pilpres lalu. Merekalah Golkar, PPP dan PAN. Meskipun tidak direstui oleh sesepuh partai, Amien Rais, PAN terus melaju dalam posisi pro-pemerintah, bahkan sempat menyumbang perwakilan mereka dalam kabinet kerja Jokowi.

Sayangnya, menyusul sikap partai yang tetap memilih untuk jadi pesaing Jokowi di Pilpres 2019, Asman Abnur, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) memilih mundur menjelang tahun ketiganya menjabat.

Di pilpres kali ini Yusril Ihza Mahendra menyusul Golkar, PPP dan PAN yang sempat menjadi oposisi lantas merapat ke kubu Jokowi. Keputusan Yusril membawa gerbong partainya (PBB) disinyalir karena kekecewaan terhadap Prabowo yang tak kunjung memberikan dampak signifikan pada keterpilihan partainya di kursi legislatif.

Lain Golkar, PPP, PAN dan PBB… Ini partai besutan petahana 10 tahun di republik ini. Adalah SBY yang mendirikan Demokrat dan memilih bersikap netral dalam pemilu 2014 walau nyata-nyata besannya bersanding dengan Prabowo di pilpres itu. Untung saja di tahun itu SBY menyatakan netral. Terbayang kalau partainya menyatakan dukung Jokowi-JK, jelas saja tudingan ‘menang karena didukung kekuasaan’ akan diarahkan ke Jokowi-JK.

Baca Juga: AHY Sudah ke Istana, Benarkah Jokowi Butuh Menteri Milineals?

SBY dengan Megawati memang punya histori yang kurang menyenangkan. Ada pilu yang belum sembuh di antara kedua insan yang sempat satu atap dalam pemerintahan kita. Tapi ditilik dari itu pun SBY tetap tak mau mengakui bahwa dirinya akan memilih kubu yang tanpa ada Megawati. Bersikap bijak sebagai penengah, itulah jargon yang digadangnya. Alasannya mungkin cuma Tuhan yang tahu.

Demokrat, partai pemerintah selama dua periode, punya permainan serupa tapi terlihat tak sama di pilpres kali ini. Setelah beberapa babak lobi partai-partai pendukung Prabowo hingga deklarasi Demokrat baru hadir sebagai pendatang baru. Setidaknya, ini suatu kemajuan karena Demokrat jelas dalam menentukan sikapnya kali ini.

Sayangnya, baru sehari bergabung, Demokrat sempat memberi riak yang cukup menciprat wajah seorang Prabowo Subianto dengan pertikaian antara Andi Arief dengan Arief Poyuono lewat cuitan di akun Twitter mereka. Cemburulah modusnya. Disinyalir mahar yang cukup besar dari  Sandiaga ke PAN dan PKS buat partai yang baru bergabung ini merasa dianaktirikan.

Sebutan ‘jenderal kardus’ pun sempat viral. Bukan SBY namanya kalau tak bisa bermain cantik dan meredam pertikaian ini dalam satu hari. Kedua partai ini menyatakan hubungan keduanya masih baik-baik saja dan solid dalam satu koalisi. Andi Arief bahkan harus melupakan harga dirinya ketika ia menarik kata-katanya dan meminta maaf.

Baca Juga: Pertemuan AHY-Jokowi dan Dampaknya terhadap Sandiaga

Beberapa ketidaksepahaman antara Demokrat dengan anggota koalisi Prabowo-Sandi lainnya pun secara berturut-turut dipertontonkan. Kampanye akbar yang digelar koalisi Prabowo di GBK dengan format shalat berjamaah dan berdoa bersama dikritik oleh SBY sebagai gaya kampanye yang tidak inklusif. Merasa kurang dilibatkan dalam konsep acara, SBY punya gagasan lain yang menurutnya lebih tepat untuk konsep kampanye.

Pasca pemungutan suara 17 April 2019, Prabowo bersama para petinggi PKS, Amien Rais dan petinggi di Gerindra lainnya meskipun tanpa sang wakil Sandiaga mendeklarasikan kemenangannya di hari yang sama. Hingga saat ini beberapa deklarasi kemenangan telah dilakukan oleh Prabowo bersama para tokoh pendukungnya. Prabowo memandang adanya kecurangan masif, terstruktur dan sistematis.

Berkali-kali Prabowo menuding KPU sebagai pelaku utama kecurangan yang dianggapnya menguntungkan kubu Jokowi-Ma’ruf dalam perolehan suara. Prabowo mengklaim menyimpan data C1 yang menunjukkan kemenangannya sebesar 62%. Prabowo pun berencana menolak hasil hitung asli versi KPU yang akan diumumkan pada tanggal 22 Mei 2019 nanti. Ijtima Ulama ke-3 pun digelar dengan hasil merekomendasi agar KPU mendiskualifikasi paslon Jokowi-Ma’ruf.

Serangkaian deklarasi dan acara syukuran kemenangan Prabowo-Sandiaga membuat SBY meradang. Upaya mengabaikan konstitusi dan legitimasi lembaga tinggi negara seperti KPU yang dilakukan oleh kubu BPN Prabowo-Sandiaga tidak sejalan dengan harapan SBY. Surat sakti pun meluncur dari SBY kepada para kadernya agar mundur dari aktifitas di BPN.

Bahkan, saat ini aksi tangkis menangkis terjadi antara Demokrat dengan BPN mengenai klaim data C1 yang menunjukkan kemenangan Prabowo-Sandi sebanyak 62%. Ferdinan Hutahaean dari Demokrat menyatakan bahwa angka 62% itu adalah hasil elektabilitas Prabowo sebelum pilpres dari hasil survey internalnya bukan dari data C1 resmi.

Andi Arief melengkapi perseteruan kedua partai dengan pernyataan “adanya setan gundul yang membisiki Prabowo soal kemenangan 62%”. Sebagai penonton, saya terbawa dalam keseruan drama ini.

Tapi, cerita punya cerita.. putra SBY Agus Harimurti alias AHY menerima undangan Jokowi untuk silaturahmi ke istana. AHY datang dengan wajah cerah, senyum sumringah dan kemeja batik nan mewah. Gagah dan kharismatik… itu yang terlihat sekilas dari foto-foto yang beredar di media mengenai kunjunga AHY ke Jokowi.

Secara diplomatis AHY memang menyatakan masih terikat dalam kesepakatan politik bersama koalisi Prabowo. Meskipun begitu, AHY menegaskan bahwa dirinya mempercayai KPU sebagai lembaga yang punya kredibilitas. Pembicaraan mereka akrab dengan sesekali AHY duduk dengan posisi agak membungkuk. Apa mungkin ini pikiran saya saja… AHY seperti dalam posisi berharap sesuatu pada Jokowi.

Bukan hanya penampilan dan sikap duduk AHY yang jadi sorotan publik. Sebuah mobil mentereng yang terparkir di halaman istana mengantarkan AHY pada hari itu. Nomor plat mobil B 2024 AHY jadi sorotan dan spekulasi menarik. Mungkin sangat kebetulan jika plat nomor bersamaan dengan tahun digelarnya kembali pilpres 5 tahun mendatang yang digadang-gadang akan jadi ajang tampilnya calon-calon milenial untuk meneruskan kepemimpinan negeri ini.

Baca Juga: Hubungan Prabowo dan SBY Retak, ke Mana AHY Berlabuh?  

Sungguh suasana ruang pertemuan yang terbayang nyaman, jauh dari hingar bingar di luar dan jauh dari perang cuitan antar anggota koalisi Prabowo yang menyeret Demokrat terlibat. Saya seperti melihat seorang petugas parkir yang awalnya tak terlihat tetiba muncul menagih uang parkir ketika kendaraan hendak keluar.

Mungkin memang begitulah permainan politik yang cantik, segala upaya bisa dilakukan asal minim dengan resiko. Kalau peluang bisa didapat dari dua sisi, kenapa harus fokus pada yang satunya? Semoga praktek politik semacam ini tidak jadi penyesalan bagi pihak yang kelak akan memimpin negeri ini.

Semoga permainan cantik Demokrat diikuti oleh sikap bijak dimanapun mereka berdiri kelak. Jika situasi demikian merugikan kelak, akankah partai lainnya akan mengikuti Demokrat?

Mari saksikan episode selanjutnya…

***