Gerakan #2019GantiPresiden ternyata membawa dampak signifikan terhadap kemenangan salah satu partai oposisi. Berbeda dengan PDIP dan Gerindra yang mendapatkan berkah karena mengusung capresnya masing-masing (efek ekor jas). Sedangkan partai ini justru meraup untung dari konflik yang diciptakannya di tengah masyarakat. Partai itu adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Akhir 2018, Mardani Ali Sera (ketua DPP PKS) dan Juru Bicara HTI Ismail Yusanto pernah dilaporkan ke Bareskrim gara-gara dugaan makar dalam video "ganti sistem" dalam gerakan #2019gantiPresiden. Strategi inilah yang akhirnya terus digaungkan PKS hingga detik pencoblosan.
Perpecahan di Tubuh Partai
PKS sejatinya juga dirundung perpecahan antara kubu Sohibul Iman vs kubu Anis Matta dan Fahri Hamzah. Namun, meski konflik mengemuka dengan mundurnya beberapa kader, ternyata perolehan suara PKS pada pemilu legislatif justru meningkat jika dibandingkan antara perolehan pada tahun 2014 dengan perolehan sementara hasil quick count 2019. Apa sebabnya?
Dalam pemberitaan kompas.com perbandingan perolehan suara PKS cukup mencolok. Bahkan Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya menyebutkan bahwa hasil PKS ini cukup mengejutkan.
Pada tahun 2014, PKS meraup 6,79%. Sementara dari hasil quick count Litbang Kompas dengan data masuk sekitar 87 persen pada Kamis pagi menunjukkan posisi PKS mendapat hasil 8,56%. Artinya ada kenaikan sekitar 1,77%.
Perolehan suara PKS di Pileg 2019 berdasarkan hasil hitung cepat:
Litbang Kompas: 8,56%
Indo Barometer: 9,66%
LSI Denny JA: 8,04%
Meskipun bukan hasil final tetapi raut muka Hidayat Nur Wahid dan Mardani Ali Sera sudah sumringah dengan hasil quick count tersebut saat ditanya dalam program MataNajwa di Trans7.
Rasanya kegembiraan keduanya tidak bisa disembunyikan. Seperti ada kebahagiaan kecil yang membuncah di tengah kegundahan Capres yang diusungnya, apalagi Cawapresnya seperti terluka batin dan jiwanya setelah mengetahui hasil quick count menunjukkan bahwa mereka kalah.
Inilah bedanya PKS dengan partai lainnya. Ditengah kondisi krisis, PKS justru membanggakan pencapaiannya. Mereka lupa dengan nasib koalisi adil makmur.
Mereka sepertinya juga puas karena seolah bisa memberikan balasan telak kepada Gerindra yang selama ini selalu PHP kursi Wagub yang sudah lama ditinggalkan Sandiaga, tapi sampai detik ini belum rela diserahkan kepada PKS.
Di antara partai lain seperti PAN dan Partai Demokrat, hanya PKS yang bisa mencicipi manisnya Pemilu Legislatif 2019. PKS sukses melancarkan strategi #GantiPresiden2019 yang dimotori oleh Mardani Ali Sera.
Meski pada akhirnya meninggalkan kisruh dan rasa benci di kalangan akar rumput hingga menyisakan ujaran kebencian di masjid-masjid tiap salat Jumat. Tapi, berkat itulah PKS berjaya kembali.
Program SNTK gratis dan SIM C Seumur Hidup Dongkrak Suara PKS?
Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera menyebutkan bahwa berkah naiknya suara PKS ini disebabkan karena program mereka tentang STNK motor gratis dan SIM C seumur hidup. Program omong kosong inilah yang menurutnya dianggap mendongkrak suara PKS.
Sementara menurut pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menduga bahwa naiknya suara PKS karena PKS berada di dalam barisan oposisi terdepan serta mendapatkan berkah dari suara persatuan alumni 212.
Saya pun sudah menduga demikian. Rakyat sudah cerdas, tidak mungkin suara PKS bisa naik ujug-ujug karena program "tempe" (meminjam istilah Bos Man dalam film My Stupid Boss) dari partai yang kadernya pernah terjerat korupsi sapi ini.
Militansi Kader PKS
Perlu kita akui juga bahwa militansi kader-kader PKS yang kuat berafiliasi dengan HTI menjadi penggerak partai, sehingga mereka sukses menaikkan elektabilitasnya.
Kekuatan Inilah yang tidak dimiliki oleh kader PAN dan Partai Demokrat yang cenderung hati-hati atau bisa juga dikatakan setengah hati menjadi oposisi.
Namun demikian, berkah kenaikan suara PKS ini tak serta merta diterima oleh kadernya. Fahri Hamzah misalnya menyebutkan bahwa PKS zalim dan tetap tak memiliki masa depan.
"Apapun hasil pemilu, selama kezaliman diterima menjadi bagian dari lembaga, maka tetap saja tak punya masa depan. Itulah yang terjadi," kata Fahri kepada wartawan, Kamis (18/4/2019) seperti dikutip dari detik.com.
Sementara menurut Presiden PKS Sohibul Iman bahwa kenaikan suara PKS dikarenakan dukungan para tokoh agama. Bisa jadi salah satunya adalah Ustaz Bachtiar Nasir yang begitu bersemangat menggelorakan khilafah dari masjid ke masjid sepanjang masa kampanye. Meski pada akhirnya berbelok arah mengakui Pancasila demi kampanye.
PKS berbeda pendapat soal quick count Pilpres
Meski mengamini hasil quick count Pileg dengan rasa yang berbunga-bunga, PKS justru menolak hasil quick count Pilpres. Padahal lembaga survei yang melakukan quick count tidak berbeda antara Pileg dan Pilpres pada pemilu 2019 kali ini.
Hal ini boleh jadi dilakukan demi menjaga perasaan Capres yang diusungnya dan sohib-sohib koalisinya. Agak mengherankan juga dengan sikap PKS yang tidak konsisten seperti ini. Hanya mau mengambil dalil yang menguntungkan saja. Sikap PKS ini jelas berbahaya. Apalagi jika dipraktikkan dalam kehidupan sebagai seorang muslim.
Apapun hasilnya, PKS tetaplah menjadi partai yang akan melenggang ke Senayan dengan perolehan suara di atas 4%. Diperkirakan kursi PKS di Senayan pun akan bertambah lebih dari 40 kursi jika dibandingkan dengan perolehan kursi pada 2014. Lebih banyak dibandingkan dengan PAN dan Demokrat sehingga punya posisi tawar lebih tinggi pada pemilu 5 tahun mendatang.
Baik atau buruknya hasil pesta demokrasi, tetaplah harus diterima dengan lapang dada. Sekali lagi selamat untuk PKS dan Mardani Ali Sera karena lagi-lagi berhasil memainkan politik identitas sehingga meningkatkan kembali elektabilitas partainya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews