Cikal Bakal PDIP, Perjalanan Kebangkitan Demokrasi Pancasila

Senin, 7 Januari 2019 | 19:59 WIB
0
397
Cikal Bakal PDIP, Perjalanan Kebangkitan Demokrasi Pancasila
Ilustrasi Tragedi 27 Juli (Foto: Kompas.com)

Partai berlambang Banteng ini sekarang menjadi partai terbesar di legislatif di Indonesia. Dari perjalanan cikal bakal partai ini pula lahir 3 pemimpin Indonesia yang meneruskan nyawa demokrasi Pancasila hingga saat ini.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah partai politik tertua yang lahir sejak Orde Lama, melalui masa Orde Baru dan melewati sekelumit perjuangan terlepas dari kekangan orde baru dan ikut mengantar Indonesia ke era reformasi.

Partai ini berwujud bayi merah dan bernama awal Perserikatan Nasional Indonesia yang didirikan di Bandung oleh para tokoh nasional seperti Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo.

Selain itu para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club (ASC) yang diketuai oleh Soekarno turut pula bergabung dengan partai ini. Pada tahun 1928 Perserikatan Nasional Indonesia pun berubah menjadi Partai Nasional Indonesia.

Karena PNI dianggap mengancam pemerintah Hindia Belanda karena dianggap mengajarkan pergerakan kemerdekaan, perjuangan para tokoh pun mewarnai perjalanan panjang partai ini. Pada tanggal 29 Desember 1929 pemerintah Hindia Belanda menangkap tokoh-tokoh PNI yaitu Soekarno, Gatot Mangkupraja, Soepriadinata dan Maskun Sumadiredja di Yogyakarta.

Dalam masa peradilan para tokoh, Soekarno menulis pidato “Indonesia Menggugat” dan membacakannya di depan pengadilan. Setelah proses peradilan, pada tahun 1930 para tokoh tersebut dijebloskan ke LP Sukamiskin.

PNI sempat diganti menjadi Partai Indonesia (Partindo) oleh Mr. Sartono yang menggantikan Soekarno sebagai ketua PNI. Soekarno pun bergabung dengan Partindo dan Mohammad Hatta mendirikan PNI baru (Pendidikan Nasional Indonesia). Tahun 1933 hingga 1942, Soekarno ditangkap dan dibuang ke Ende, Flores. Sementara itu tahun 1934 hingga tahun 1942 Mohammad Hatta dan Syahrir ditangkap dan dibuang ke Banda Neira.

Di tahun 1945 secara berturut-turut Jepang menyerah pada tentara sekutu, BPUPKI diubah menjadi PPKI, terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia dan peristiwa Rengasdengklok dimana Soekarno dan Bung Hatta diculik sejumlah pemuda pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 3.00 pagi dan dipaksa untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada 18 Agustus 1945 Soekarno pun dilantik sebagai presiden Republik Indonesia yang pertama.

Sejarah yang tak bisa dihapuskan yaitu para aktifis Partai Nasional Indonesia menjadi aktor di balik kemerdekaan Republik Indonesia. Tetapi pasca kemerdekaan, perjalanan partai ini melewati lika-liku dan tantangan yang lebih hebat.

Pasca peristiwa Gerakan 30 September PKI 1965 (G30SPKI). Situasi negara yang tidak kondusif dan tiga perwira tinggi mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto.

Perintah itu bernama Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang menjadi tonggak awal kekuasaan Soeharto dalam Orde Baru. Pada tanggal 12 Maret 1967 sidang istimewa MPRS memberhentikan Soekarno sebagai presiden dan melantik Soeharto sebagai penggantinya.

Ketika Orde Baru berkuasa, terjadi penyederhanaan partai politik (parpol) melalui proses penggabungan atau fusi dari parpol di masa Orde Lama. Proses fusi inii adalah upaya Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaannya.

Gagasan fusi parpol untuk pertama kali dilontarkan pada 7 Januari 1970. Pertemuan kemudian berlanjut pada 27 Februari 1970, ketika Soeharto mengundang pimpinan lima partai politik yang bergabung dalam dalam Kelompok Demokrasi Pembangunan, yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katolik, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), dan Murba.

Pada 12 Maret 1970 kembali dilakukan pertemuan antara pengurus PNI, IPKI, Murba, Partai Katolik dan Parkindo yang membahas tiga usulan nama partai yaitu Partai Demokrasi Pancasila, Partai Demokrasi Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia.

Melewati proses panjang, pada 10 Januari 1973 dilangsungkan deklarasi pendirian PDI ditandatangani wakil kelima partai, yaitu MH Isnaeni dan Abdul Madjid (PNI), A Wenas dan Sabam Sirait (Parkindo), Beng Mang Rey Say dan FX Wignyosumarsono (Partai Katolik), S. Murbantoko R.J. Pakan (Partai Murba) dan Achmad Sukarmadidjaja, dan Drs M. Sadri (IPKI).

Perjalanan PDI sejak 1973 hingga 1993 terus diwarnai intervensi pemerintah yang semakin kuat. Konflik internal pun terjadi pada Kongres IV PDI di Medan pada 21-25 Juli 1993. Dalam Kongres tersebut muncul beberapa nama calon ketua umum yang akan bersaing dengan Soerjadi, yakni Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno dan Tarto Sudiro.

Muncul pula nama Ismunandar yang merupakan Wakil Ketua DPD DKI Jakarta. Budi Hardjono disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang didukung pemerintah. Tarto Sudiro maju sebagai calon ketua umum yang didukung Megawati Soekarnoputri. Megawati kala itu belum bisa tampil karena situasi politik belum kondusif.

Kongres yang dibuka oleh Presiden Soeharto itu pada awalnya berjalan lancar tapi beberapa jam kemudian kongres ricuh karena datang hadirnya para demonstran yang dipimpin Jacob Nuwa Wea mencoba menerobos ke arena sidang Kongres tetapi dihadang aparat kepolisian.

Kongres kembali dilanjutkan hingga Soerjadi terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI. Tetapi, suasana kembali ricuh karena aksi demonstran yang dipimpin Jacob Nuwa Wea berhasil masuk ke arena Kongres.

Pemerintah pun mengambil alih komando kepada PDI melalui Mendagri Yogie SM dan mengusulkan membentuk caretaker. Akhirnya, pada tanggal 25-27 Agustus 1993 susunan resmi caretaker DPP PDI ditetapkan.

Pasca Kongres IV PDI di Medan yang berakhir ricuh, nama Megawati Soekarnoputri pun digadang-gadang untuk menjadi ketua umum karena dianggap mampu mempersatukan PDI.
Peluang tampilnya Megawati sebagai pemegang kendali PDI memicu kekhawatiran pemerintah.

Untuk menghadang Megawati, muncul larangan mendukung pencalonan Megawati. Warga PDI yang tetap setia mendukung Megawati berunjuk rasa besar-besaran pada 20 Juni 1996 dan berakhir bentrok dengan aparat. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa Gambir Berdarah.

Puncak dari segala kericuhan yang dialami PDI yaitu pada tanggal 27 Juli 1996 kelompok pendukung Soerjadi melakukan pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro dari pendukung Megawati, Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.

Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara.

Bagaimanapun seorang Megawati dihadang, dukungan terhadapnya semakin membentang. Di bawah kepemimpinan Soerjadi, suara PDI merosot tajam hingga hanya 11 kursi di DPR pada pemilu 1997.

Aksi demonstrasi terhadap pemerintah dan kerusuhan besar-besaran terjadi di tahun 1998. Aksi masa tergerak untuk melakukan reformasi politik. Soeharto pun lengser. Era Orde Baru pun berakhir. PDI pro Megawati punya kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Pada bulan Oktober 1998, PDI pro Megawati menyelenggarakan Kongres V PDI di Denpasar, Bali. Dalam Kongres ini, Megawati terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 secara aklamasi. Meskipun begitu, di atas kertas pemerintah hanya mengakui PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi.

Untuk ikut serta dalam pemilu 1999, Megawati mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan (PDIP) pada tanggal 1 Februari 1999. Pada 14 Februari 1999 di Istora Senayan, Pengurus dan kader PDIP mendeklarasikan nama partai baru mereka. PDIP pun tampil sebagai pemenang pemilu tahun 1999. Di tahun ini juga sidang paripurna MPR memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden.

Bertahun-tahun berlalu mengantarkan PDIP sebagai partai yang matang berdemokrasi melewati beberapa era pemerintahan. Meskipun Orde Baru telah usai tapi pelaku orde baru di belakang layar terus bergerak mengusik nama baik partai ini. Mulai dari isu PKI hingga anti Islam terus digencarkan pihak-pihak yang ingin mengembalikan kekuasaan Orde Baru.

PDIP tidak bisa dilepaskan dari semangat Bung Karno dengan ajaran Marhaennya yang selalu memprioritaskan rakyat kecil. Selain itu, PDIP harus selalu sejalan dengan Pancasila yang sudah diformulasikan Bung Karno sejak awal dan kini menjadi dasar falsafah negara kita.
Sampai pada titik ini, untuk kali ketiga pemimpin Indonesia terlahir dari partai ini, adalah bukan proses yang instan dan tanpa berdarah-darah.

PDIP sudah terbiasa menghadapi tekanan, kezaliman hingga perlawanan terus menjadi ritme denyut nadinya. Warna merah dalam lambang PDIP bermakna cinta kasih dan lambang banteng adalah simbol perjuangan. Misi PDIP membangun peradaban dengan cinta kasih bisa selalu senafas dengan nilai demokrasi yang Pancasilais. Selamat Hari Lahir PDIP!

Sumber:

Buku "Bung Karno, Islam dan Pancasila", detik.com, liputan6.com dan wikipedia.co.id

***