Aksi kamisan Surabaya 17/01/19, mengangkat tema "Buku itu Dibaca Bukan Dibakar." Merupakan sebuah bentuk keprihatinan atas perampasan buku yang dilakukan oleh aparatus negara. Aksi perampasan buku ini kembali marak dan semakin gencar, tentu kita masih ingat beberapa tahun silam situasi serupa pernah dilakukan oleh aparatus negara.
Dalam kaitan ini, saya teringat libricide atau pemusnahan masif buku. Rebecca Knuth (2003), dalam karyanya berjudul "Libricide: The Regime-Sponsored Destruction of Books and Libraries in the Twentieth Century."
Knuth di sini membahas terkait relasi penghancuran buku sistematis koleksi buku digerakkan oleh kepentingan ideologi dan disponsori oleh rezim, yang dimaksudkan untuk membawa penindasan terhadap seluruh populasi, budaya, atau kemauan politik demi merebut kekuasaan. Penelitian Knuth ini, seperti menjelaskan relasi penghancuran buku dengan dominasi kuasa.
Sebagaimana catatan historis penghancuran buku Baez, yang dengan lengkap mengungkapkan pemusnahan buku dari era ke era. Problem penghancuran buku memang menjadi topik yang akan selalu abadi, di mana rezim selalu khawatir akan keberadaan buku- buku yang dianggap mengancam kemapanan merekan.
Tentu, kejadian perampasan buku di tahun 2018 akhir dan belanjut di awal tahun 2019, mengingatkan penulis terhadap upaya pemberangusan buku demi kepentingan dominasi kuasa suatu rezim, sebagaimana diceritakan oleh Baez dan Knuth.
Selama rentang waktu kurang lebih satu bulan tercatat di tiga kota berbeda, yakni Kediri, Padang dan Tarakan, terjadi aksi razia dan perampasan buku. Karena diduga mengandung aroma komunisme, yang oleh aparatus negara dianggap mengancam keutuhan NKRI. Karena kita tahu bersama, jika komunisme selalu dijadikan hantu yang selalu bergentayangan dan mengancam keutuhan republik ini.
Tentu ini sebagai suatu kemunduran, di mana para akademisi dan kelompok muda berlomba-lomba secara ilmiah menyajikan fakta-fakta terbaru. Namun di satu sisi, perkembangan pesat di bidang pengetahuan ini, terbentur oleh pemikiran bebal yang bersumber dari aturan karya rezim despotik.
Padahal, dalam realitas historis ada telaah berbeda. Ada fakta-fakta lain yang terungkap mengenai banalitas rezim Suharto yang menciptakan ketakutan sedemikian rupa demi pelanggengan kekuasaan. Transisi pemerintah pasca 65 menciptakan ketakutan-ketakutan yang terus direproduksi oleh oligarki, demi melanggengkan dominasi kuasa atas rakyat.
Melalui aparatus represif negara dan juga aparatus ideologi negara, mereka melakukan tindakan represif, menakut-nakuti hingga represi pengetahuan dengan memberangus buku-buku yang dianggap berbahaya, bahkan lebih lanjut menciptakan narasi-narasi pro-rezim despotik guna melanggengkan status quo. Semua demi determinasi pengaruh! Yang mana dilandasi oleh kepentingan eksklusif dari oligarki.
Kita masih ingat, ketika transisi kekuasaan dari Sukarno ke Suharto, lahir aturan-aturan pro pemodal, seperti UU PMA, UU Pertambangan dan UU Kehutanan. Yang memfasilitasi pemodal untuk mengeksploitasi Indonesia secara masif. Sebagai contoh ialah bagaimana Freeport masih bercokol hingga kini, mengeksklusi suku asli Papua, menghancurkan alam Papua. Yang menikmati hanya segelintir elite, yang menghendaki akumulasi kekayaan.
Selain itu represi ideologi dan pengetahuan semakin dimasifkan, menciptakan azas tunggal pancasila, hingga pemberangusan kebebasan berpikir yang hingga kini kita rasakan. Relasi ekonomi politik inilah yang menjadi latarbelakang mengapa Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966, masih dilanggengkan dan dipertahankan. Malahan diperluas lagi maknanya, tentu untuk menyelamatkan NKRI. Perlu diketahui, jika aturan tersebut semacam menjadi hantu yang mencelakai banyak rakyat.
Sudah berapa rakyat yang dituduh komunis, hanya karena melawan ketidakadilan. Bagaimana kelompok buruh yang sering diasosiasikan komunis, karena ingin mendapatkan upah layak. Begitu pula kelompok tani, mereka sering dianggap komunis, hanya karena mempertahankan tanahnya. Ini berlanjut ketika seorang petani buah naga bernama Budi Pego divonis 4 tahun penjara oleh MA, hanya karena ingin menyelamatkan lingkungannya dari ekstraksi yang dilakukan oleh korporasi emas.
Insiden perampasan buku ini merupakan bentuk-bentuk perampasan, dan pencideraan pengetahuan, bentuk lain dari kekerasan budaya yang menginginkan status quo tetap terjaga. Demokrasi adalah di mana rakyat secara penuh memegang kendali negara, punya hak bersuara dan mengembangkan pemikirannya. Pasal 28 UUD RI 1945 telah mengatur ini semua, tentu bentuk-bentuk semacam ini merupakan patologi dalam demokrasi.
Mengapa takut dengan buku? Mengapa takut komunisme bangkit? Jika pancasila sebagai falsafah bangsa telah berdiri tegak melindungi keutuhan Republik Indonesia.
Kembali beromantisme di era Sukarno, tidak ada upaya sebuah ideologi untuk menghancurkan konsturksi dasar Republik Indonesia. Karena pada dasarnya pancasila telah disepakati sebagai pakem yang tidak boleh dilanggar.
Banyak ideologi yang eksis, namun tak satupun yang menginginkan mengganti Republik Indonesia secara konstitusional. Tetapi konstelasi ini berubah pasca gaduh perpolitikan dari rentang tahun 60-65. Semua dimanipulasi, demi merebut kekuasaan tentu dengan relasi akumulasi kekayaan.
Oleh karena itu, tindakan perampasan buku selain menunjukan kebebalan dan juga ada aturan yang tidak dipatuhi. Seperti dalam aturan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 yang telah membatalkan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963, tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.
Dicabutnya aturan perundang-undangan tersebut karena bertentangan dengan konstitusi. Karena itulah, razia dan perampasan buku, merupakan bentuk inkonstitusional dan anti demokrasi.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews