Sebuah film yang merupakan karya seni seharusnya bisa menyatukan perbedaan-perbedaan aliran politik atau aliran-aliran keagamaan di masyarakat. Karya seni film dinikmati karena jalan ceritanya yang terkadang membuat penonton terbawa suasana, sedih, gembira dan semangat atau memberikan inspirasi.
Tetapi di negeri ini ada sebuah karya film yang beberapa hari lagi ramai, bukan menyatukan perbedaan-perbedaan pandangan politik atau aliran-aliran agama, tetapi malah menjadi jurang pemisah antara para pendukung dalam tokoh film tersebut.
Ada dua judul film yang tayangnya di bioskop secara bersamaan dan film ini menceritakan tokoh dalam novel dan tokoh politik.
Judul film "Hanum dan Rangga" yang diangkat dari sebuah novel yang laris. Tetapi film "Hanum dan Rangga" tidak selaris atau seheboh seperti penjulan novelnya. Beda dengan novel "Laskar Pelangi" yang mana antara novel dan film" sama-sama laris baik dari penjualan novelnya atau dalam jumlah penonton di layar lebar.
Film "Hanum dan Rangga jumlah penontonya masih 300 ribuan, dan untuk mendongkrak jumlah penonton, Hanum yang merupakan tokoh dalam film dan penulis novel, meminta kepada sebuah lembaga pendidikan Universitas untuk turut berpartisipasi menonton film "Hanum dan Rangga".
Bukan itu saja, karena ia anak tokoh partai politik, kader-kader partai juga disuruh untuk menonton film tersebut demi mendongkrak jumlah penonton. Dan iklannya di media televisi juga sering muncul. Padahal promosi film atau iklan itu tugas dari seorang produser.
Dan film dengan judul "A Man Called Ahok" yang menceritakan masa kecil Ahok dan keluarganya terutama terkait didikan ayahnya di Bangka Belitung.
Penonton film "A Man Called Ahok" adalah orang-orang Ahoker atau pecinta Basuki Tjahaja Purnama yang merupakah tokoh fenomenal, sekalipun sekarang masih dalam penjara Mako Brimob. Tidak mengurangi antusias fans untuk menonton film tersebut.
Film "A Man Called Ahok" yang belum ada sepuluh hari sudah tembus 1 juta penonton. Sepertinya Ahok menjadi magnet tersendiri sehingga fans yang terkenal militan itu mau menonton film.
Mungkin ini dua judul film yang mengambil penonton dari fans masing-masing. Fans yang militan inilah yang mendongkrak jumlah penonton. Bahkan antarpendukung film tersebut saling serang dan saling sindir terkait jumlah penonton.
Film yang biasanya bisa menyatukan perbedaan aliran-aliran politik dan agama, suku-suku dan lintas negara, tapi dua judul film diatas tidak bisa menyatukan antarpendukung, malah seperti minyak dan air.
Terus film apa yang bisa menyatukan dari berbagai latar belakang perbedaan aliran-aliran politik, agama, suku? Hanya satu jawabnya: Yaitu film BOKEP!!
Yaa film BOKEP bisa menyatukan perbedaan aliran-aliran politik, agama dan suku. Mau yang mengaku religius yang sorbannya panjang atau yang tiap hari omongannya pakai seruan agama kalau sudah mendengar film dengan judul BOKEP, pasti akan langsung tertarik.
Yang membedakan yaitu orang-orang yang kelihatan religius dari cara busana itu malu-malu kalau mau nonton film BOKEP, tapi kalau sudah sepi orang, biasanya mereka minta untuk dikirimi film BOKEP.
Film BOKEP menjadi alat pemersatu dari orang-orang yang berbeda aliran politik, agama, nasionalis, religius atau atheis sekalipun. Mereka bisa saling berbagi. Tidak peduli apa mereka bermoral atau tidak bermoral. Yang jelas dan pasti kalau lihat film BOKEP bisa bersatu pada rukun dan bergerombol.
Jadi hanya film BOKEP yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan aliran politik atau agama. Tidak ada kata kafir atau bukan kafir kalau sudah menonton film BOKEP, semua kadar keimanannya jadi sama atau setara, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews