Megawati, Politisi Terkuat di Indonesia yang Kerap Salah Dimengerti

Kelemahan Megawati dalam komunikasi media ternyata memiliki kelebihannya sendiri.

Senin, 23 Januari 2023 | 07:12 WIB
0
144
Megawati, Politisi Terkuat di Indonesia yang Kerap Salah Dimengerti
Megawati Soekarnoputri (Foto: facebook.com)

Tanggal 23 Januari adalah hari ulang tahun Megawati, politisi terkuat di Indonesia itu lahir ketika langit Yogya pada tahun 1947 berwarna kelam dan mendung bergayut di sekitaran Istana Kepresidenan Yogyakarta, warna kelam langit Yogya seolah menggambarkan perjalanan hidupnya yang melewati kekelaman sejarah negeri ini kemudian berhasil dengan gemilang melewati kekelaman itu dengan kemenangan seindah pelangi setelah hujan. 

Bila Sukarno melewati pergolakan politik dengan cara komunikatif, maka Megawati melewati pertarungan politik dengan penuh perhitungan dengan membaca keadaan dan karakter orang, inilah yang membedakan karakter Sukarno dan Megawati dalam berpolitik tapi ada satu kesamaan persis kedua-nya, yaitu : integritas dalam memegang cita-cita idealisme politiknya. Sukarno sampai wafatnya memegang ide Berdikari-nya Indonesia dengan cita-cita Trisakti, begitu juga Megawati memegang teguh cita-cita idealisme Indonesia Berdikari lewat demokrasi yang ia percayai apapun gelombang politik yang ia hadapi.

Megawati tumbuh dalam situasi kenegaraan yang kental, penuh protokoler apalagi dia disiapkan Presiden Sukarno, sebagai ‘Gadis Negara” yang resmi sebagai perwakilan negara untuk menerima tamu-tamu penting negara. Apalagi tahun 1960-an awal, Indonesia sedang hebat-hebatnya dalam politik diplomasi Internasional, berbagai tamu penting negara silih berganti hadir. Di suasana inilah Megawati dibesarkan. 

Namun antara tahun 1965-1966 masa kelam politik Indonesia terjadi, peristiwa Gestok 1965 membuat Presiden Sukarno secara bertahap dilumpuhkan kekuasaannya pada semua sisi, di tahun-tahun inilah Megawati kerap melihat banyak pengkhianatan yang dilakukan oleh orang-orang disekeliling Bung Karno. Disinilah awal karakter Megawati yang kemudian melatih dirinya dalam ber-intuisi, - melihat karakter orang-. Karena baginya politik adalah soal karakter orang, setia atau tidak pada cita-cita politiknya.

Ditengah gelombang pengkhianatan terhadap Bung Karno pada lapisan elite negara, Megawati secara perlahan juga memperhatikan justru cita-cita politik Sukarno masih dipegang dengan baik oleh jutaan rakyat di akar bawah. Dititik inilah kemudian Megawati kelak mempercayai kekuatan basis massa Sukarnois ada di lapisan bawah rakyat.  

Sepanjang tahun 1970-an Megawati sepenuhnya adalah Ibu Rumah Tangga, suami pertama-nya seorang pilot Angkatan Udara, Letnan (Pnb) Surindro Supjarso dinyatakan gugur dalam tugas saat di Irian Jaya. Berbagai rumor menyebutkan bahwa Letnan Surindro sengaja dihilangkan oleh Orde Baru, konon hal ini terjadi karena ada ramalan bahwa “Kekuatan Sukarnois akan muncul dari Megawati”. Beberapa tahun kemudian Megawati menikah dengan Taufik Kiemas, unsur Sukarnois dari kalangan mahasiswa GMNI yang juga pernah dibui oleh tentara Suharto. Dari Taufik Kiemas ini juga Megawati membaca kekuatan muda Sukarnois itu banyak sekali. Kalangan intelektual muda pada generasi 1970-an menjadikan Bung Karno sebagai idola mereka, apalagi kebijakan Orde Baru saat itu masih sangat bergantung pada Blok Barat sebuah politik anti berdikari yang keterlaluan sehingga melahirkan perlawanan mahasiswa sepanjang tahun 1973 lalu dilakukan operasi intelijen menjebak mahasiswa pada 15 Januari 1974 yang dikenal peristiwa Malari. 

Walaupun peristiwa melawannya mahasiswa sepanjang tahun 1971-1974 digerakkan unsur intelektual dan mahasiswa PSI (Partai Sosialis Indonesia), namun substansi perlawanan mahasiswa itu justru terpengaruh doktrin Sukarno soal “Kemandirian Bangsa” hal yang tidak pernah digubris Orde Baru. 

Kebangkitan Sukarnois Tahun 1986

Puncak dari kebangkitan Sukarnois di Indonesia secara terang-terangan adalah tahun 1986. Saat itu kelompok Sukarnois mendapatkan ruang dalam konstitusi negara di dalam wadah Partai Politik PDI. Berhasil masuknya Kaum Sukarnois ke dalam ruang negara tak lepas dari kelengahan Orde Baru yang saat itu getol menghabisi kubu NU di PPP sehingga melonggarkan pengawasan pada PDI, disaat itulah Suryadi yang ingin meningkatkan suara Partai merekrut Megawati masuk ke dalam Caleg PDI untuk Dapil Jawa Tengah. Wilayah basis Sukarnois terkuat di Indonesia. Masuknya Megawati memberikan kesempatan bertemu langsung dengan jaringan Sukarnois di tingkat bawah yang jumlahnya puluhan juta dan selama masa Orde Baru ‘tiarap’. 

Infiltrasi Megawati dalam menggoyang kekuasaan Orde Baru justru dilakukan pada tingkat paling bawah, ia membangun jaringan politik di tingkat akar rumput – inilah yang menjelaskan kenapa kelak PDI yang kemudian disebut PDI Perjuangan kuat sekali jaringan ranting partai di seluruh Indonesia-. Megawati meletakkan dasar-dasar komunikasi partai di tingkat paling bawah, jaringan inilah yang tidak terbaca intelijen Orde Baru yang hanya melihat pola perilaku elite dalam pertarungan politik. Di tahun 1991 jaringan yang dibina Megawati membesar dan menjadi satu kekuatan riil politik yang kemudian membawa Megawati ke pusaran utama pimpinan PDI, sesuatu yang membuat intelijen Orde Baru kelabakan dan separuh menyalahkan Suryadi. Tahun 1992, kemenangan PDI sangat mencolok dengan jumlah suara 14%, atau memperoleh 56 kursi, jadi sejak masuknya Megawati tahun 1986 ada penambahan sekitar 36 kursi di Parlemen, inilah yang kemudian membuat Orde Baru sontak ketar ketir melihat fenomena bangkitnya kekuatan Sukarnois yang berada di belakang Megawati. Apalagi Pemilu di masa-masa Orde Baru berlangsung penuh kecurangan dan intimidasi, meningkatnya suara pemilih PDI adalah fakta politik bahwa kekuatan Orde Baru mulai digoyang para pengikut Sukarno. 

Tahun 1993 bisa dikatakan adalah ‘Tahun Kemenangan Megawati’ karena di tahun ini ia bisa mengatasi gelombang operasi intelijen Orde Baru yang menghalangi terpilihnya Megawati menjadi Ketua Umum PDI, di tahun itulah Megawati bisa berhadapan langsung dengan Suharto di Bina Graha, suatu perlawanan head to head yang sebenarnya. 

Di tahun 1996 Suharto seperti kehabisan akal menghadapi Megawati, ia melakukan tindakan yang sangat kasar dan menargetkan Megawati diturunkan dari Ketua Umum PDI sebelum Pemilu 1997. Alat yang dipakai Suharto adalah Ketua PDI sebelum masa Megawati yaitu Suryadi dan beberapa elemen ormas binaan Orde Baru juga aparat militer yang disamarkan. Serangan ke kantor PDI pada Sabtu 27 Juli 1996 menjadi catatan kelam dalam sejarah demokrasi Orde Baru. Tapi di titik inilah Megawati justru bisa melihat kekuatan dia yang sebenarnya. Megawati memboikot Pemilu 1997 dan walhasil hasil PDI anjlok total hanya 3,06% setelah suaranya di pump habis ke 14% dimasa Megawati masih jadi ketua PDI. 

Megawati, Media dan Anti Politik Pencitraan

Satu hal yang bisa dibaca dari karakter Megawati adalah membangun politik dengan realitas. Ia percaya kekuatan politik dan perilaku harus berdasarkan kondisi sebenarnya. Dan ia sangat pendiam karena hal ini ia lakukan untuk melihat perkembangan, membaca karakter orang dan membangun intuisi-nya dalam mengarahkan Partai, kekuatan pendukung, juga membaca lawan politiknya. 

Setelah kejatuhan Suharto tahun 1998, PDI diubah oleh Megawati menjadi PDI Perjuangan dengan lambang partai yang baru dan ikut dalam Pemilu 1999 yang penuh dengan nuansa liberal. Di tahun itu pula PDI Perjuangan memperoleh suara terbesar yang rekornya belum terpecahkan sepanjang masa reformasi 33,75%, bisa dibayangkan betapa massifnya pendukung Sukarno dalam politik di Indonesia. 

Satu hal yang bisa dibaca dari karakter Megawati adalah membangun politik dengan realitas. Ia percaya kekuatan politik harus berdasarkan kondisi sebenarnya. Dan ia sangat pendiam karena hal ini ia lakukan untuk melihat perkembangan, memperhatikan karakter orang dan membangun intuisi-nya dalam membaca percaturan politik.

Kelemahan Megawati dalam membangun komunikasi dengan media karena sikap pendiam-nya dibaca oleh lawan politik yang tiba-tiba muncul menantang Megawati dalam bursa pencalonan Presiden di tahun 2004, Susilo Bambang Yudhoyono. Tim SBY membaca Megawati punya kelemahan dalam membangun komunikasi dengan media, maka sepanjang tahun 2004 ada semacam operasi besar-besaran media di bawah kendali SBY melakukan ‘pembunuhan karakter’ Megawati. 

Operasi pembantaian nama Megawati yang dilakukan SBY sangat berhasil dan ini dikontraskan dengan strategi pencitraan SBY yang diangkat habis-habisan oleh tim media-nya. Dari sinilah Megawati membaca bahwa SBY adalah orang yang tidak bisa dipercaya dan Partai Demokrat bisa dikatakan musuh bebuyutan PDI Perjuangan. 

Kemenangan politik Megawati dalam memilih jalan realisme politik terhadap SBY terbukti di tahun 2014, PDI Perjuangan mengalami kemenangan besar sementara Partai Demokrat turun habis-habisan, inilah buah kesabaran Megawati dalam membangun partai. Sampai kapanpun PDI Perjuangan tidak akan melakukan persekutuan politik dengan Partai Demokrat karena karakter SBY itu. 

Kelemahan Megawati soal komunikasi di media ternyata juga coba dimanfaatkan Nasdem dengan melakukan operasi media pembantaian nama baik Megawati saat HUT Partai ke 50, tapi kedigdayaan Surya Paloh langsung hancur setelah dia limbung memilih Anies Baswedan dan partainya bingung di kabinet. Terbukti Suharto, SBY dan Surya Paloh salah memilih lawan tanding ketika berhadapan dengan Megawati.  

Kelemahan Megawati dalam komunikasi media ternyata memiliki kelebihannya sendiri, disinilah Megawati bisa menilai kekuatan Partai-nya secara langsung dan menilai kekuatan lawan politiknya tanpa bias. Di masa-masa saat ini, hanya Megawati pimpinan Partai paling clear apalagi dibandingkan dengan Surya Paloh, SBY ataupun Airlangga Hartarto. 

Dan itulah yang menjadikan Megawati sebagai Maestro Besar Politisi Indonesia.

Anton DH Nugrahanto