Merunduk Bukan Berarti Tunduk

Sikap rendah hati, egaliter, santun dan khususnya tidak elitis harus lebih di kedepankan, harus melekat dan menjadi milik AHY. Politik merangkul adalah solusinya.

Senin, 5 April 2021 | 07:57 WIB
0
387
Merunduk Bukan Berarti Tunduk
Agus Harimurti Yudhoyono (Foto: detik.com)

Apa yang harus dilakukan Mayor Agus Harimurti Yudhoyono setelah pemerintah menolak mengakui keberadaan Partai Demokrat versi KLB yang mendapuk Jenderal Moeldoko sebagai ketua umumnya?

Pertanyaan ini wajar diajukan mengingat penolakan pemerintah ini selain kemenangan yang bukan sekadar blessing bagi AHY, tetapi momentum untuk menaikkan citra AHY di mata publik.

Bagi Demokrat, kemenangan ini selayaknya dikapitalisasi dengan baik oleh AHY dan timnya, bahwa seorang mayor mampu mengatasi jenderal kawakan, bahwa David melawan Goliath selalu mengulang cerita lama; si lemah selalu menang melawan si kuat.

Pantaskah AHY ditempatkan sebagai David si lemah sedangkan Moeldoko sebagai Goliath si kuat? Bukankah AHY sedang on power, di-back up total oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua majelis tinggi partai?

Beruntung, narasi publik yang muncul di media massa menempatkan AHY sebagai David si lemah tatkala berhadapan dengan Moeldoko. Selain seorang jenderal penuh mantan Panglima TNI, Moeldoko sedang on power di lintasan kekuasaan. Posisi politiknya sangat strategis selaku kepala staf presiden di mana isu-isu strategis menyangkut kepentingan kekuasaan dirancang, dikembangkan, disebarkan dan diviralkan.

Manuver Moeldoko yang cukup “telanjang” ini bisa berimbas pada Presiden Joko Widodo sendiri sebagai atasannya, menang maupun kalah. AHY, misalnya, sempat menduga bahwa pemerintah dalam hal ini Presiden, ada di belakang manuver Moeldoko.

Untuk itulah AHY di awal kemunculan menanggapi usaha kudeta Moeldoko atas kepemimpinannya di Demokrat, AHY meminta perhatian Presiden, meski Jokowi bertepuk sebelah tangan. Wajar, ia harus berhati-hati menanggapi isu sensitif berupa pembegalan partai politik yang dilakukan orang di lingkar kekuasaannya.

Dengan keputusan pemerintah memenangkan Demokrat AHY, terbebaslah dugaan Jokowi “main mata” dengan Moeldoko untuk melemahkan potensi yang dimiliki Demokrat sebagai partai politik. Sumber potensi itu adalah AHY sebagai capres 2024 dan Demokrat sebagai partai yang setidaknya masih perlu diperhitungkan.

AHY dan juga SBY hendaknya berbesar hati untuk meminta maaf kepada Presiden Jokowi secara pribadi atas purbasangka yang ternyata tidak pernah terjadi. Ini penting, sebab sikap legawa, rendah hati dan berbesar hati sedang diuji di mata publik. Niscaya simpatik rakyat akan muncul dengan sendirinya atas kebesaran hati meminta maaf itu. 

Bagi pecundang Moeldoko, kini tersedia beberapa opsi. Pertama, mengakui kegagalannya dan berhenti berjuang merebut barang milik orang lain sekaligus mengakui kepemimpinan AHY. Kedua membuat partai baru yang membuatnya lebih terlihat terhormat di mata publik. Ketiga terus ngotot merebut kendaraan politik milik orang lain di pengadilan dengan risiko bertambah malu kalau sampai gagal lagi.

Membumi dan Introspeksi

Kemenangan yang sangat berarti ini bukan berarti tanpa hikmah, khususnya bagi AHY. Introspeksi penting, lebih penting dari sekadar memimpin partai. Pertanyaan mendasar filosofis perlu diajukan kepada diri sendiri; mengapa kudeta Demokrat terjadi? Tentulah ada latar belakangnya, tidak muncul begitu saja dan Moeldoko bukanlah pemain tunggal.

Beberapa isu dan kata kunci penting perlu dirinci, dibedah, kemudian dicarikan pembelaannya. Misalnya legalitas kongres yang menempatkan AHY selaku ketua umum partai secara aklamasi. Bagi publik, makna aklamasi itu adalah terpilih dengan suara bulat.

Tetapi, mengapa suara bulat menyisakan ketidakpuasan para pendiri dan sesepuh partai? Tidak ada asap kalau tidak ada api bukan berarti tidak bisa dicari solusinya.

Lagi-lagi introspeksi adalah kuncinya, jangan-jangan sebagai ketua umum partai AHY terlalu -bahkan sangat- elitis, jarang menyapa dan “memanusiakan” para sesepuh serta pendiri partai, mementingkan orang-orang terdekatnya daripada orang yang berjasa terhadap partai. Itu dari sisi humanisme kepemimpinannya.

Dari sisi aturan partai, boleh jadi ada AD/ART alias “undang-undang” partai yang menempatkan ketua majelis tinggi, dalam hal ini Susilo Bambang Yudhoyono yang tak lain ayahanda AHY, menjadikan SBY memiliki kekuasaan absolut bahkan di atas ketua umum partai sendiri.

Siapa kelak kader yang berani menggantikan kedudukan majelis tinggi? Ini seolah-olah menempatkan ketua partai sebagai subordinat dari ketua majelis tinggi.

Jangan-jangan posisi ketua majelis tinggi ini ada dan “diada-adakan” untuk mengakomodir SBY agar tidak kehilangan kekuasaan atas partai di saat partai ini adalah partai terbuka, bukan partai keluarga. Bisa juga dimaknakan agar Demokrat tidak jatuh ke tangan kader yang bukan "darah biru" Cikeas.

Hal lain adalah dominasi “Keluarga Cikeas” di tubuh partai. AHY bisa introspeksi siapa saja keluarga inti yang menjadi petinggi partai dan ia harus sudah siap dengan narasi yang meyakinkan publik bahwa hal itu dimungkinkan sesuai AD/ART partai, sesuai kapasitas dan kapabilitas keluarga intinya. Yakinkan bahwa kader lain pun bisa menjadi petinggi partai, bisa menggantikan posisinya selaku ketua umum partai dengan mekanisme sebagaimana tertuang dalam AD/ART.

Mahar politik jika itu benar terjadi, akan menjadi preseden buruk bagi Demokrat, di mana kader tertentu yang ingin menjadi calon anggota dewan atau kepala daerah wajib menyetorkan sejumlah uang.

Mahar semacam ini sejatinya lumrah dalam konteks politik Indonesia dan terjadi di setiap partai politik. Menjadi pertanyaan menarik, mengapa isu ini mengemuka dan terdepan dalam pelemahan Demokrat AHY yang berujung pada terjadinya kudeta di tubuh partai?

Fakta, bahwa pelaku bahkan pendukung kudeta salah satunya mantan kader yang kecewa dengan mahar politik ini. Boleh jadi jumlahnya yang sangat spektakuler, yang berbeda jika dibanding mahar serupa di partai politik lain.

Modal Besar

Bagi AHY, kemenangannya atas Moeldoko adalah modal besar untuk melangkah ke depan. Turbulensi pertama dengan hantaman yang sangat berat sudah ia lalui dengan selamat, membawa gerbong partai tetap berjalan di mana ia bertindak selaku lokomotifnya.

Seorang mayor berpangkat melati satu di pundak yang berhasil mengalahkan jenderal penuh berpangkat bintang empat adalah modal terbesarnya. Artinya, dalam memimpin taktis -partai maupun pemerintahan- pangkat bukan segala-galanya. Kapasitas, kapabilitas, legalitas dan kharisma lebih mengedepan dalam ranah kepemimpinan yang lebih luas dari sekedar partai politik.

Baca Juga: Usai Tumbangkan Moeldoko, Ternyata AHY Masih Punya PR Besar

Posisi dan arah partai juga perlu dipertimbangkan secara matang dalam kepemimpinan AHY di masa mendatang. Cara paling sederhana dengan bertanya pada diri sendiri, misalnya “Apakah keuntungan dan kerugian menjadi partai penyeimbang?” Atau “Apakah tidak lebih baik menjadi partai oposisi seperti PKS saja agar lebih tegas?” Atau mungkin “Tidakkah lebih baik mendukung pemerintah meski bukan anggota koalisi?” sebab, bukankah dalam kemelut kudeta Partai Demokrat AHY terselamatkan oleh keputusan pemerintah?

Dari semua sikap politik yang layak dipertimbangkan ke depan tersebut, yang jauh lebih baik adalah konsolidasi ke dalam. Merangkul para pemberontak dan para pendiri partai yang tersinggung adalah kewajiban AHY sebagai ketua umum.

Ulurkan tangan dan sediakan badan untuk saling merangkul agar menjadi kekuatan solid. Memelihara permusuhan dan perselisihan hanya akan merugikan Demokrat sendiri di masa depan kendati terlihat gagah.

Politik merangkul adalah solusi terbaik daripada memelihara permusuhan yang hanya akan memperoleh citra bernada negatif. Sikap rendah hati, egaliter, santun dan khususnya tidak elitis harus lebih di kedepankan, harus melekat dan menjadi milik AHY.

Merunduk bukan berarti tunduk.

***