Pahitnya Jadi Predator

Undanganya pun berlogo Sekretariat Negara. Bukan hanya dihadiri beberapa menteri, melainkan juga oleh Presiden dan Ibu Negara waktu itu.

Kamis, 4 Februari 2021 | 20:41 WIB
1
152
Pahitnya Jadi Predator
Ilustrasi singa sang predator (Foto: Grid.id)

Jangan sekali-kali menghina ketum parpol. Karena bukan hanya bapak dan adiknya, atau saudara-saudaranya yang marah. Melainkan seluruh manusia yang loyal padanya, akan marah padamu. Ibarat pepatah Melayu, yang tanpa orkes, lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya. Artinya?

Hanya buaya demokratlah, maksudnya buaya yang sok ikhlas, yang mau memangsa inceran harimau. Ingat, penyebutan ‘demokrat’ di sini, adalah sikap-mental. Tak ada kaitan ‘demokrat’ sebagai nama. Siapapun yang memakainya, misal Joe Biden sekalipun.

Karena buaya sejati, akan mencari korban yang masih orisinal. Belum tersentuh pihak lain, apalagi kompetitor sesama karnivora. Kecuali, hewan pemangsa yang pertama sebetulnya juga bukan karnivora (pemangsa daging), melainkan omnivora (pemakan tanaman dan hewan lain).

Itu lain lagi perhitungannya. Beda dengan saya, sebagai vegetarian saya suka kambing, karena kambing telah menyaripatikan rumputan menjadi dagingnya yang lezat yang disebut tongseng.

Dalam dunia binatang, ada istilah ‘memangsa’ dan ‘dimangsa’. Hal itu sangat tepat menggambarkan kehidupan berbagai jenis hewan. Hewan predator yang berada di tengah mata rantai makanan, memang hanya punya dua kemungkinan. Memangsa hewan lain, atau dimangsa hewan lain. Karena tidak mungkin memangsa dirinya sendiri.

Baca Juga: Mengapa Deklarator Demokrat Subur Sembiring Gugat Kepemimpinan AHY?

Manusia saja, yang bisa memungsikan anggota tubuh bernama tangan, tak bisa memangsa dirinya sendiri. Kalau bunuh diri, pakai pistol atau samurai, begitu mati bangkainya tidak dimakannya sendiri. Kalau tak dibakar jadi abu, bakal dimangsa oleh milyaran jasad renik yang berada di dalam tanah.

Lihat misalnya pada anakonda, jaguar, buaya, hiu (yang putih dan besar), serta singa, adalah lima hewan predator puncak (maksudnya the big five), masih bisa dimangsa oleh predator lainnya.

Dari sisi semantik, artinya pepatah Melayu itu perlu dikoreksi. Karena ternyata tak semua harimau masuk kategori predator puncak. Karena hanya menyebut jaguar. Itu pun nama jaguar kini sudah jadi merk barang. Jadi, tak ada sebenarnya lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya. Hil yang mustahal.

Beda kalau misalnya pepatah itu berbunyi ‘lepas dari mulut jaguar,…’ atau ‘lepas dari mulut singa,…’ Buaya sebagai predator tapi juga sekaligus bisa terbalik menjadi mangsa predator itu termasuk pula aligator dan kaiman. Kaiman Wicaksono, yang suka nyebarin gossip, untuk memancing di air keruh. Padal, buaya termasuk predator yang suka air keruh.

Predator yang sangat doyan buaya, antara lain anakonda, piton, jaguar, dan leopard. Mereka ini yang paling tahu kelemahan buaya, yakni jika lehernya digigit , atau dililit oleh hewan berbentuk ular besar seperti anakonda atau pun piton.

Meski pun sesungguhnya, predator paling berbahaya di dunia adalah manusia. Apalagi yang suka menggigit leher atau melilit pasangannya dengan cinta membara. Sampai-sampai Ali anaknya Pak Thalib, sempat ngendika bahwa dari semua kepahitan dalam hidup yang terpahit adalah berharap kepada manusia.

Sekarang persoalannya, siapa yang membuat pepatah Melayu itu? Kenapa tidak membuat Orkes Melayu saja? Kalau malu dibilang selera rendah, kan masih ada jalan lain, mencipta lagu pop misalnya, terus dibuat album dengan judul mengharu-biru semisal, ‘Rinduku Padamu’.

Meski biasa saja, tapi dibandingkan karya cipta musisi Indonesia paling beken, hanya album musik itulah yang dalam peluncurannya dihadiri 2.000 undangan, tepat pada hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2007. Undanganya pun berlogo Sekretariat Negara. Bukan hanya dihadiri beberapa menteri, melainkan juga oleh Presiden dan Ibu Negara waktu itu.

Dalam album perdana ‘Rinduku Padamu’ itu, terdapat lagu berjudul ‘Kawan’, yang dinyanyikan Kerispatih;

“Ada suka ada duka kawan,
Hidup ini akan berputar kawan,
Kita mesti tegar menghadapi,
Untuk masa depan kita nanti…”

Baca Juga: Kudeta Demokrat: Ini Bukan Permainan SBY!

Tafsir atas syair lagu itu, kalau dulu misalnya lagi di atas jadi presiden, terus kemudian kini di bawah tak jadi presiden, kita mesti tegar. Nggak usah baper. Tapi itu Cuma tafsir. Sementara menurut Mbah Pram, hidup itu tampak dahsyat karena tafsir.

Kenyataannya, nggak jadi gubernur saja pahit, apalagi nggak jadi Presiden, Cuk! Dan celakanya, daging predator itu pahit, nggak enak. Apalagi jika masih mentah. Belum mateng. Baperan pula.

Dan ndilalahnya, juru masaknya kok ya baperan pula! Jangankan dimakan, dilihat saja bikin sakit perut. Hanya Kancil yang cerdik, yang bisa menghindari jebakan predator, eh, betmen ding.

@sunardianwirodono