Tragedi Minggu Palma

Kini menjadi tugas aparat untuk mengungkap tuntas aktor-aktor yang terlibat dalam aksi keji ini.

Minggu, 28 Maret 2021 | 20:55 WIB
0
200
Tragedi Minggu Palma
Polisi berjaga di lokasi bom bunuh diri (Foto: bisnis.com)

Minggu (28/3) ketika jantung kehidupan Makassar sudah mulai berdenyut, ketika warga mulai beraktifitas, ketika umat Katolik sedang beribadah merayakan Minggu Palma, mengawali Pekan Suci, sebuah bom bunuh diri meledak.

Bom meledak di pintu gerbang samping, dekat pos satpam, kompleks Gereja Katedral Hati Kudus Yesus, Makassar. Ledakan terjadi pukul 10.26 WITA. Pelaku bom bunuh diri tewas. Beberapa orang terluka.

Tindakan itu, telah mengoyak persaudaraan kemanusiaan bangsa. “Apapun motifnya, aksi ini tidak dibenarkan agama karena dampaknya tidak hanya pada diri sendiri juga sangat merugikan orang lain,” ujar Menag Yaqut Cholil Qoumas.

Apa pun alasan yang mendorong mereka melakukan tindakan itu, adalah mereka mau menjadikan dirinya sebagai senjata. Pilihan ini adalah langkah pertama untuk memasuki wilayah kematian.

Serangan bunuh diri adalah metode operasional di mana tindakan serangan sangat tergantung setelah kematian pelaku.Di sinilah unsur kemanusiaan ditiadakan, ditinggalkan.

Dengan kata lain, mereka para pelaku penyerangan (bom) bunuh diri tidak mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan, nilai-nilai kemanusiaan mereka robek-robek, injak-injak.

Mereka tutup mata. Yang penting, dia mati dan orang lain juga mati demi tercapainya tujuan. Karena itu, pilihan ini merupakan langkah pertama memasuki domain kematian.

Dengan melakukan tindakan itu, “mereka meninggalkan kehidupannya dan menjadi bagian dari gudang senjata yang tersedia untuk operasi masa depan yang dirancang dan direncanakan oleh para pemimpin mereka. Bentuk kedua reifikasi adalah target manusia. Musuhnya diperlakukan sebagai sesuatu (thing), hama, tanpa jenis kelamin (tak peduli lagi laki atau perempuan), tak peduli tua atau muda. (François Géré: 2007).

Bahwa terorisme bunuh diri muncul di negeri ini, Indonesia, sebenarnya, “aneh.” Sebab, lingkungan yang memungkinkan munculnya terorisme bunuh diri, menurut Leonard Weinberg dan Ami Pedahzur dalam Suicide Terrorism (2010), adalah masyarakat yang terbelah dan terpolarisasi menurut garis etnis dan agama.

Kalau mengacu pada pendapat Leonard Weinberg dan Ami Pedahzur, maka kecil kemungkinan terorisme bunuh diri muncul di Indonesia. Sebab, masyarakat Indonesia—sekalipun kadang terjadi konflik bernuansa etnis, sektarian—namun secara umum tidak terpeceh-pecah, tidak terbelah dan tidak terpolarisasi seturut garis etnis dan agama. Misalnya, seperti Irak atau Lebanon.

Akan tetapi, mengapa terorisme bunuh diri terjadi di Indonesia? Sejumlah bom bunuh diri terjadi di Indonesia: Bom Bali I (2002) dan II (2005), Bom JW Marriot (2003), Bom Kedubes Australia (2004), Bom Masjid Az-Dzikra Cirebon (2011), Bom Sarinah (2016), Bom Mapolresta Solo (2016) dan Bom Kampung Melayu (2017). Aksi-aksi bom bunuh diri tersebut dilakukan oleh pelaku pria baik sendiri maupun berkelompok.

Yang lebih perlu mendapat perhatian adalah muncul pola baru di negeri ini. Yakni yang dilakukan oleh satu keluarga.

Apa yang terjadi di Surabaya beberapa waktu lalu adalah sebuah fenomena baru: serangan bom bunuh diri dilakukan oleh sebuah keluarga. Pola Surabaya itu ditiru—meski belum terlaksana oleh pelaku bom bunuh diri di Medan; istri berencana menyerang Bali.

Ini membuktikan bahwa teroris mampu meradikalisasi seluruh anggota keluarga. Sungguh sangat membahayakan. Terorisme masuk keluarga.

Pelibatan perempuan dalam aksi teror dilakukan karena perempuan cenderung tidak dicurigai ataupun diperiksa secara teliti oleh aparat ketika memasuki sasaran. Sementara, pelibatan anak-anak merupakan suatu cara untuk memanipulasi karena orangtua yang membawa anak lebih jarang diperiksa oleh aparat keamanan.

Sebagai sebuah taktik teror, serangan bom bunuh diri merupakan salah satu serangan yang paling mematikan dan mengerikan. Secara strategis serangan bom bunuh diri merupakan cara yang relatif murah dan efektif untuk mengacaukan situasi politik, ekonomi dan militer suatu wilayah dan telah menjadi salah satu ancaman utama bagi upaya pemeliharaan perdamaian dan perdamaian.

Dan, kalau serangan berhasil, maka sulit dilacak. Sebab, pelaku tewas dalam serangan itu dan tidak seperti dalam aksi teror lainnya tidak memerlukan sumber daya atau risiko yang didedikasikan untuk rencana pelarian, dan begitu terbunuh ia tidak dapat ditangkap dan diinterogasi kemudian mengungkapkan siapa yang mengirimnya.

Karena itu, terorisme bunuh diri sungguh sangat membahayakan; membahayakan bagi persatuan dan kesatuan bangsa; dan kemanusiaan.

Kini menjadi tugas aparat untuk mengungkap tuntas aktor-aktor yang terlibat dalam aksi keji ini. Kepolisian juga perlu meningkatkan keamanan di tempat-tempat ibadah sehingga masyarakat bisa semakin tenang dan khusyuk dalam beribadah. Dan, persaudaraan bangsa ini tak mampu dipecah-belah oleh kekuatan kegelapan.

***