Rayuan Stigmatik Gubernur

Lantas bagaimana dengan para bakal calon Walikota Makassar 2020 beserta penyelenggara, adakah isu disabilitas ikut diwacanakan, terutama dalam paradigma non--mainstream?

Kamis, 27 Februari 2020 | 13:43 WIB
0
271
Rayuan Stigmatik Gubernur
Ganjar Pranowo (Foto: Tribunnews.com)

Meski kecewa saya tidak kaget dengan sikap Ganjar Pranowo yang dengan bangga menyampaikan ke publik bagaimana ia berusaha maksimal bahkan terkesan total, merayu siswi difabel korban perundungan serta orang tuanya dengan iming-iming berbagai bantuan asalkan siswi difabel tersebut bersedia pindah ke Sekolah Luar Biasa [SLB].

Merespon situasi tidak menyenangkan ini, Dr. Ishak Salim angkat bicara. Aktivis--intelektual yang meraih gelar doktor dengan disertasi terkait isu produksi pengetahuan untuk pergerakan kaum difabel ini merasa harus memberi komentar panjang terhadap sikap Ganjar, "Rayuan Stigmatik Gubernur Ganjar Pranowo" judul catatan Ishak di beranda sosial media miliknya.

Pandangan Ganjar bisa jadi representasi umumnya pejabat, bahkan tidak berlebihan jika disebut mewakili pandangan mainstream di negeri ini. Cara pandang Ganjar meminjam perspektif Ishak terjebak pada paradigma lama yang justru melanggengkan pelabelan yang selama ini menjadi tembok tebal penghalang lahirnya kesetaraan bagi para difabel.

Cara pandang yang menyematkan beragam stigma seperti "penyandang cacat", "keterbelakangan mental" atau "orang berkebutuhan khusus", pada gilirannya berujung pada stereotip yang merugikan para difabel. Akibatnya, kehadiran difabel seringkali tidak diharapkan karena dianggap penyakit serta mengundang kesialan di tengah mereka yang dikategorikan normal.

Atau paling banter diperlakukan sebagai pribadi yang perlu dikasihani sebagaimana sikap Ganjar Pranowo terhadap korban perundungan yang dialami siswi difabel di salah satu SMP di Purworejo, Jawa Tengah.

Pembongkaran terhadap pengetahuan yang melahirkan stigmatisasi bagi para difabel merupakan agenda jangka panjang. Para aktivis dan intelektual kritis menyadari tanpa melakukan dekonstruksi terhadap pengetahuan mainstream ini mustahil menciptakan keadilan dan kesetaraan terhadap para difabel. Agenda counter diskursus terhadap wacana dominan menjadi niscaya, halnya dengan produksi pengetahuan yang bersifat membebaskan untuk menggantikan pemahaman yang melahirkan labelisasi negatif terhadap difabel.

Sayangnya sampai saat ini institusi pendidikan belum banyak memberi harapan, sebaliknya jika mau jujur justru distorsi pengetahuan ini lahir, diajarkan, dipertahankan serta ditransmisi dari generasi ke generasi melalui institusi pendidikan. Universitas hingga saat ini belum bisa diandalkan sebagai sarana pembebas dari belenggu kesadaran yang bersifat manipulatif, bahkan seringkali menjelma sebagai instrumen pelumpuh daya kritis mahasiswa. Melihat realitas kehidupan dunia pendidikan Brasil yang bersifat menindas, Paulo Freire menawarkan model pendidikan emansipatoris dan humanis sebagai alternatif.

Baca Juga: Pesan Terakhir Mbak Moen untuk Ganjar

Sebenarnya isu produksi pengetahuan yang menolak paradigma labelisasi ini sejak lama digagas dan didengungkan aktivis NGO meski belum menjadi arus utama, khususnya di Jawa. Sementara di Makassar, aktivis dan akademisi menginisiasi lahirnya PerDIK [Pergerakan Difabel Indonesia Untuk Kesataraan]. Ishak Salim, tokoh penting dibalik kelahiran PerDIK menjelaskan, kehadiran PerDIK bermaksud mengisi ceruk kosong yang tidak digarap lembaga-lembaga difabel yang mendasarkan gerakannya pada isu HAM.

Melihat isu yang diusung PerDIK, sepertinya para difabel bisa berharap banyak. Di tengah arus utama pengetahuan yang melahirkan labelisasi harus diakui tidak mudah mengintroduksi pengetahuan baru pada mereka yang memiliki kesadaran labelisasi yang sudah menguning di kepala. Sialnya, tokoh politik sekelas Ganjar Pranowo yang bahkan dijagokan sebagai salah satu kandidat presiden pasca Jokowi masih terjebak pada paradigma lama dalam merespon isu disabilitas.

Lantas bagaimana dengan para bakal calon Walikota Makassar 2020 beserta penyelenggara, adakah isu disabilitas ikut diwacanakan, terutama dalam paradigma non--mainstream?

Atau jangan-jangan isu disabilitas dieksploitasi sebatas kebutuhan elektoral.

***