Meski kecewa saya tidak kaget dengan sikap Ganjar Pranowo yang dengan bangga menyampaikan ke publik bagaimana ia berusaha maksimal bahkan terkesan total, merayu siswi difabel korban perundungan serta orang tuanya dengan iming-iming berbagai bantuan asalkan siswi difabel tersebut bersedia pindah ke Sekolah Luar Biasa [SLB].
Merespon situasi tidak menyenangkan ini, Dr. Ishak Salim angkat bicara. Aktivis--intelektual yang meraih gelar doktor dengan disertasi terkait isu produksi pengetahuan untuk pergerakan kaum difabel ini merasa harus memberi komentar panjang terhadap sikap Ganjar, "Rayuan Stigmatik Gubernur Ganjar Pranowo" judul catatan Ishak di beranda sosial media miliknya.
Pandangan Ganjar bisa jadi representasi umumnya pejabat, bahkan tidak berlebihan jika disebut mewakili pandangan mainstream di negeri ini. Cara pandang Ganjar meminjam perspektif Ishak terjebak pada paradigma lama yang justru melanggengkan pelabelan yang selama ini menjadi tembok tebal penghalang lahirnya kesetaraan bagi para difabel.
Cara pandang yang menyematkan beragam stigma seperti "penyandang cacat", "keterbelakangan mental" atau "orang berkebutuhan khusus", pada gilirannya berujung pada stereotip yang merugikan para difabel. Akibatnya, kehadiran difabel seringkali tidak diharapkan karena dianggap penyakit serta mengundang kesialan di tengah mereka yang dikategorikan normal.
Atau paling banter diperlakukan sebagai pribadi yang perlu dikasihani sebagaimana sikap Ganjar Pranowo terhadap korban perundungan yang dialami siswi difabel di salah satu SMP di Purworejo, Jawa Tengah.
Pembongkaran terhadap pengetahuan yang melahirkan stigmatisasi bagi para difabel merupakan agenda jangka panjang. Para aktivis dan intelektual kritis menyadari tanpa melakukan dekonstruksi terhadap pengetahuan mainstream ini mustahil menciptakan keadilan dan kesetaraan terhadap para difabel. Agenda counter diskursus terhadap wacana dominan menjadi niscaya, halnya dengan produksi pengetahuan yang bersifat membebaskan untuk menggantikan pemahaman yang melahirkan labelisasi negatif terhadap difabel.
Sayangnya sampai saat ini institusi pendidikan belum banyak memberi harapan, sebaliknya jika mau jujur justru distorsi pengetahuan ini lahir, diajarkan, dipertahankan serta ditransmisi dari generasi ke generasi melalui institusi pendidikan. Universitas hingga saat ini belum bisa diandalkan sebagai sarana pembebas dari belenggu kesadaran yang bersifat manipulatif, bahkan seringkali menjelma sebagai instrumen pelumpuh daya kritis mahasiswa. Melihat realitas kehidupan dunia pendidikan Brasil yang bersifat menindas, Paulo Freire menawarkan model pendidikan emansipatoris dan humanis sebagai alternatif.
Baca Juga: Pesan Terakhir Mbak Moen untuk Ganjar
Sebenarnya isu produksi pengetahuan yang menolak paradigma labelisasi ini sejak lama digagas dan didengungkan aktivis NGO meski belum menjadi arus utama, khususnya di Jawa. Sementara di Makassar, aktivis dan akademisi menginisiasi lahirnya PerDIK [Pergerakan Difabel Indonesia Untuk Kesataraan]. Ishak Salim, tokoh penting dibalik kelahiran PerDIK menjelaskan, kehadiran PerDIK bermaksud mengisi ceruk kosong yang tidak digarap lembaga-lembaga difabel yang mendasarkan gerakannya pada isu HAM.
Melihat isu yang diusung PerDIK, sepertinya para difabel bisa berharap banyak. Di tengah arus utama pengetahuan yang melahirkan labelisasi harus diakui tidak mudah mengintroduksi pengetahuan baru pada mereka yang memiliki kesadaran labelisasi yang sudah menguning di kepala. Sialnya, tokoh politik sekelas Ganjar Pranowo yang bahkan dijagokan sebagai salah satu kandidat presiden pasca Jokowi masih terjebak pada paradigma lama dalam merespon isu disabilitas.
Lantas bagaimana dengan para bakal calon Walikota Makassar 2020 beserta penyelenggara, adakah isu disabilitas ikut diwacanakan, terutama dalam paradigma non--mainstream?
Atau jangan-jangan isu disabilitas dieksploitasi sebatas kebutuhan elektoral.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews