Ini Strategi Prabowo selaku Menhan Baru soal Pertahanan

Semoga Menhan Prabowo Subianto bisa menunjukkan taringnya segera, untuk kepentingan bangsa dan negara, sebagaimana seringkali beliau ungkapkan.

Jumat, 1 November 2019 | 07:34 WIB
0
435
Ini Strategi Prabowo selaku Menhan Baru soal Pertahanan
Menhan Prabowo Subianto (Foto: Kompas.com)

Di Amerika, Menteri Pertahanan atau State Secretary of Devensive (kerab disingkat SecDef) adalah satu dari empat kementerian utama, yang memiliki wewenang besar.

Bahkan dalam konteks perang nuklir, SecDef hanya berdua dengan presiden membentuk National Command Authority (NCA) di mana keputusan peluncuran nuklir strategis di mana hanya mereka berdua pula yang otoritatif di dalamnya.

Demikian pula soal Joint Special Operation Command (pasukan superkhusus dan superrahasia AS), presiden, SecDef, dan CIA, adalah para pihak strategis di dalamnya, yang mengetahui dan mengendalikan keputusan pertahanan tingkat atas di Amerika.

Intinya, SecDef bertanggung jawab atas berbagai kebijakan yang berkaitan dengan penjagaan kedaulatan Amerika, baik di level domestik maupun di level global.

Di Indonesia, boleh jadi seorang Menhan tak sehebat itu, tetapi tetap saja secara struktural dan fungsional, levelnya sangat strategis.

Bukan saja karena anggarannya paling besar, tapi prestise dan greget politiknya juga sangat luar biasa.

Jikalah ada peluang untuk kudeta, misalnya, peluang tersebut utamanya ada di tangan Menhan, atau siapa saja yang berwenang menggerakkan para man behind the gun.

Secara politik, tentu bagi Presiden Jokowi, memasukkan Gerindra, partai dengan jumlah kursi terbanyak kedua di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akan memperkuat pemerintahannya untuk lima tahun ke depan, sekaligus meminimalisasi suara oposisi.

Selain itu, ada juga kemungkinan bahwa masuknya Gerindra merupakan strategi mantan Wali Kota Solo tersebut untuk mengimbangi besarnya pengaruh PDI-P.

Namun lepas dari itu, Prabowo tentu tak hanya diselimuti pertimbangan pragmatis semata alias pertimbangan "hanya ingin mencicipi kekuasaan", apalagi atas motivasi atau ambisi pribadi, yang saya kira sudah selesai untuk seorang Prabowo.

Apa pun justifikasi atau falsifikasinya, kenyataannya adalah mantan Danjen Kopassus tersebut sudah duduk secara de facto dan de jure di singgasana utama Kementerian Pertahanan.

Untuk itu, akan lebih signifikan berbicara tentang tantangan dan ancaman pertahanan yang sedang eksis atau yang akan menghampiri Indonesia.

Ada beberapa hal strategis yang perlu diselesaikan oleh Menhan baru. Salah satunya soal landasan konstitusional pertahanan keamanan rakyat semesta (hankamrata).

Era reformasi "pesta pora" demokrasi yang kebablasan telah menghasilkan berbagai ketentuan perundang-undangan di bidang hankam yang mengalir dari batang tubuh UUD 1945--notabene sudah diamandemen--, terkandung pasal-pasal yang rawan distorsi terhadap nilai-nilai dasar/falsafi yang ada dalam pembukaannya.

Di pihak lain, doktrin dasar dan doktrin induk pertahanan dikembangkan dan dijabarkan oleh TNI berdasarkan nilai-nilai yang mendasari jatidiri bangsa yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

Sebagai akibatnya, ruang gerak TNI dalam upayanya mengimplementasikan hankamrata akan selalu terkendala oleh berbagai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yang disusun berdasarkan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan jatidiri bangsa, terutama yang mengarah pada demokrasi liberal, individualisme, dan kapitalisme.

Landasan logis atas pemahaman tentang sistem hankamrata adalah persepsi yang komprehensif bahwa sistem kehidupan berbangsa-bernegara mencakup berbagai dimensi fundamental dan eksistensial, seperti ideologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan.

Oleh karena bersifat saling terkait dan tidak dapat saling meniadakan (mutually exclusive), tetapi justru saling komplementer dan interdependen, maka pembangunan dimensi-dimensi tersebut harus digulirkan secara maksimal untuk mencapai hasil optimal dengan prinsip "saling mendukung dan menguatkan".

Pembangunan politik dan ekonomi, misalnya, dapat berjalan baik manakala situasi hankamnas bersifat positif-kondusif.

Sebaliknya, pembangunan sishankamnas tidak mungkin berjalan tanpa dukungan dimensi-dimensi lainnya.

Sishankamnas, sebagaimana sistem kehidupan bangsa lainnya (politik, ekonomi dan sebagainya), dibangun dan digerakkan untuk menunjang upaya pembangunan atau transformasi nasional menuju tercapainya cita-cita/tujuan nasional.

Untuk mencapai tujuan nasional (tunas) tersebut terdapat banyak aspek yang harus dilindungi, dijaga/dikawal dan diimplementasikan yakni berbagai kepentingan nasional (kepnas).

Dengan apakah kepnas dikawal, dilindungi dan diimplementasikan? Jawabannya, dengan sistem kehidupan nasional (sisnas) dan dalam konteks ini adalah sishankamnas.

Pertanyaan berikutnya, bagaimakanakah sishankamnas sebagai bagian integral dari sisnas itu didesain? Ada dua hal yang harus dijadikan bahan pertimbangan.

Pertama, harus ada berbagai instrumen bangsa yang memang perlu untuk digunakan dalam kerangka tersebut seperti falsafah bangsa, falsafah bangsa tentang perang, politik luar negeri dan sebagainya.

Kedua, harus dilakukan penilaian (assesment) atau telaah mendalam terhadap lingkungan strategis (lingstra) yang terus berkembang secara dinamis, termasuk mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang darinya kita dapat merumuskan potensi ancaman nyata atau ancaman potensial terhadap bangsa-negara.

Menghadapi kondisi kehidupan bangsa yang memiliki sekian banyak ancaman potensial, niscaya perlu pembangunan dan pengerahan total potensi dan kekuatan bangsa secara efektif.

Dengan demikian, sishankamrata merupakan konsep dan doktrin yang tetap relevan dalam kehidupan bangsa kita sebagai wadah, isi dan tata laku pertahanan nasional di masa depan dengan revisi nilai instrumental agar tetap relevan dan kontekstual.

Apalagi, sistem pertahanan (sishan) semacam ini juga dijadikan konsep pertahanan di banyak negara maju, seperti Swiss, Israel, Singapura, dan Perancis.

Logika atau basis argumentasi sishankamrata dapat digambarkan sekilas dengan mengacu pada kebiasaan umum (habitus universal) dalam rekayasa sishan.

Baca Juga: Belajar dari Prabowo

Idealnya, sebuah negara memiliki sishan di mana kekuatan riil yang dimilikinya lebih unggul daripada kekuatan yang mengancam (ancaman potensial).

Jika belum dapat mencapai kekuatan ideal tersebut, biasanya dibangun aliansi dalam rangka memelihara balance of power. Namun, bila hal itu pun tidak dapat dilakukan, tidak ada pilihan selain "perang rakyat".

Bagi Indonesia, membangun kekuatan ideal masih jauh dari mungkin karena terhadang kendala anggaran. Untuk beraliansi membangun pakta pertahanan pun tidak mungkin karena prinsip politik luar negeri yang bebas-aktif.

Dengan demikian, langkah realistis yang merupakan pilihan logis adalah sishankamrata (total defence).

Tantangan lainnya adalah soal perbatasan. Selama lima tahun terakhir kondisi di perbatasan negara mencuatkan berbagai kasus sengketa dengan negara lain, kejahatan ekonomi dan kemanusiaan serta ekses negatif lainnya akibat masih lemahnya pengelolaan perbatasan.

Maraknya penyelundupan berbagai produk dan komoditas hingga banyaknya imigran gelap yang menjadikan negeri ini sebagai basis mereka untuk beraksi merupakan indikasi betapa lengahnya pemerintah menjaga dan mengelola persada Nusantara.

Kondisinya makin krusial terkait dengan potensi konflik di Laut China Selatan yang melibatkan beberapa negara besar.

Konflik itu meskipun tidak melibatkan Indonesia secara langsung tetapi negeri ini bisa terkena dampaknya.

Pembelian helikopter serbu Black Hawk oleh Kementerian Pertahanan (Kemhan) beberapa waktu lalu merupakan solusi tepat untuk mengelola dan mengamankan perbatasan negara.

Pengadaan Black Hawk sangat tepat karena TNI Angkatan Darat membutuhkan pergerakan cepat pasukan ke perbatasan dan daerah-daerah terpencil.

Selain itu, Black Hawk merupakan helikopter multifungsi. Helikopter buatan Sikorsky Aircraft Corporation, Amerika Serikat, itu telah teruji dalam berbagai medan dan operasional.

Pengadaan Black Hawk merupakan kebijakan diversifikasi pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista). Dari sudut pembiayaan memang cukup fleksibel. Namun, mengandung kelemahan terkait masalah penguasaan teknologi dan perawatan.

Sistem pengelolaan perbatasan negara sebaiknya menekankan kawasan perbatasan dari aspek keamanan dan pendekatan kesejahteraan.

Paradigma di atas harus bisa mengintegrasikan tiga elemen dalam pranata ekonomi dan jejaring informasi pertahanan negara atau disebut e-defence.

Hal itu melibatkan secara proaktif masyarakat sipil perbatasan, pemerintah, dan pasar atau entitas ekonomi, baik di tingkat lokal maupun internasional.

Sudah banyak tangan yang diserahi tugas untuk mengelola wilayah perbatasan negara dengan anggaran yang cukup besar. Namun, semua belum efektif kinerjanya.

Eksistensi Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) masih belum optimal. Mestinya BNPP bisa menjadi ujung tombak untuk mewujudkan amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.

Wilayah perbatasan saat ini sangat rawan terhadap berbagai kejahatan sumber daya alam. Lemahnya pengelolaan wilayah perbatasan merupakan indikasi masih rapuhnya geopolitik saat ini.

Kerapuhan itu bisa menyebabkan martabat bangsa ini jatuh ke titik nadir hingga dilecehkan begitu saja oleh negara tetangga.

Betapa ironisnya negeri ini yang memiliki jumlah penduduk yang sangat besar, namun kurang mampu menjaga wilayah perbatasan.

Dari aspek geopolitik, mestinya berbagai macam batalion yang dimiliki oleh TNI markasnya ditempatkan di daerah-daerah perbatasan. Ironisnya, masih banyak batalion tempur yang berada di Pulau Jawa.

Dibutuhkan sistem pertahanan yang terintegrasi antarmatra pertahanan negara. Sistem itu semakin penting sejak pemerintah Amerika Serikat merumuskan doktrin beladiri preemtif (preemptive self defense) atau biasa disebut beladiri antisipatorik (anticipatory self defense).

Dalam konteks tersebut organisasi pertahanan suatu Negara harus memiliki backbone yang kuat agar bisa melakukan penetrasi dan komunikasi prima di sepanjang daerah perbatasan negara.

Persoalan pertahanan harus ditangani dengan solusi terkini yang mengarah kepada optimalisasi teknologi menuju integrated digitalized battlefield. Selain itu, masalah ancaman disintegrasi bangsa dan radikalisme menjadi pekerjaan rumah selanjutnya. Persoalan Papua, misalnya, yang tak kunjung masuk ke "garis finis", harus ditemukan titik kesepakatannya.

Jika semua pihak bersepakat bahwa para pihak yang merusak eksistensi Indonesia di Papua adalah bagian dari pemberontakan, maka ketegasan harus segera ditunjukan, demi harga diri dan martabat bangsa Indonesia.

Begitu pula dengan ancaman radikalisme. Kemenhan dan segenap otoritas terkait di bawah Istana harus segera bersepakat apa saja penampakan teknis dari radikalisme dan apa saja sumber-sumber penyulutnya. Lalu ditentukan pada titik mana bisa dilakukan deradikalisasi dan pada titik mana bisa ditempuh dengan langkah tegas pembasmian.

Semoga Menhan Prabowo Subianto bisa menunjukkan taringnya segera, untuk kepentingan bangsa dan negara, sebagaimana seringkali beliau ungkapkan.

***

Keterangan: artikel telah tayang sebelumnya di Kompas.com dengan judul "Tantangan Strategis Menhan Baru"