Belajar dari Prabowo

Ada ego, gengsi, rasa malu, rasa takut direndahkan orang lain yang harus anda kalahkan terlebih dahulu, sebelum anda sanggup melakukan apa yang dilakukan oleh Prabowo hari ini.

Kamis, 24 Oktober 2019 | 18:31 WIB
0
606
Belajar dari Prabowo
Prabowo Subianto (Foto: RMOL.id)

Bagi orang Indonesia, menjadi gumunan karena melihat hal baru itu biasa terjadi. Kadang bahkan hingga gumun sampai tahap keterlaluan.

Seperti yang sedang dialami anak bangsa dari sejak kemarin ketika melihat Prabowo Subianto (PS) melenggang ke Istana dengan kemeja putihnya.

Sebagian mengejek karena setelah pertarungan yang sengit di Pilpres, tetiba menjadi koalisi bahkan bersedia menjadi bawahan mantan lawannya.

Sebagian lagi tidak terima, setelah Jokowi dihantam dengan berbagai hoax, black campaign, dlsb, sekarang seperti menjilat ludah sendiri mengais jabatan dalam pemerintahan Jokowi. Sebagian netizen bahkan menagar #MelawanLupa sebagai responnya.

Dan sebagian yang lain menggerung tantrum, tidak dapat menerima kenyataan, sosok capres yang dipujanya, dibela dengan segala daya, sekarang justru menjadi pembantu sosok yang selama ini mereka hina dina, bahkan wajahnya sudah mereka jelmakan menjadi wajah-wajah penghuni kebun binatang saking mengakar kebenciannya pada sosok tsb. Hmm..semoga saja yang terakhir ini tidak sampai mengalami gangguan jiwa hanya karena peristiwa politik lima tahunan.

Drama politik seperti ini memang hal baru bagi bangsa ini. Namun, jika melihat kepada pengalaman negara lain, sebetulnya bukan hal baru sepasang kandidat Presiden yang berkompetisi kemudian setelah usai menjalin kerjasama. Contoh yang terbaru terjadi di Amerika, sebuah negara tua yang memang sudah matang proses demokrasinya.

Hillary Clinton sebelum berkompetisi dengan Trump, ia juga berkompetisi dengan Obama, dan setelah mengakui kekalahannya, bergabung di pemerintahan Obama menjadi Menteri Luar Negeri. Dan makin uniknya, ketika Hillary kembali maju berkontentasi melawan Trump, Obama ikut mengkampanyekan mantan bawahan sekaligus rivalnya ini.

Jadi, dalam demokrasi, dari rival menjadi tim itu bukan hal yang mustahil dan luar biasa sekali. Butuh kedewasaan dalam berpolitik dan berdemokrasi memang, dan peristiwa politik yang baru bangsa ini alami, bisa menjadi pelajaran baru dalam proses pendewasaan demokrasi kita.

Ini sejarah baru. Kita belajar dari Prabowo.

Tapi bukan hanya itu poin pelajaran yang bisa kita ambil dari langkah politik Prabowo. Ada poin yang lebih utama, dalam perspektif kali ini. Yaitu bagaimana seorang PS dengan segala latar belakang "kebangsawanan"-nya, dikenal sangat 'bossy', bahkan dalam kampanye kemarin tersandung beberapa kali 'bossy incident' dengan menyebut tampang miskin masyarakat Boyolali, tampang miskin para wartawan, pengemudi ojek, dlsb.

Lalu para psikolog yang menyebut PS diduga menderita "Megalomania" karena tidak dapat menerima kekalahan untuk kesekian kalinya.

Sebagai seseorang yang sudah terlahir dengan sendok emas di mulut, lalu ketika dewasa menjadi menantu penguasa yang paling ditakuti di negeri ini, dengan segala privileges nya, seperti pangkat militer di pundaknya yang mudah didapat dan segala kemudahan hidup lainnya hingga hari ini, tentu memang akan sulit menerima kekalahan dari seorang tukang kayu yang tidak memiliki latar belakang apa-apa.

Bukan hanya bagi PS, semua orang yang berada dalam posisinya normalnya akan mengalami perasaan yang sama.

Apalagi ketika ditambah harus menjadi bawahannm si "bukan siapa-siapa" ini yang dua kali telah mengalahkannya. Bagaimana seorang PS menghadapi perang ego di dalam dirinya ?

Tapi itu kan permainan politik. Semua orang akan melakukan apapun untuk mencapai tujuannya. Jangan terlalu berlebihan melihatnya. Mungkin ada yang berpendapat demikian.

Hei, Bung... tapi ini Indonesia. Bukan Amerika atau Eropa! Anda jangan lupa itu!

Di negeri-negeri Barat anda akan biasa saja melihat anak seorang konglomerat atau anak Presiden, sekolah sambil nyambi menjadi tukang cuci piring atau pelayan restoran.

Orang Indonesia pun hanya ketika sekolah di luar negeri, demi menambah uang saku untuk living cost yang tinggi, mau nyambi melakukan pekerjaan-pekerjaan fisik, seperti menjadi pelayan, tukang cuci piring, loper koran, supir, baby sitter, cleaning service. dlsb.

Meski sedang mengejar gelar doktor pun mereka tidak malu melakukan pekerjaan-pekrjaan yang di Indonesia dipandang sebagai pekerjaan rendahan. Karena semua orang melakukannya dan tidak ada yang memandang rendah terhadap profesi-profesi tersebut.

Tapi setelah pulang ke tanah air, apakah para sarjana, master dan doktor ini bersedia lagi mengerjakan profesi tersebut ?! No way!

Jangankan pekerjaan kasar seperti di atas, para sarjana kita bahkan gengsi jika harus berwirausaha dengan membuka warung K5 di pinggir jalan. Misalnya berjualan nasi goreng, mie ayam, ketoprak, pecel, dlsb.

Faktor pertama, perasaan malu dengan teman yang bekerja kantoran sementara anda menjadi pelayan sendiri, mencuci piring, dst. Dikira sebagai pelayan atau pegawai kasir, padahal anda adalah owner usaha anda sendiri, itupun sudah menjadi bahan tertawaan untuk diri anda sendiri, right? 

Faktor kedua, cibiran dari keluarga dan lingkungan, "Buat apa enyak sekolahin elu tinggi2 kalau cuma jadi supir oplet, Doel ?!"
Familiar kan dengan kalimat underestimate seperti ini ? 

Dan ya, Indonesia memiliki pengangguran terselubung yang tinggi karena budaya gengsi yang kita miliki. Kita masih menganggap kerja kantoran itu lebih bergengsi, meski gajinya hanya habis untuk menutup utang, dibandingkan berwirausaha yang seringkali penghasilannya bisa berkali lipat dari karyawan.

Gengsi itu budaya mental orang Indonesia. Kita masih lebih mempertimbangkan penampilan luar daripada isi. Karena mental itu pula media sosial menjadi media komunikasi yang sangat digemari warga +62, hingga strata sudra pun seringkali memaksakan diri membeli smartphone dengan cicilan sekian bulan hanya demi bisa pansos.

Ups ternasuk kelas menengah ya, demi the latest version of IPhone, tidak sedikit yang rela mencicil ketika aselinya harganya melebihi kemampuan kantong mereka sekalipun. Yang penting bisa eksis!

Jadi, jangan mengira apa yang dilakukan oleh PS adalah hal mudah. Anda pun belum tentu mampu melakukannya!

Ada ego, gengsi, rasa malu, rasa takut direndahkan orang lain yang harus anda kalahkan terlebih dahulu, sebelum anda sanggup melakukan apa yang dilakukan oleh PS hari ini.

Seorang Calon Presiden, yang memiliki latar belakang konglomerat, biasa berkuda dengan gaya seperti raja-raja, pernah dipanggil "Presiden", bahkan pendukungnya masih menganggap beliau seorang "Presiden", dan pernah dijuluki sebagai 'Macan Asia', dst... harus duduk sama rendah bersama para calon pembantu Presiden lainnya dan menundukkan kepala di hadapan si Tukang Kayu yang "bukan siapa-siapa' ini.

Apakah Anda bisa membayangkan seorang Hitler yang terkenal dengan 'salute' NAZI-nya yang berjalan selalu dengan kepala terdongak angkuh atau Trump yang juga selalu bergesture kepala mendongak dengan ekspresi pongah, lalu tetiba bisa membungkukkan kepala dengan sikap hormat di depan Jokowi atau siapapun? Tentu kita sulit membayangkan hal tersebut bisa terjadi.

Tapi Prabowo Subianto membuktikan diri mampu melakukannya!

Be like Prabowo.

***