Jadi pada dasarnya, aktor utama kehidupan manusia, mulai dari tingkat RT sampai global, adalah korporasi. Karena merekalah yang punya harta.
Penggemar olahraga pasti tahu, semua perhelatan besar olahraga tidak mungkin bisa terselenggara tanpa keterlibatan korporasi. Kompetisi dan turnamen sepakbola, bola basket, tennis, badminton, balap mobil, balap motor, perahu layar, dan lain-lain, menjadi layar iklan perusahaan besar di berbagai sektor. Penerbangan, telekomunikasi, elektronika, migas, perbankan, otomotif, komponen otomotif, bahkan perusahaan penyelenggara perjudian.
Ini selintas seperti simbiosa mutualisma, saling menguntungkan. Tidak salah. Tapi, dari segi keuangan, bargaining-nya sangat tidak simetris. Perusahaan-perusahaan sponsorship itu begitu berkuasa atas entitas olahraga. Tidak terhitung berapa banyak klub olahraga yang ‘mati’ karena ditinggalkan sponsor.
Juga, sangat banyak pula klub olahraga yang ‘nyaris mati’ atau tidak dikenal, tiba-tiba menjadi kekuatan baru, karena suntikan dana dalam jumlah besar dari perusahaan raksasa, salah satunya Manchester City. Dengan dana besar, klub bisa belanja banyak pemain bagus untuk membangun tim yang kuat. Tak pelak lagi, kekuatan modal bisa mengubah perjalanan sejarah olahraga.
Pada skala yang lebih kecil juga sama. Kostum Persib Bandung yang pada tahun 1980an – 1990an hanya berwarna biru polos atau putih polos dengan tiga strip (adidas) di pundak. Mengandalkan dana APBD Kodya Bandung, hasil penjualan tiket, dan merchandise. Pembinaan pemain menjadi kunci prestasi.
Sekarang tidak. Menyusul ditutupnya kran APBD untuk tim olahraga, organisasi klub olahraga bertransformasi menjadi perusahaan. Sumber-sumber pendapatan dioptimalkan, kostum yang dikenakan para pemain jadi seperti banner background seminar, penuh logo perusahaan. Selain itu, setiap klub juga mempunyai investor yang juga pemilik perusahaan besar.
Fenomena itu terjadi pada semua klub. Kekuatan klub ditentukan oleh besarnya dana yang disuntikan, berapa besar budget untuk belanja pemain. Karenanya, di sepakbola nasional misalnya, peta kekuatan berubah drastis.
Dulu, sepakbola nasional dimonopoli oleh klub dari kota-kota besar saja, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, dan Jayapura. Sekarang merata. Jangan heran kalau Persib bisa kalah dari Persikabo. Njiiing ... kan sebelumnya gak kepikir bisa terjadi!!
Pada skala mikro pun sama. Untuk menyelenggarakan Perhelatan 17an tingkat RT, langkah pertama yang diambil panitia adalah memasukkan proposal permohonan dana kepada perusahaan-perusahaan atau toko-toko terdekat. Itu menunjukkan kekuatan kapital.
Lalu, apakah cengkraman kapital dari entitas korporasi itu hanya menjangkau arena olahraga? Tidak!
Hegemoni korporasi telah menguasai semua aspek kehidupan, di semua belahan dunia. Seni, pendidikan, kesehatan, politik, kegiatan besar keagamaan, bahkan bantuan terhadap korban bencana alam pun lebih banyak dilakukan oleh korporasi.
Di bidang politik. Semua negara berkembang yang demokratis, pada dasarnya yang berjalan adalah demokrasi korporasi. Di mana korporasi memiliki ruang yang sangat besar untuk berkuasa. Kalaupun pemilik korporasi besar tidak langsung terjun ke dunia politik, maka dia melakukannya lewat kaki tangan yang proxynya.
Di Indonesia saat ini, hampir semua partai politik ketua umumnya adalah pengusaha. Kalaupun bukan, pasti di-back up oleh kelompok pengusaha. Kenapa? Karena Indonesia adalah negara besar, untuk mendirikan satu partai politik, biayanya sangat besar. Terlebih ketika menghadapi peristiwa politik, Pilkada, Pemilu Legislatif, dan Pilpres.
Bahkan untuk scope dunia, komunitas korporasilah yang menentukan gerakan atau trend global. Tesis paling sederhana untuk memahami masa depan adalah, jumlah manusia terus bertambah, sementara daya dukung lingkungan hidup dan sumber daya alam terus menurun. Tiga kebutuhan paling mendasar bagi kehidupan manusia yaitu air bersih, bahan makanan, dan oksigen menjadi fokus utama tiap negara.
Di sisi lain, industri terus tumbuh daam rangka menutupi kebutuhan hidup dan meningkatkan kualitas kehidupan. Pertumbuhan industri tidak mungkin dihentikan. Lagi-lagi aktor utamanya adalah korporasi.
Hal yang pasti dari industri adalah menghasilkan limbah, limbah padat, cair, dan gas. Semuanya merupakan polutan. Limbah padat dan cair relatif sudah tertangani. Limbah udara atau gas CFC (ChloroFluor Carbon) adalah polutan yang tidak mungkin ditangkap atau dibersihkan dulu, sebelum lepas ke langit. CFC atau gas rumah kaca ini diyakini sebagai stimulus penyebab pemanasan global.
Satu-satunya cara untuk mengurangi emisi CFC ke langit adalah menanam pohon sebanyak-banyaknya. Pohon menangkap carbon dan memproduksi udara. Saat ini, industri terkonsentrasi di negara-negara maju. Sementara populasi pohon atau hutan lebih banyak di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Maka, dengan argumen untuk memperlambat laju pemanasan global, maka disepakatilah Paris Agreement 2015 yang kontennya adalah 13 poin SDGs (sustainalible development goals). Inti dari SDGs adalah meningkatkan luasan lahan hutan untuk menagkap CFC dan meningkatkan produksi oksigen. Siapa inisiator dan yang mensponsori Paris Agreement dan SDGs-nya? Ya Korporasi.
Sehingga, jika SDGs bisa di implemented, industri di negara-negara maju bisa terus tumbuh. Bagi negara-negara berkembang? Baik juga sih, kalo hutannya lebih baik, lebih luas, minimal sumber air bersih bisa terpelihara, kualitas udaranya lebih baik. Profit riilnya? Dijanjiin dapet kredit carbon, ya kayak remah-remah rengginang gitu.
Jadi pada dasarnya, aktor utama kehidupan manusia, mulai dari tingkat RT sampai global, adalah korporasi. Karena merekalah yang punya duit (harta). Sebenarnya tidak salah kalau anak-anak ditanya apa cita-citanya? Mau jadi dokter, guru, polisi, tentara, dan lain-lain. Tapi amat sangat jarang anak yang menjawab, “Saya mau jadi pengusaha.”
Mulai sekarang perkenalkanlah. Terangkan bahwa duit atau harta itu penting. Bukan ‘godaan’, dan ‘akan dibawa mati’. Asal dipake bener.
(Bersambung)
***
Tulisan sebelumnya: Harta [1] Jangan Takut Kaya!
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews