Menyatakan ‘tahta’ itu sebagai salah satu ‘godaan’ dalam hidup, nilainya negatif, itu lebih karena sikap imperior, karena tidak kompetitif, malas belajar.
Saya seorang muslim. Tentu temen-temen juga pasti pernah mendapat nasihat dari guru ngaji atau guru agama di sekolah, yang kurang lebih seperti ini: “Sebanyak apapun harta tidak akan dibawa mati. Yang akan dibawa mati itu hanya amal saleh. Makin banyak harta, akan makin memberatkan kita di yaumil hisab nanti. Carilah ilmu dan perbanyak amal kebaikan. Ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu agama.”
Sebenarnya waktu itu (masih SMP) saya malas mendebat, tapi gak tahan. “Bagaimana kita bisa zakat, sedekah, atau membantu sesama, kalau kita tidak punya harta? Bagaimana bisa berhaji kalau tidak punya uang untuk bayar ONH?”
Namun alih-alih pertanyaan-pertanyaan itu dijawab, yang ada saya dimarahin. Mungkin guru ngaji atau guru agama di sekolah saya dulu itu juga tahu nasihat itu dari orangtua atau dari guru ngajinya. Mereka tidak tahu harus jawab apa kalau ditanya balik atau dihadapkan pada pendapat berbeda.
Say juga berpikir, kalau mengacu pada nasihat itu, maka dalam Islam seolah ada dikotomi ilmu; ilmu akhirat yang bermanfaat dan ilmu dunia yang seolah ‘tidak penting’. Yang dimaksud ilmu dunia oleh guru ngaji saya waktu itu adalah ilmu yang dipelajari di sekolah, matematika, IPA, IPS, dan ilmu-ilmu lain. Menurut nalar saya, ini pun sangat aneh. Tapi sudahlah, waktu itu saya gak mau berdebat, takut dicap durhaka.
Kemudian pada banyak diskursus sering mengemuka pertanyaan, “Mengapa peluang usaha lebih banyak diambil oleh para pengusaha, dan sukses?” Jawabannya sederhana, “Ketika melihat peluang, hal pertama yang dilakukan pengusaha peluang itu diambil dulu. Lalu berpikir bagaimana mengeksekusinya, meminimalisir risikonya. Sementara yang bukan pengusaha, selalu terfokus pada risikonya. Yang muncul duluan rasa takut. Mereka tak pernah berani mengambil peluang, gak pernah mencoba.”
Penjelasan ini relevan dengan premis pemikiran dalam nasihat yang disampaikan guru ngaji saya, “Harta akan makin memberatkan kita di yaumil hisab nanti.” Tesis ini sangat pesimistis, terfokus pada risiko. Meskipun di sisi lain seorang muslim diwajibkan ‘punya uang banyak’, untuk berzakat, sedekah, berhaji (sebagian besar umat Islam tinggal jauh dari Mekkah). Aneh. Jadi sigma dari nasihat itu mengajarkan atau menanamkan ‘ketakutan’, yang kalimat halusnya ‘kehati-hatian yang berlebihan.
Padahal, takut itu adalah sikap untuk memproteksi diri terhadap potensi risiko yang timbul dari satu tindakan yang belum dilakukan. Takut itu sikap untuk menyelamatkan diri. Mengapa itu dilakukan? Karena adanya ego atau keakuan yang sangat kuat. Aku harus tetap ada dalam keadaan utuh, jauh dari rasa sakit, kesulitan, atau pekerjaan berat. Hellooo ... di hadapan Tuhan (hisab) masih mengagungkan keakuan, ego? Sedaaaapp .... guwe udah kayak filsuf sekelas Plato atau Iqbal. Pret!
Mengapa nasihat itu tidak diamandemen aja? Jadi, “Carilah harta sebanyak-banyaknya dengan cara yang baik, agar (dengan harta itu) bisa melakukan lebih banyak kebaikan"? Toh perintah pertama dari Tuhan dalam Qur’an adalah ‘Iqra!’, ‘Bacalah!’, ‘Risetlah!’, ‘Belajarlah!’, ‘Berusahalah!’. Kan kalau harta yang banyak itu didapat dengan cara yang baik dan digunakan untuk kebaikan, gak bakalan memberatkan di hisab nanti. Njiiirr ... kok guwe jadi kayak ngustad gini?
Jadi, harta atau duit itu penting. Semua juga tahu! Lah iya loh ... kalo cuma punya ilmu akhirat, seperti yang dimaksud oleh guru ngaji, kan perlu makan, perlu pulsa, perlu nonton, perlu ngopi, perlu udud, perlu belanja baju? Pake apa? Ayat? Gak bisa.
Lagian, dalam konteks biologis, hidup itu lama. Orang Indonesia rata-rata harapan hidupnya 65–70 tahun. Berapa lama bisa tahan untuk hidup ‘sederhana’ banget? Berapa lama bisa tahan untuk tidak nyuri, tidak lari kenyataan (mabok, nyimeng, dll.)?
Kalok gak percaya betapa pentingnya harta, duit, coba undang ustadz, suruh ceramah, topiknya ‘Ikhlas’. Selesai ceramah, biarin tuh ustadz pulang gak dikasih amplop. Pasti ngedumel! Nah sekarang, mesjid-mesjid banyak yang harus menyiapkan budget buat khatib Jumatan kok. Jadi gak usah muna, dengan cara-cara yang baik, carilah harta. Asal jangan kayak harto, Su!
Masih terkait harta, nasihat untuk laki-laki yang sangat populer adalah, “Hati-hati dengan godaan dunia: Tahta, Harta, Wanita!” Yaaa... ini lagi. Dalam hati, ini sih seperti cerita klasik Perancis tentang kuda yang tak bisa meraih buah anggur, dia mengatakan ‘Anggur itu masam’. Itu kompensasi, hipokrit. Ya kalo orangnya haram jadah mah bukan cuma tahta, harta, wanita yang bisa dikategorikan godaan. Foto cewek di kalender atau jemuran celana dalam tetangga juga bisa mengubah jalan hidup, meredupkan masa depan.
Menyatakan ‘tahta’ itu sebagai salah satu ‘godaan’ dalam hidup, nilainya negatif. (Menurut saya) itu lebih karena sikap imperior, karena tidak kompetitif, malas belajar. Nah orang diangkat jadi asisten Ketua RT aja belagu. Gak apa-apa. Asal, kekuasaan itu dipake buat hal-hal yang bener. Gak percaya? Emangnya untuk jadi ketua umum lembaga atau ormas keagamaan tanpa ‘kompetisi’? Hallaahh...! Artinya, keinginan berkuasa itu normal, namanya juga manusia.
Lalu ‘harta’ dan ‘wanita’. Benar, tidak semua bisa didapat dengan harta, duit. Misalnya cinta seorang wanita. Tapi kan alangkah baiknya kalau menjemput wanita pakai Toyota. Mereka akan menerimamu dengan suka cita.
Lagian tuh nasihat genderistis banget, merendahkan perempuan. Masak perempuan, yang semestinya sebagai mitra setata bagi laki-laki dianggap ‘godaan’? Tuh orang yang masih suka ngasih nasihat kayak gitu, belum aja ketemu temen-temen perempuan di FB, bisa remuk dikepruk rame-rame (belalang kupu-kupu).
Sidang Jumat yang berbahagia, nanti kita sambung dengan tulisan berikutnya...
(Bersambung)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews