Tak Mudah Memahami Jokowi [3] Keberaniannya Mengeksekusi Tiada Tanding

Tidak mudah memahami Jokowi, selama kita sendiri masih dilematis. Bahwa segala sesuatu berasal dari sebab-akibat, di mana akibat juga menjadi sebab. Politik tak berada di ruang hampa.

Sabtu, 23 November 2019 | 07:11 WIB
0
774
Tak Mudah Memahami Jokowi [3] Keberaniannya Mengeksekusi Tiada Tanding
Ilustrasi pertarungan Jokowi dan Prabowo (Foto: Riau86.com)

Jika tulisan berjudul sama dari kemarin ini harus berlanjut, karena menanggapi banyaknya kekecewaan. Juga maki-makian khas. Meski pembenaran-pembenaran atas nama rezim kebaikan, juga sesuatu yang ternyata menjengkelkan.

Demikianlah ironi negeri ini. Dengan penemuan kata 'gotong royong' yang dianggap aseli milik bangsa Indonesia. Dengan sesanti 'persatuan dan kesatuan' sebagaimana tagline Demokrasi Pancasila. Apa yang dilakukan Jokowi dengan mengampu Prabowo ke kabinet, membuat kita blingsatan. Kita siapa? Yang dulu memilih dan tidak memilih Jokowi sekali pun.

Tapi itu semua akibat pembiaran kita, atas bagaimana proses pembajakan Reformasi 1998. Dan seolah tiba-tiba, kini terjadi perang asimetris. Tak jelas siapa kawan siapa lawan. Siapa SJW siapa pencari order. Siapa pahlawan siapa pecundang. Siapa dungu siapa tidak. Siapa kafir siapa tidak kafir. Kacau balau.

Yang berpendidikan bisa katrok. Yang beragama bisa barbar. Sampai ke ulamanya bisa kutbah sambil nyebar kebencian atau joget-joget. Sampai Prabowo tak menyadari menjadi Kuda Troya, untuk sekelompok manusia dengan agendanya tersendiri.

Dan kita teriak-teriak NKRI harga mati, setelah situasi blangsak begitu rupa. Padahal tak ada yang makbedunduk atau tiba-tiba.

Tapi ketika Jokowi yang kita menangkan melakukan 'politik kuda troya' itu pula, dengan pelaku yang sama untuk kick balik, kita kecewa dan marah-marah. Padahal, adakah yang tahu cara setepatnya, untuk meredam side-efect Kuda Troya Prabowo oleh kaum penjual agama dan khilafah, dengan doktrin 'lu jual gua beli'? Sekarang dagangan itu terpaksa dibeli Jokowi!

Jokowi sekaligus sedang menunjukkan kekuatannya. Menantang parpol pendukungnya sekali pun. Ini otoritasnya. Ini hak prerogatifnya.

Kalau Nasdem panas-adem dan ngancam mau jadi oposisi? Silakan. Bukankah parlemen memang seharusnya representasi oposisi, check and ballance, yang mengawasi dan mengkritisi pemerintah? Jangan kura-kura dalam perahu!

Sudah rebutan posisi di parlemen, eh, masih pula mau rebutan kursi di eksekutif. Tanpa oposisi demokrasi mati, kata siapa? Sepanjang kehidupan ini berjalan, oposisi tidak akan pernah mati. Karena itu sunatullah. Apalagi kebebasan pers, media, medsos, tak bisa lagi dibendung.

SJW juga tak bakalan mati. Hanya anggota parlemen yang manipulatif saja, yang memposisikan dirinya berkoalisi dengan pemerintah. Mementingkan kepentingannya sendiri, dan mengabaikan rakyat yang memberinya mandat.

Tidak mudah memahami Jokowi, selama kita sendiri masih dilematis. Bahwa segala sesuatu berasal dari sebab-akibat, di mana akibat juga menjadi sebab. Politik tak berada di ruang hampa.

Ini bukan pembenaran melulu atas Jokowi, tetapi apresiasi keberanian mengeksekusi, untuk sedikit pilihan dari begitu banyaknya keruwetan kita. Kecuali kita mau tarung bebas. Ancur-ancuran. Yang akan lebih menyenangkan mereka yang ingin Indonesia makin nyungsep.

(Selesai)

***

Tulisan sebelumnya: Tak Mudah Memahami Jokowi [2] Pemain Catur yang Dingin