Jokowi Paham Raja Louis XIV Negara Adalah Saya

Karena Jokowi sangat memahami konsep ‘l’etat c’est moi dan ‘la grace de Dieu’ Raja Loius XIV hingga keputusannya penuh perhitungan. Dan, orang-orang di sekelilingnya. Seperti BIN, misalnya.

Senin, 20 Januari 2020 | 21:10 WIB
0
367
Jokowi Paham Raja Louis XIV Negara Adalah Saya
Budi Gunawan (Foto: Liputan6.com)

Jokowi memang unik. Dia paham tentang filosofi mengatur negara. Tentang konsep kekuasaan ala Raja Louis XIV yang brilian. Dia punya keyakinan, sejatinya dalam. Sangat filosofis plus membumi.

Konsep negara adalah saya ala Louis XIV. L’etat c’est moi. Konsep ini pun dalam tataran strategis dipahami oleh Presiden Jokowi. Tentang kekuasaan. Yet, Jokowi juga mendengar.

Herbert H. Rower, mendeskripsikan pemahaman Louis XIV tentang negara adalah saya sebagai sebuah kekuasaan administratif yang terpusat pada raja, presiden, bupati, dan sebagainya. Yang banyak tidak dipahami justru tentang “la grace de Dieu” alias “kekuasaan langit/Tuhan”. Di sini Jokowi menggabungkan dua hal yang ada dalam pemikiran Louis XIV.

Hanya yang pernah dekat dengan Jokowi, dalam arti bukan foto bareng doang selfie, yang akan paham pemikiran Jokowi. Salah satu alasan saya mendukung Jokowi – setelah Jokowi tiba-tiba muncul di 2011 – pasca kisruh dengan Bibit Waluyo. Sikap rendah hati Jokowi menggambarkan kekuatan pikiran dan strategi.

Tentang kisruh kekhawatiran dan kemarahan para relawan, akibat kepentingan tidak terakomodasikan, Jokowi sangat paham. Seperti kasus Budi Arie Projo yang ngambek sampai mau tidur di desa-desa – saking emosinya. Jokowi melihat itu hanya tertawa ngakak.

Sengakak tentang Kerajaan Agung Sejagad di Purworejo ciptaan pendukung Prabowo. Untuk penghargaan saya hormati jadi-jadian Raja Toto Santoso (42 tahun). Untuk si pacar Toto? Kita kasih gelar Maha Ratu Hemas Putri Koskosan Nyai Roropati Nelongsorogo Fanni Aminadia (41 tahun). Ide brilian membuat dagelan.

"Itu cuma hiburan," kata Jokowi sambil ngakak di Istana Kepresidenan beneran di Jakarta, Jumat (17/1/2020).

Loh Jokowi kok masih bisa ngakak. Tertawa. Di tengah kisruh negeri. Kenapa? Karena Jokowi sangat memahami tentang dua hal di atas: l’etat c’est moi dan la grace de Dieu. Bahwa memang benar ada kekuasaan. Namun, kekuasaan itu ada batasan dalam ‘the will of God’ kehendak Tuhan. Jokowi memercayai itu.

Maka ketika dihadapkan pada persoalan tekanan sana-sini, Jokowi kembalikan ke the grace of God. Sebagai manusia, Jokowi melihat sekeliling. Salah satu, jalan mendekatkan pada kebenaran keputusan – berdasar pada menjalankan Devine Right – Kehendak Langit, kemauan semesta kebenaran, adalah dengan mendengarkan.

Siapa yang didengar Jokowi? Relawan. Orang-orang terdekat dia. Tentang ini sungguh menarik. Jokowi tidak pernah meninggalkan orang yang pernah berjasa buat dia. Luhut Binsar Pandjaitan misalnya. Dia adalah arsitek dan mentor bisnis ketika Jokowi merangkak dari nol. Anggit adalah mentor media bersama Eko Sulistyo.

Maka, tak mungkin Jokowi membuang mereka. Karena mereka adalah para manusia tulus yang jauh hari membuat Jokowi tegak berdiri. LBP soal sukses pengusaha. Eko dan Anggit soal strategi media.

Pun demikian soal Prabowo. Prabowo adalah orang yang mengerek Jokowi jadi Gubernur DKI. Dengan harapan, Prabowo jadi RI-1. Kehendak Devine Right, ala Raja Louis XIV berpihak kepada Jokowi. Demikian pula Presiden Megawati identik dengan Prabowo. Mega yang mengangkat Jokowi mewujudkan Kehendak Langit. Dia adalah saluran kehendak Allah SWT yang tak bisa ditolak.

Maka menjadi sangat menarik ketika orang berteriak-teriak soal kadrun masuk Istana. Jokowi pasti memahaminya. Yang paham tentang pemikiran Jokowi akan paham tentang strategi. Tentang politik. Soal menyesuaikan kepentingan lingkaran – yang pada akhirnya Jokowi sendiri yang memutuskan.

Jokowi bukan orang yang bisa disetir oleh apapun dan siapa pun. Soal tekanan Budi Arie? Lah itu sama dengan soal Kerajaan Agung Sejagad Purworeja. Hanya hiburan. Kenapa?

Karena Jokowi sangat memahami konsep ‘l’etat c’est moi dan ‘la grace de Dieu’ Raja Loius XIV hingga keputusannya penuh perhitungan. Dan, orang-orang di sekelilingnya. Seperti BIN, misalnya.

Ninoy Karundeng, penulis.

***