Tempo Selalu Kritis pada Jokowi dan Buzzernya?

Menjadi pendengung perlu kecerdasan bukangrusa grusu dan "keukeuh" membela pemimpinnya. Mereka harus mampu membuktikan bahwa buzzer tidaklah seburuk yang Tempo gambarkan

Selasa, 8 Oktober 2019 | 06:26 WIB
0
655
Tempo Selalu Kritis pada Jokowi dan Buzzernya?
Ilustrasi buzzer (Foto: Mojok.co)

Ninoy Karundeng yang mengaku relawan Jokowi Apps baru-baru ini bikin heboh. Ia diculik sejumlah orang dan dihajar sampai bonyok. Sebuah  video yang viral memperlihatkan gaya interogasi mirip ISIS.

Kalau saya menjadi Ninoy ngeri juga diinterogasi sebegitu rupa. Salah satu alasannya karena Ninoy sering menulis keras terhadap lawan-lawan Jokowi yang begitu gencar nyinyir dan memperlakukan presiden layaknya pesakitan. Bahkan Jokowi dituduh musuh Islam terutama oleh para ulama garis keras yang lebih condong khilafah.

Tuduhan demi tuduhan dilontarkan kepada Jokowi, bahkan  muncul fitnah bahwa Jokowi keturunan PKI, Jokowi bukan anak kandung karena sebetulnya Jokowi itu keturunan China. Serangan demi serangan terus terjadi dan itu dilakukan oleh orang yang mengaku menguasai ilmu agama.

Buzzer, Persoalan buat Tempo?

Para “buzzer”, menurut penulis sebetulnya hanya mendudukkan persoalan pada data-data faktual bukan berdasarkan katanya, menurut media ini itu dan karena gencarnya para buzzer itu media arus utama, geram, terutama Tempo yang konsisten menulis tentang politik, berbagai isu-isu sensitif menyangkut negara dan bangsa.

Terus terang, saya selalu membaca topik hangat yang diangkat Tempo. Tentang buzzer atau istilah bahasa Indonesianya pendengung yang selalu mendengungkan tentang rekam jejak Jokowi, berbagai prestasi yang diperoleh Jokowi rasanya selalu mendapat kritik tajam. Tempo salah satu majalah yang agaknya selalu menempatkan Jokowi sebagai pemimpin yang menjadi target kritiknya.

Entah rasanya Investigasi Tempo selalu tajam dan bagi pemuja Jokowi tentu sangat resah dengan tulisan- tulisan Tempo. Apakah reaksi saya. Saya masih percaya pada Presiden Jokowi. Bisa merasakan betapa berat memimpin Indonesia yang multiras, banyak suku dan berbagai karakter manusianya yang cenderung sangat reaktif.

Dalam jurnalistik investigatifnya saya kira Tempo selalu mencari narasumber yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.  Pemerintah dinilai tidak berdaya menghadapi lobi–lobi politik, gerilya para politisi dan cenderung membela kepentingan “tertentu”.

Tempo selalu kritis dan sangat obyektif menilai perkembangan politik. Tetapi dari beberapa paparan tampaknya Tempo menempatkan Jokowi sebagai sasaran tembak kritik jurnalistik investigatif. Tempo tinggal satu-satunya majalah yang masih eksis yang menulis tentang politik. Majalah lainnya seperti menghilang ditelan waktu.

Mungkin saatnya media arus utama atau media mainstream merenung, apa yang menjadi kelemahan mereka. Isu isu di media digitalyang ditulis  netizen, para buzzer lebih seru daripada tulisan dari wartawan resmi media arus utama. Para buzzer amat berani menulis dan tidak peduli pada aturan kode etik jurnalistik.

Kadangkala tulisan para buzzer lebih banyak ditunggu daripada wartawan yang menampilkan tulisan yang harus diuji dulu oleh dewan redaksi agar bisa meningkatkan kenyamanan dari pembaca yang lebih dewasa.

Buzzer tentu saja tidak perlu menunggu lama. Dari menit ke menit jika ada isu yang perlu ditanggapi dan para buzzer menulis dalam bentuk opini ditambah fakta- fakta yang dicomot sebagian dari media arus utama, lainnya dari informan dan dari sumber-sumber yang entah darimana datangnya.  Bentuk tulisan bebas di platform blog, dengan gaya khas masing masing.

Mereka yang menulis politik tahu resiko jika menulis politik dan kebetulan banyak pembaca lebih suka membaca isu–isu sensitif dunia politik maka tulisan tulisan yang panas dan nyamleng dunia politik itu amat ditunggu pembacanya.

Kecepatan Informasi membuat Tempo Kedodoran

 Kalau menunggu karya wartawan perlu bersabar dulu, dan butuh waktu agar tulisan bukan hanya sekedar tulisan sampah tidak bermakna, tetapi sarat dengan pesan moral dan pesan cepat bagi penulis. Buzzer mungkin mempunyai informan terpercaya sehingga isu- isu ramai perlu dipelajari dengan seksama.

Tetapi kini buzzer bukan tanpa resiko. Tulisan-tulisan buzzer  amat berani  dan  lugas. Hal itulah yang membuat milenial, pengguna gadget, sangat suka dengan gaya menulis yang tidak formal.

Kegelisahan wartawan wajar karena ia mesti memenuhi target penulisan. Pasti sudah ada deadline, sedangkan para buzzer sudah senang jika tulisannya trending topik atau mendapat apresiasi dari netizen.

Tampaknya perspektif Tempo lebih mengarah bahwa buzzer itu hanya berasal dari pihak Jokowi. Sedangkan buzzer nyatanya bukan hanya orang- orangnya pemerintah atau dalam hal ini Jokowi, bisa saja dari lawan Jokowi yang terus menyerang dengan berbagai cara untuk menjatuhkan kredibilitas presiden terpilih.

Mula-mula sasaran demo tidak fokus pada pelengseran presiden tetapi mosi tidak percaya pada wakil rakyat baik yang ada di Senayan maupun daerah. Buzzer atau barisan para pendengung pembela Jokowi berdalih media banyak berpihak dan saat ini misalnya Tempo lebih subyektif menyerang rekam jejak Jokowi bukan mengapresiasi kerja yang selama ini sudah dilakukan meskipun belum maksimal.

Penulis sendiri suka Jokowi tetapi bukan berarti lantas fanatik dan mengiyakan apapun keputusan Jokowi. Seorang penggemar yang baik tidak perlu fanatik mendukung habis-habisan. Kalau ada tulisan kritis harus dicerna dengan baik, direnungkan dan jika tidak sesuai fakta ya harus dijawab dengan tulisan.

Penulis masih melihat wajar kritikan Tempo tetapi ada beberapa point yang kurang setuju, terutama ketika Tempo tampaknya hanya mencari nara sumber yang kritis dan pedas saat bicara tentang Jokowi dan pemerintahannya. Memang gaya Tempo seperti itu selalu berseberangan dengan penguasa sejak zaman dahulu.

Tempo sering mendapat serangan, ancaman breidel, ancaman somasi, dan digruduk massa. Nyatanya sampai sekarang Tempo masih bisa hadir di hadapan pembacanya.

Tempo Tetaplah Tempo yang Kritis dan Cenderung Selalu Kritis Pemerintah

Jika Tempo tetap bertahan gaya Tempo harus tetap dipertahankan tetapi boleh dong sesekali obyektif dalam menilai rekam jejak pemerintah. Bagi penulis tulisan Tempo tetap menjadi penyeimbang dari serbuan opini yang membanjir di media sosial. Perlu pikiran yang tenang untuk mencerna narasi dari Tempo.

Kepada buzzer terus saja menulis sejauh obyektif dalam mendudukkan perkara bukan cinta membabi buta terhadap sosok yang dikaguminya. Sebab di negara yang masih mencari bentuk demokrasi yang pas untuk semua masyarakat, hal–hal sensitif mudah terjadi. Pemimpinnya sudah visioner dan berpikir ke depan tetapi birokrasinya masih produk lama yang mesti mengalamo desrupsi.

Masyarakat sendiri masih mudah termakan isu maka beban berat pemimpin dalam memanggul masalah yang tidak mudah dipecahkan. Semoga Jokowi kuat dan tidak goyah oleh rayuan para petualang politik yang hendak menghilangkan jejak buruk masa lalunya dengan cara menjadi penjilat, masuk partai sebagai kendaraan untuk saling tikung agar mampu finish paling depan. Sebab pemenang kontes politik hanya satu titik pusatnya.

Jika sudah menjadi pemimpin bukan berarti nyaman tetapi seberapapun baiknya dia akan lebih banyak musuh yang mencari kelengahannya untuk ditelikung, dijebak dan dibuat tidak berdaya. Itulah realitas politik.

Menjadi pendengung itu perlu kecerdasan bukan mereka yang grusa grusu dan keukeuh membela pemimpinnya. Mereka harus mampu membuktikan bahwa buzzer tidaklah seburuk yang Tempo gambarkan dalam majalahnya.

Salam damai selalu.

***