Para Jelata dan Wakil yang Jumawa

membiarkan mereka berbuat seenaknya, dengan bersikap a politis atau golput, sama dengan mengumbar kambing di padang rumput.

Selasa, 17 September 2019 | 07:11 WIB
0
297
Para Jelata dan Wakil yang Jumawa
Ilustrasi DPR (Foto: Kerincitime.co.id)

Apakah wakil rakyat mewakili rakyat? Belum tentu. Begitu mendapat suara, dan kursi didapat, lupa segalanya. Apalagi kewajibannya.

Seperti dikatakan Stalin, “Orang-orang yang memberikan vote (suara) tidak menentukan hasil pemilu. Namun orang-orang yang menghitung vote itulah yang menentukan hasil pemilu.” Sementara dalil politik selalu tetap, "Politik menentukan siapa yang akan memiliki kekuasaan, bukan memiliki kebenaran.”

Sistem politik kita sama sekali tak menghubungkan antara rakyat dengan wakilnya. Kepentingan rakyat dan kepentingan wakil, dua hal yang berbeda. Bahkan bisa berlawanan. Seperti kasus penetapan Capim KPK oleh Komisi III DPR belum lama lalu.

Para penggiat anti korupsi menentang salah satu nama kandidat bahkan internal KPK menyebutnya melakukan pelanggaran berat etik. Tapi justeru itulah yang mendapat suara terbanyak dari DPR, dan ditetapkan sebagai Ketua KPK.

Di mana peranan Presiden? Sebetulnya Presiden bisa menolak hasil seleksi yang dilakukan Pansel yang dibentuknya. Tapi atas dasar apa penolakan dilakukan, jika Pansel telah melakukan pekerjaan sesuai prosedur dan ketetapan? Bukankah Pansel juga bekerja di area publik, terbuka dan bisa dikontrol? Lagi pula, jika pun hasil pekerjaan Pansel bisa diintervensi Presiden, lagi-lagi, bukankah DPR yang memilih dan menentukan ketua KPK?

Pada sisi itu, sistem dan mekanisme penentuan Capim KPK akan selalu bermasalah. Sekali pun dibentuk Pansel paling sahih, dengan seribu calon, untuk mendapatkan 10 terseleksi. Kenapa? Karena subjektivitas yang menonjol. Masing-masing calon selalu secara politis membawa pendukung, dan mengundang dukungan di belakangnya.

Atas reputasi kandidat, kemudian perlahan berubah menjadi kepentingan politik yang dengan mudah bertabrakan kepentingan masing-masing.

Semua itu terjadi ketika kita tidak punya standar operasional yang baku. Apalagi sahih atau kredibel. Kita tak mudah percaya pada lembaga, karena tak ada lembaga (negara sekali pun) yang memenuhi standar of quality. Apakah standar kualifikasinya lemah? Belum tentu juga. Karena bisa jadi espektasi pada calon dukungan terlalu tinggi, hingga tidak siap menghadapi risiko demokrasi atau kompetisi.

Sebagaimana kita juga menyangsikan kinerja Parlemen. Meski pun tidak gampang juga menyebut siapa yang dinamakan rakyat. Apakah sekolompok WP (Wadah Pegawai) di KPK, juga para elite KPK, mewakili rakyat? Atau mewakili kepentingannya sendiri? Sama persis dengan apakah kepentingan anggota Komisi III DPR-RI, dalam memilih capim KPK itu mewakili rakyat atau mewakili kepentingan dirinya?

Sampai kapan hal seperti ini berulang? Sampai ketika rakyat bukan hanya cerdas, tetapi aktif menyuarakan kecerdasannya. Kita tak bisa apa-apa mengandalkan Presiden. Apalagi jika sistem pemerintahannya presidensial tapi rasa parlementer. Karena sumber masalahnya memang di Parlemen, lebih tepatnya lagi di Partai Politik.

As soon as we abandon our own reason, and are content to rely upon authority, there is no end to our troubles, seperti ujar Bertrand Russel dalam An Outline of Intellectual Rubbish.

Begitu kita mengabaikan alasan kita sendiri, dan puas mengandalkan otoritas, tidak ada akhir bagi masalah kita. Karena suatu bangsa domba akan melahirkan pemerintahan serigala. Seperti dikatakan Napoleon Bonaparte, “Dalam politik, kebodohan itu bukan suatu penghambat.”

Jika rakyat mau terus ditipa-tipu partai, akan begini terus jadinya. Tapi membiarkan mereka berbuat seenaknya, dengan bersikap a politis atau golput, sama dengan mengumbar kambing di padang rumput. Karena pejabat yang jelek, ujar George Jean Nathan, dipilih oleh warga negara yang baik yang tidak ikut pemilihan umum. Kita nunggu lima tahun lagi!

Dan tetap tak punya tiket untuk mosi tidak percaya!

***