Model Celana Cingkrang

Karena tak sudi, buku Frans Magnis Suseno pun di-sweeping juga. Tak peduli buku itu merupakan kritik keras pada pemikiran Marxisme.

Kamis, 8 Agustus 2019 | 19:36 WIB
0
518
Model Celana Cingkrang
Ilustrasi celana cingkrang (Foto: ala-nu.com)

Apakah celana cingkrang simbol Islam? Atau tanda kemusliman seseorang? Apakah juga jenggot simbol pengikut Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wassallam? Kalau iya, kenapa jenggot Karl Marx dan juga Lenin menakutkan Brigade Muslim Indonesia?

Itulah yang dinamakan claim, sering tak konsisten. Hanya ngambil yang menguntungkan. Banyak ayat dikutip, tapi yang menguntungkan posisinya. Ayat yang menyiratkan ‘syarat dan ketentuan berlaku’, disingkirkan. Contoh surat al Hujurat dan Al Maidah, hanya dicomot yang membenarkan tindakan diskriminatif itu. Yang nahi munkar lebih ditonjolkan, yang ammar ma’ruf tidak didahulukan.

Saya sih suka melihat kekonyolan dan wts-nya orang-orang ini. Bukan wts wanita tuna susila, melainkan waton sulaya. Asbun alias asal njeplak. Persis Rocky Gerung dan Fadli Zon. Menurut para perawi hadis, celana cingkrang adalah semacam gerakan sosial Kanjeng Nabi. Sebagai protes atau pembeda pada kaum borjuis, yang berpakaian grombyong-grombyong sampai nyapu lantai. Celana cingkrang simbol perlawanan pada kaum sombong itu.

Baca Juga: Literasi Rendah, Sampul Buku Tokoh Komunis Dijadikan Alasan Razia

Sekarang, setidaknya di Indonesia yang bukan padang pasir, bagaimana bisa menjadi kesombongan baru? Secara psiko-sosial, exhibisionisme semacam itu, lebih menunjukan inferiority-complex. Problem rendah diri (ingat, rendah diri beda dengan rendah hati). Karena apa? Karena banyak hal. Tapi biasanya yang bodoh dan kalahan lebih sering ngamukan.

Sering kita jadi korban komodifikasi (dari transformasi barang, jasa, atau gagasan menjadi komoditas atau objek dagang). Tidak perlu ngerti sejarahnya, tetapi ia menjadi simbol perubahan identitas. Dari musik, fashion, makanan dan minuman, bahkan agama dan ideologi, dipadu-padankan menjadi simbol status dan life style (gaya hidup) baru. Terus ngehina-hina yang berkebaya, dan yang merayakan kemenangan dengan wayang-kulit.

Simbol-simbol agama, pada satu sisi bisa memunculkan ketakutan. Tapi pada sisi lain menjadi jebakan batman bagi agama itu sendiri.

Bagaimana formalisme justeru perlahan tapi pasti menggerus masa depan agama. Siapa berani menjamin kelak agama masih terus berjaya, atau justeru ditinggalkan karena makin tak relevan?

Bayangkanlah, jika kepala kambing pun harus diberi jilbab, hanya untuk mengatakan qurban tidaklah wajib! Ya, Rabbani, semoga yang mentransfer kelebihan duit ke kaum duafa adalah juga bentuk merayakan qurban pula.

Memang legitimasi yang paling menakutkan adalah agama. Meskipun doktrin Marxisme dan Leninisme bisa begitu menakutkan Brigade Muslim Indonesia. Tak peduli adanya pengakuan bahwa konsep marxisme, yang juga dipelajari para founding-fathers kita, dianggap lebih dekat ke konsep-konsep social movement Muhammad.

Itu kalau mereka sudi membaca. Karena tak sudi, buku Frans Magnis Suseno pun di-sweeping juga. Tak peduli buku itu merupakan kritik keras pada pemikiran Marxisme. Bodo mah, bebas. Kayak dicontohkan idola mereka, kalah dalam percaturan politik, tapi terus saja baperan.

***