"Hantu" di Balik Kempanye Akbar

Padahal kalau berpolitik dengan beragama harusnya bisa menghasilkan sesuatu yang memberikan keselamatan dan kemaslahatan bagi Ummat.

Senin, 8 April 2019 | 23:00 WIB
0
416
"Hantu" di Balik Kempanye Akbar
Foto : Tribunews.com

Tumpah ruah pendukung Prabowo-Sandi, dalam Kampanye Akbar di Gelora Bung Karno, Minggu, 7 April 2019, membuat Kampanye Prabowo-Sandi benar-benar Akbar. Apakah Kampanye tersebut merupakan 'Grand Design' dari sebuah perhelatan acara keagamaan, sehingga nuansa yang muncul bukanlah Kampanye politik.

Acara yang dimulai dengan sholat subuh berjama'ah, dilanjutkan dengan bershalawat, juga bermunajat kepada Allah. Secara penggalangan Massa, acara ini terbilang sukses, karena memang pendekatannya lebih kepada acara keagamaan, bukanlah Kampanye politik semata.

Memang sangat luar biasa, karena yang datang dalam acara ini banyaknya menyamai acara-acara yang biasa dilakukan oleh Alumni 212. Sejak tengah malam para pendukung Prabowo-Sandi sudah berada disekitar GBK, bahkan ada yang sampai menginap di Hotel yang terdekat dengan GBK.

Seluruh pendukung Prabowo-Sandi yang hadir di GBK diwajibkan menggunakan warna putih, sesuai dengan anjuran Habib Riziek Shihab untuk memutihkan GBK. Pemilihan warna ini pun tentunya bagian dari Rencana Besar tersebut, tak pelak lagi Mantan Presiden SBY yang juga merupakan bagian dari Koalisi Adil Makmur, melayangkan protesnya lewat surat.

Apa yang mendasari SBY protes, sampai-sampai perlu menuliskan surat secara resmi, kepada para petinggi partainya satu hari sebelum Kampanye Akbar, karena posisi beliau saat ini masih mendampingi perawatan Bu Ani Yudhoyono di Singapura. Isi surat SBY kurang lebih, menganggap Kampanye Akbar tersebut sebagai sesuatu yang tidak lazim.

Tidak lazim yang beliau maksud adalah, Kampanye tersebut terkesan eksklusif, tidak inklusif, terlalu kuat identitas keagamaannya, sehingga memberikan kesan memecah belah antara pro khilafah dan pro Pancasila, dibangun polarisasi seperti itu, SBY justeru khawatir jika bangsa kita nantinya benar-benar terbelah dalam dua kubu yang akan berhadapan dan bermusuhan selamanya.

Sangat kuat intuisi SBY dalam mencium sesuatu yang terkemas tapi dalam Kampanye tersebut.

Grand Design yang terkemas dalam Kampanye tersebut mungkin tidak terlalu dirasakan oleh sebagian besar Tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, bahkan mungkin Prabowo-Sandi sendiri tidak terlalu peduli dengan kemasan tersebut. Grand Design inilah saya debut sebagai "Hantu," karena bergerak dalam senyap.

Tidak bisa dielakkan, kesan yang muncul kepermukaan adalah semacam Kampanye gerakan pendukung khilafah, dan itu bukan cuma satu dua orang yang menangkap kesan seperti itu. Pembicaraan yang berkembang di media sosial pun demikian.

Dikotomi Pancasila dan khilafah, semakin mengemuka pada akhirnya. Padahal secara terang-terangan, Prabowo sendiri sangat menolak dikaitkan dengan pendukung khilafah, dan bahkan mengaku sangat Nasionalis, apa lagi sebagian besar keluarganya beragama nasrani, tapi secara nyata HTI dan sekutunya itu ada dalam gerbong Prabowo-Sandi.

Yang memberikan nuansa terkuat Kampanye tersebut dikaitkan kelompok pro khilafah adalah, dominannya atribut Ormas ketimbang atribut partai, lebih-lebih kostum yang bernuansa Islami yang dikenakan para pendukung, memang lebih memberikan nuansa keagamaan ketimbang Kampanye politik.

Untuk sebuah Show of Force, Kampanye Akbar tersebut memang mempunyai daya tarik yang Luar biasa, sehingga bisa menghimpun massa yang begitu banyak. Tapi kalau tidak di enounce hal-hal yang berbau keagamaan, belum tentu juga bisa mengumpulkan Massa begitu banyak. Dari beberapa perhelatan yang biasa dilakukan alumni 212, selalu mengundang daya tarik Massa yang luar biasa.

Kesuksesan mengumpulkan massa dalam jumlah banyak itulah yang dipraktikkan pada Kampanye Akbar tersebut, meskipun pada akhirnya Kampanye Akbar Prabowo-Sandi kehilangan substansinya.

Sebagian besar penganut Islam di Indonesia sangat konservatif, sehingga setiap perhelatan keagamaan, apa pun caranya mereka pasti akan datangi. Persoalannya, kondisi ini dimanfaatkan oleh orang-orang politik, baik politisi, maupun Ulama yang berpolitik, untuk memenuhi kepentingan politiknya.

Saya jadi ingat pesan Ibnu Rusyid, seorang cendikia & ilmuwan muslim yang lahir di Andalusia Spanyol tahun 1128 M, yang mengatakan begini:

“Jika ingin menguasai orang bodoh, bungkus yang batil dengan agama.”

Atas dasar fakta yang belakangan memang sedang menimpa di banyak negara, pesan ini seperti keras menampar dan menusuk.

Negara-negara yang sejak dahulu dikenal sebagai barometer kemajuan peradaban Islam sperti Irak, Suriah, Libya, Yaman dan lainnya, kini menjadi negara yang sedang dalam masa kehancuran bahkan masuk dalam katagori negara gagal, karena konflik yang tak berkesudahan.

Nyawa sudah tidak ada harganya oleh konflik berbungkus agama padahal sebenarnya berebut kuasa.

Di Indonesia, memang tak setragis itu, tapi dimana-dimana sudah bertebaran tanda akan upaya-upaya licik demi memuluskan kepentingan ingin berkuasa lalu dibungkusnya dengan embel-embel agama. Sungguh, bila ini dibiarkan bukan tidak mungkin Indonesia akan senasib dengan mereka.

Itulah yang menyebabkan agama begitu seeing dimanfaatkan dalam politik, padahal kalau berpolitik dengan beragama harusnya bisa menghasilkan sesuatu yang memberikan keselamatan dan kemaslahatan bagi Ummat, tapi ketika agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik, maka tunggulah kehancuran suatu bangsa.

***