Jangan biarkan Indonesia menjadi kerdil karena tidak berhasil melihat kegagalan sebagai cambuk bagi kemajuan bangsa di masa mendatang.
Sempat terpikir oleh saya apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu memberikan pengarahan atau pembekalan khusus bagi kontestan pemilu. Pikiran ini muncul saat melihat data peningkatan penghuni rumah sakit jiwa setelah berlangsungnya pemilu karena caleg yang gagal meraih kemenangan suara dalam kontes 5 tahunan tersebut tidak dapat menghadapi kenyataan.
Peningkatan penghuni rumah sakit jiwa kerap terlihat setelah berlangsungnya pemilu dan jumlahnya dapat mencapai ratusan hingga ribuan di seluruh Indonesia. Pada Pileg 2009, misalnya, Kementerian Kesehatan mencatat angka lebih dari 7.500 caleg gila di seluruh Indonesia. Lalu, apakah masalah ini juga terjadi dalam Pilpres?
Saya sempat terhenyak ketika mendengar kisah dari seorang psikiater senior di Jakarta yang mendapatkan bocoran dari salah satu anggota tim dokter pemeriksa kesehatan rohani atau mental pada salah satu capres dalam Pilpres 2014.
"Terindikasi impulsif," jelas psikiater yang tidak ingin menyebut capres yang dimaksudnya itu. Saya juga sengaja tidak menyampaikan identitas psikiater senior yang secara pribadi meminta saya agar tidak membawa obrolan itu ke ranah publik.
Saya sempat mempertanyakan kenapa capres dan cawapres pada Pilpres 2014 semuanya dinyatakan lolos tes kesehatan saat itu. Psikiater ini justru balik bertanya ke saya soal sejauh mana KPU menetapkan kriteria dari kesehatan mental yang wajib dimiliki capres maupun cawapres.
"Yang pasti... kalau sampai capres atau cawapres dinyatakan pikun maka mereka dinyatakan tidak lolos. Setahu saya seperti itu....," jelas psikiater ini tanpa dapat menguraikan kriteria lain ke saya.
Saya berpikir jauh bahwa edukasi kesehatan dan kesiapan mental ini juga perlu diketahui oleh para pendukung antar kubu capres, siapapun capresnya, sehingga mereka tidak mudah terpancing emosi oleh opini yang menyesatkan dan rawan menggiring bangsa ke dalam perpecahan. Kecenderungan perpecahan ini jelas marak terlihat di forum sosial media jauh sebelum pilpres dilaksanakan ataupun sesudahnya.
Terpikir oleh saya untuk menyuarakan agar KPU pada masa prapemilu mendatang berperan aktif lewat kerjasama dengan Ikatan Psikiater maupun Psikolog Indonesia.
Kerjasama ini sangat penting di antaranya dalam pembekalan pengendalian diri bagi para caleg hingga capres tentang pentingnya kesiapan mental, tidak hanya menghadapi kesuksesan, tetapi juga kegagalan.
Patriotisme sebagai wujud sikap dan semangat mencintai tanah air dengan mengedepankan persatuan bangsa tidak seharusnya tercoreng oleh sikap negatif akibat kalah dalam kontes pemilu.
Timbulnya sikap reaktif yang kemungkinan besar terjadi pada mereka yang kalah dalam pemilu dapat diatasi oleh pengendalian diri mereka sendiri tanpa perlu memakan waktu berkepanjangan serta merugikan pihak lain.
Dengan demikian, mereka yang kalah pemilu, baik caleg, capres hingga pendukungnya tidak perlu stress berlebihan, berkutat dalam kekecewan berkepanjangan, atau bahkan sampai menghuni rumah sakit jiwa.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menerima kesuksesan berikut kegagalan sebagai suatu lompatan besar ke depan. Belajar melihat kemajuan negara tidak hanya dibutuhkan kerendahan hati dalam menghargai lawan politik tetapi juga mengakui seutuhnya bahwa proses demokrasi Indonesia membutuhkan kedewasaan berpikir untuk kepentingan segenap bangsa.
Jangan biarkan Indonesia menjadi kerdil karena tidak berhasil melihat kegagalan sebagai cambuk bagi kemajuan bangsa di masa mendatang.
Jimmy Hitipeuw, dosen Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Universitas Indonesia dan mantan wartawan
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews