Prabowo Memperalat Aksi 212?

Senin, 7 Januari 2019 | 16:14 WIB
0
388
Prabowo Memperalat Aksi 212?
Prabowo di PA 212 (Foto: Gelora.co)

Nampaknya, aksi berjilid-jilid sejak 2016 lalu belum jua usai, meski sudah dua tahun berselang. Aksi "jihad" itu, diperkuat dengan agenda reunian yang diikuti hampir 8 juta orang bahkan diklaim tembus 11 juta. Secara nalar naratif, rasanya sulit menyangkal bahwa ada agenda di balik agenda aksi-aksi yang memantik kesadaran sektarian ini, wabil khusus sentimentil keagamaan.

Kalaupun disangkal bahwa aksi 212, 411 hingga reunian kemarin tidak punya irisan politik, justru akan semakin janggal logikanya sebab jelas-jelas kegiatan tersebut menghadirkan tokoh yang tengah berkontestasi yaitu Prabowo Subianto.

Tak cuma itu, dalam sambutan Prabowo di tengah "mujahidin" 212, kata-kata Prabowo pun diarahkan secara implisit untuk berkampanye, seperti; "saya tidak akan panjang-panjang bicara karena sebagaimana kalian ketahui, saya sekarang telah mendapat tugas dan amanah sebagai calon presiden RI dan karena itu saya harus patuh dan mengikuti semua ketentuan, saya tidak boleh bicara politik pada kesempatan ini, saya tidak boleh kampanye, jadi saya hanya ingin mengucapkan terimakasih karena saya diundang oleh panitia."

Kalau kita gunakan logika terbalik, ya kalimat panjang Prabowo adalah kampanye. Menegaskan bahwa dia merupakan "capres RI" di hadapan jutaan peserta 212, tentu saja sebuah pesan kampanye. Tapi, bukan itu yang saya anggap penting, melainkan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar sambutan di depan panggung. Apa itu? Pencarian kekuasaan. Sejatinya, Prabowo tengah menguatkan salah satu variabel pencarian kekuasaan yang kini memang lagi condong pada dirinya.

Ada tiga variabel yang dimanfaatkan Prabowo dalam mencari kekuasaan:

Pertama, simbolis. Variabel ini harus dugunakan untuk "mengikat" perhatian publik agar fokus pada pesan-pesan politik yang ingin disampaikan.

Nah, dalam kasus ini, perjuangan 212 yang sudah mengantar Anies Baswedan ke kursi DKI 1, tentu akan terus terngiang dalam ingatan jutaan umat yang hadir di Monas dan akan dengan mudah dimanfaatkan oleh Prabowo sebagai alat politiknya.

Kehadiran Prabowo dalam reuni 212, sekalipun tanpa diberi panggung sambutan maupun peliputan media, sudah tentu akan diketahui oleh peserta reuni bahwa Prabowo adalah capres. Dan ketika ia diberi panggung bicara, maka itu kian mengukuhkan dirinya di hadapan para peserta. Setidaknya, koorientasi politik Prabowo sudah mulai terbangun saat itu.

Kedua, material. Jujur saja, kalau dilihat dari harta yang dimiliki Prabowo saat ini, maka angka 1,9 triliun bukanlah angka sedikit. Bahkan ini berbanding jauh dengan harta Jokowi yang hanya sebesar 50 miliar.

Kalau begitu kita harus bertanya, mengapa Prabowo menggaet Sandi Uno? Tentu saja, ia sudah berhitung bahwa ia akan rugi kalau menggunakan harta sendiri dalam pertarungan yang propabilitas kemenangannya kecil. 

Untuk itu, Sandi diajak agar bisa menopang anggaran kampanye, sekaligus memberi panggung bagi Sandi menuju momentum alih generasi 2024 mendatang. Bisa dikatakan, ini semcam kontestasi untung-untungan buat Prabowo alias kalau menang ya syukur, kalau kalah ya tidak rugi.

Ketiga, prosedural. Ini juga unik jika melihat pencalonan Prabowo. Secara prosedural memang sudah tepat, ia diusung gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat. Namun capres dan ketua BPN berasal dari Gerindra. Tentu saja kita patut curiga, mengapa separtai semua? Ini untuk mempermudah konsolidasi dan pengambilan keputusan internal Gerindra meski dibebani kepentingan koalisi.

Dari tiga cara di atas, variabel pertama nampaknya begitu dioptimalkan Prabowo sebagai alat perebutan kekuasaan dalam kontestasi pilpres kali ini. Setidaknya, dengan memanfaatkan gerakan 212, Prabowo dan tim sebenarnya ingin menyasar beberapa hal;

Pertamabargaining position Gerindra. Aksi 212 yang diikuti Prabowo sebenarnya digunakan sebagai alat barter kekuasaan. Semakin solid suara peserta 212, maka semakin kuat posisi tawar Gerindra di mata petahana. 

Setidaknya, dapat menjadi alat paksa agar Jokowi mau kompromi dengan Gerindra, seperti memberikan jatah kursi menteri jika Jokowi ingin menang tanpa tantangan berarti. Saya mencurigai ini dari pertemuan Luhut dan Prabowo beberapa waktu lalu, yang kata "kabar burung" telah terjadi kesepakatan.

Kedua, insentif elektoral dalam pileg dengan memperbanyak kursi di DPR RI. Harus diakui bahwa aksi 212 tidak memberikan insentif elektoral berarti bagi koalisi PAN, Demokrat, dan PKS yang mengusung Prabowo, tapi sebaliknya secara hitung-hitungan politik, malah membuka peluang besar bagi raupan insentif elektoral Gerindra. Mengapa? Sebab bicara capres-cawapres 02, ya bicara Gerindra, bukan yang lain.

Ketiga, Gerindra ingin memanfaatkan momentum saat ini untuk merebut kuasa pada 2024 mendatang. Kenapa? Sebab memang pertarungan saat ini amatlah sulit bagi sang penantang petahana dengan segala kekurangan yang ada. Jadi, ketika kalah, sejatinya Gerindra telah pasang kuda-kuda dari sekarang dengan menampilkan sosok Bang Sandi Uno.

Coba dipikir saja, dari semua pemimpin muda yang digadang-gadang bakal maju dalam kontestasi pilpres 2024 mendatang, seperti Risma, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Ganjar dll, tentu saja hanya Sandi Uno yang sudah siap dengan "tabungan manuver" musim ini.

Pada 2024 nanti, sementara calon kandidat lain masih sulit mencari kendaraan politik dan masih sulit mencari basis massa, justru Gerindra yang digadang-gadang bakal mengantongi 18 persen dukungan kursi di DPR akan dengan mudah menjual Sandi Uno yang sudah siap dengan mencari minimal 2 persen lagi dukungan kursi DPR. 

Terlebih, popularitas dan elektabilitas Sandi Uno saat ini begitu melejit ketimbang calon pemimpin muda lainnya. Kalau sudah begini, meskipun kalah, setidaknya Prabowo sudah punya kader yang siap tanding di masa datang.

Kesimpulannya, tidak ada jamuan gratis dalam politik, tidak ada pertemanan sejati dalam politik, yang ada hanya kepentingan sejati. Sehingga, 212 kini bukan lagi soal bela-membela tauhid melainkan membela kepentingan politik jangka panjang.


***