Lembaga survei Median milik Rico Marbun, mantan Ketua BEM UI periode awal 2000an merilis hasil survei pilpres 2019. Capres-cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mengungguli pasangan Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin di tiga media sosial utama, yaitu twitter, instragram, dan facebook.
Para pendukung Prabowo-Sandiaga bergembira atas hasil ini. Kabar dari Rico Marbun terbitkan kembali harapan yang sudah nyaris tenggelam. Kemenangan di kalangan pengguna medsos dalam survei Median digoreng timses sebagai sebagai kemenangan di kalangan pemilih milenial. Gorengan bahkan menjadi-jadi, memaksakan kesimpulan turunan yang tak berdasar bahwa Prabowo-Sandiaga menang di kalangan pemilih rasional dan berpendidikan.
Berkebalikan dengan timses Prabowo-Sandiaga, para pendukung Joko Widodo-Ma'ruf Amin mencibir hasil survei tersebut, menghubungkannya dengan pemilik lembaga survei, Rico Marbun yang diyakini sebagai kader PKS. Selain karena prasangka umum bahwa pada era 2000an awal BEM di kampus-kampus negeri besar dikuasai kader-kader PKS, Rico Marbun juga pernah dimunculkan sebagai caleg DPR RI PKS dalam Pemilu 2009.
Saya tidak ingin masuk ke soal hubungan antara afiliasi politik si pembuat survei dengan hasilnya. Selain itu saya tidak tahu metodologi yang digunakan lembaga survei itu. Kita hanya dapat menilai sebuah survei abal-abal atau bukan hanya jika kita punya akses terhadap metode, dan rangkaian prosesnya (penarikan sample, pengumpulan dan pengolahan data) sebelum ia keluar sebagai informasi yang dipresentasikan ke media massa.
Saya justru ingin membenturkan hasil survei ini dengan riil politik, kenyataan-kenyataan yang dapat kita kenali dengan mata telanjang. Salah satu contohnya adalah hasil Muktamar Pemuda Muhammadiyah yang baru saja usai.
Oleh karena sejumlah tokoh Muhammadiyah seperti Amien Rais sebagai perwakilan kaum tua dan Dahnil Azhar sebagai perwakilan kaum mudanya, masuk akallah prasangka bahwa Muhammadiyah cenderung mendukung Prabowo-Sandiaga.
Jika ditambah pula kesimpulan hasil survei Rico Marbun bahwa generasi milenial yang cenderung melek media sosial itu mendukung Prabowo, maka seharusnya dalam muktamar Pemuda Muhammadiyah kemarin, calon ketua umum yang didukung Dahnil Azhar meraih suara mayoritas. Adalah Fanani, 1 dari 6 kandidat Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah yang menurut mantan Ketua Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan mantan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Raja Juli Antoni, diusung dan disokong oleh Dahnil Azhar.
Dalam sudut pandang Raja Juli Antoni--saya setuju dengannya--suara peserta muktamar bagi Fanani adalah juga bentuk dukungan terhadap sikap politik Fanani dan patronnya, Dahnil Azhar, yaitu mendukung Prabowo-Sandiaga.
Nyatanya riil politik di kalangan milenial Muhammadiyah, ormas yang paling diduga mendukung Prabowo-Sandiaga itu berbicara lain.
Justru Sunanto yang terpilih dengan suara jauh melampaui kandidat lainnya. Ketua Hikmah dan Hubungan Antar Lembaga PP Pemuda Muhammadiyah periode 2014-2018 ini memperoleh 590 suara, jauh di atas Ahmad Fanani yang hanya meraih 266 suara.
Fanani bahkan kalah dari calon lainnya, Ahmad Labib, peraih suara terbanyak kedua, 292 suara. Sementara 3 kandidat lain mendapat suara sangat sedikit.
Dalam format persen, hanya 23 persen Pemuda Muhammadiyah yang mendukung Fanani--yang dari cara pandang Raja Juli berarti pula mendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno--sementara 77 persen lainnya menolak. Jumlah yang menolak ini bisa diduga terbagi antara yang mendukung capres petahana Joko Widodo dan yang bersikap netral atau belum memutuskan pilihannya.
Menurut Raja Juli Antoni, kemenangan Cak Nanto--sapaan Sunanto--adalah kemenangan 'kubu kultural' di Muhammadiyah yang berusaha menjaga Muhammadiyah tetap pada khitahnya sebagai gerakan dakwah. "Kubu Kultural" hendak menjaga jarak dengan parpol dan para politisi, tidak ingin Pemuda Muhammadiyah menjadi alat tunggangan kepentingan politik praktis. Raja Juli juga yakin kemenangan Sunanto juga bentuk hukuman generasi milenial Muhammadiyah terhadap sepak terjang politik Dahnil Azhar.
Saya kira kesimpulan Raja Juli tidak berlebihan. Menangnya Sunanto tidak terlepas dari tema utama kampanyenya, yaitu mempertahankan khitah Muhammadiyah dalam organisasi kepemudayaannya, menyelamatkan Pemuda Muhammadiyah dari eksploitasi kepentingan politik praktis.
Riil politik dalam muktamar Pemuda Muhammadiyah ini mengonfirmasi sikap politik Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dalam peristiwa lain tak lama sebelumnya.
IMM menentang sikap Amien Rais yang mendesak Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir untuk tidak memberikan keleluasaan kepada warga Muhammadiyah memilih sesuai nurani dalam pilpres 2019. Namun jika sikap IMM baru mencerminkan sikap petinggi organisasi, hasil muktamar Pemuda Muhammadiyah menegaskan sikap akar rumputnya sebab muktamar dihadiri oleh perwakilan cabang organisasi berbagai daerah.
Jika kita setuju asumsi Raja Juli Antoni bahwa pemilih Fanani menggambarkan besarnya pendukung Prabowo-Sandiaga di kalangan milenial Muhammadiyah, maka jumlahnya hanya 23 persen. Jika Muhammadiyah saja hanya 23 persen generasi mudanya yang mendukung Prabowo-Sandiaga, maka pertanyaan besar yang perlu dijawab adalah bagaimana bisa hasil survei Median milik Rico Marbun yang diduga kader PKS itu ditarik ke kesimpulan Prabowo-Sandiaga menang di kalangan milenial?
Selain itu korelasi positif antara berpendidikan dan rasional dengan akses terhadap media sosial adalah semata-mata prasangka.
Tidakkah lebih masuk akal untuk menduga justru kalangan rasional lebih banyak menjauhi media sosial sebab isinya kilasan pernyataan sensasional? Bukankah lebih klop jika menduga mereka yang jauh dari media sosial dan sebaliknya lebih banyak mengakses media konvensional adalah mereka yang rasional sebab mengonsumsi konten yang lebih memiliki kedalaman?
Artinya peningkatan elektabilitas Prabowo-Sandiaga di kalangan pengguna media sosial berarti keberhasilan propaganda dangkal yang mengutamakan sensasi dibandingan esensi. Sementara golongan masyarakat rasional yang mengutamakan esensi (masuk akalnya program dibandingkan jargon demagogi) tetap bertahan memilih Jokowi-Ma'ruf Amin.
Saya yakin jika kubu Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin konsisten menghadirkan penjelasan mendalam tentang capaian pembangunan, membantah propaganda sensasional kubu Prabowo-Sandiaga dengan data-data dan penjelasan yang memadai, pada akhirnya kalangan pengguna medsos yang sempat khilaf akan melek fakta juga.
Sumber:
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews