Beberapa waktu yang lalu, gawai saya diramaikan oleh beberapa gambar dan video capres-cawapres yang dikomentari. Dari soal foto capres Jokowi yang menjadi imam salat sampai video cawapres Sandiaga yang mempraktekkan cara berwudu secara singkat. Riuhnya grup di media sosial yang saling "klaim kebenaran" atas masing-masing kandidat ini serasa sangat menggelikan.
Bagaimana tidak, agama dipersepsikan sekadar simbol lalu "dijual" ke khalayak demi memenuhi keuntungan-keuntungan elektoral. Hampir seluruh argumentasi dibangun atas dasar 'kebenaran' agama, dimana seolah-olah tak ada dalil lain yang sanggup meruntuhkan klaim-klaim tersebut, padahal apa yang digambarkan sebenarnya, tak lebih dari upaya 'menelikung' agama itu sendiri.
Dalam kontestasi politik, penelikungan agama kerap terjadi bahkan kadang 'diborgol' dengan alasan pemenuhan kekuasaan. Bagi mereka yang 'merajakan' Jokowi, tentu saja foto-foto dirinya saat menjadi imam salat dipandang tepat, karena dalam Islam, seorang 'imam' tentu saja pemimpin yang layak diikuti seluruh gerakannya layaknya imam dalam salat.
Padahal, setiap ma'mum (pengikut imam dalam salat) tentu saja dibolehkan 'mufarraqah' atau 'keluar dari barisan salat karena alasan-alasan tertentu'. Politik imam salat sebenarnya aneh dalam suatu ajang kontestasi, kecuali ada tujuan-tujuan politis dibelakangnya yang sengaja dibuat pihak-pihak tertentu sebagai bentuk 'klaim' bahwa orang yang mereka dukung jelas diakui kualitas keagamaannya.
Di sisi lain, video yang menggambarkan cara berwudu Sandiaga yang seciprat, dengan hanya menggunakan air seciduk jelas menuai kritik karena Indonesia tentu saja negeri yang tak tentu saja tak pernah kekurangan air apalagi sekadar untuk berwudhu.
Lihat saja betapa banyak musala dan masjid, hampir tak ada yang tak berlimpah air, sehingga jika berwudhu hanya seciduk, tentu saja terasa menggelikan---jika tak mau disebut menyesatkan.
Saya tak perlu membahas kesana-kemari soal dalil-dalil fiqih yang membenarkan soal praktik berwudhu tersebut, namun paling tidak itulah gambaran para calon pemimpin kita yang kerap kali menelikung agama demi sejumput kekuasaan yang dirasakan semakin menggila.
Politik imam salat bagi saya terasa asing, terlebih hal ini disebarluaskan segelintir orang untuk tujuan-tujuan kepentingan kekuasaan. Padahal, masih banyak cara-cara berpolitik yang edukatif yang tak serta merta membawa-bawa simbolisasi agama didalamnya. Alih-alih dapat menaikkan elektabilitas, malah menjadi bahan tertawaan banyak pihak.
Yang lebih menggelikan tentu saja, seolah begitu sakralnya peristiwa ini sehingga dibawa lebih jauh ke ranah yang relatif substansial. Politik imam salat lalu dinilai sebagai bagian dari "syirik khafi" (menuhankan selain Allah dengan cara tersembunyi) yang dalam kajian sufistik terlampau sulit dipahami orang awam.
Namun, inilah wajah kepolitikan kita yang kebanyakan tak dipahami banyak orang, tetapi dengan seenaknya membuat klaim-klaim kebenaran demi keuntungan kekuasaan.
Saya kira, bukan hanya terburu-buru, tetapi juga berlebihan ketika hal remeh-temeh politik ini dikaitkan terlampau jauh melewati kajian sufistik. Sebab, hampir setiap orang tentu saja melakukan "syirik khafi" jika yang dimaksud sekadar mempertontonkan simbolisasi agamanya kepada khalayak.
Bagaimana dengan ceramah para ustadz di televisi, rekaman-rekaman video ulama 'seleb' di laman youtube, atau gambar-gambar siapa saja yang sedang mempraktikkan sisi ritual keagamaannya kehadapan publik? Atau siapa saja yang dengan niat tertentu mempublikasikan seluruh rangkaian kehidupannya sehari-hari di media sosial? Ah, ternyata kita memang semua dalam keadaan "syirik khafi" bukan hanya dia atau mereka.
Bagi saya, terlampau jauh menilai 'syirik' dari hanya melihat sebuah gambar yang bermakna politis, karena hal ini tentu saja terkait dengan persaingan kekuasaan. 'Menelikung' agama lewat publikasi, tentu saja dapat berpengaruh terhadap citra diri seorang kandidat, tak jauh bedanya ketika pihak lain sama-sama menelikung agamanya sendiri.
Namun perlu diketahui, jika soal politik imam salat saja dianggap bagian dari 'syirik', saya malah berpikir bagaimana dengan hadis yang menyebutkan, "Shalluu kamaa raaitumuuni ushallii" (salatlah kalian sebagaimana melihat aku salat). Salat tentu saja praktik ibadah yang diajarkan Nabi melalui visualisasi.
Namun, karena saat ini kita terlampau jauh jaraknya dengan Nabi, maka lihatlah secara visual, bagaimana para ulama salat dan tentu saja para ulama tidak sedang berkonotasi menjadi manusia yang 'syirik khafi' karena salatnya dilihat.
Bagi saya, kualitas salat sangat ditentukan oleh cara berwudhunya, karena sesungguhnya wudhu merupakan syarat utama yang akan menghadirkan kualitas salat menjadi lebih sarat 'nilai'. Tanpa wudhu jelas berimplikasi terhadap tertolaknya salat, bahkan untuk mencapai tingkat kekhusyukan dalam salat, harus diawali melalui cara berwudhu yang baik dan sempurna.
Jika berwudhu saja masih berantakan, maka dipastikan linier dengan kualitas ibadah salatnya yang tentu saja semrawut. Nilai filosofi salat tentu saja dapat diambil dari cara berwudhunya, karena wudhu selain membersihkan kotoran secara zahir (nyata), lebih jauh membersihkan anasir-anasir buruk yang tersisa dalam batin dan pikiran mereka yang akan mendirikan salat.
Jadi, silahkan anda menilai sendiri bagi seorang muslim soal praktik berwudhu yang dilakukan cawapres Sandiaga yang konon pernah dinobatkan sebagai 'ulama' oleh para pendukungnya.
Andapun dapat menilai begitu ramainya publikasi 'politik' imam salat yang dilakukan capres Jokowi lalu dikaitkan dengan kenyataan politisasi agama yang saat ini kian marak. Kedua kubu ini serasa memang telah menelikung agamanya, mempermainkannya, bahkan mengolok-oloknya demi kemenangan kontestasi.
Bagaimana tidak, agama direndahkan sebatas simbol yang dipertontonkan kepada khalayak, lalu dibuatlah 'klaim' kebenaran atasnya dan itulah kenyataan wajah kepolitikan kita belakangan ini. Menggelikan atau bahkan menyesatkan!
Pada tahap tertentu, agama semakin terasa dipermainkan melalui ajakan beberapa pihak untuk memberlakukan tes baca alQuran pada pasangan capres yang sedang berkontestasi.
Agama sudah 'dijatuhkan' oleh kenyataan politik, bahkan dibawa-bawa lebih jauh ke ranahnya, dipaksa mengikutinya bahkan menjadi ukuran kevalidan secara agama dengan hanya melalui serangkaian tes membaca alQuran.
Padahal, sudah sejak dulu, sejak zaman kemerdekaan republik ini, fungsi para pemimpin politik senantiasa berkelindan dengan ulama, saling mengisi dan mengingatkan, karena baik pemimpin politik dan ulama adalah mereka yang disebut 'ulil amri' (para pemangku kepentingan) sebagaimana dimaksud dalam ajaran Islam.
Dalam konteks kepolitikan Sunni, para pemimpin politik disebut sebagai "waliyyul amr adl-dlaruri bi as-syaukah" (pemegang otoritas yang bersifat sementara) yang secara de facto memang telah didukung oleh seluruh masyarakat karena telah sesuai prosedur perundang-undangan yang berlaku.
Jadi, tak perlu terlampau jauh sampai harus mempolitisasi agama atau bahkan menelikung atau menenggelamkannya demi remeh-temeh kepantingan kekuasaan, toh siapapun nanti yang terpilih, agama itu tetap mulia, terhormat, dan tanpa dijadikan 'alat' kepentingan politik ia tetap hidup harmonis ditengah-tengah umat.
Marilah berpikir jernih, bedakan mana yang politik dan mana yang agama, jangan menelikung agama demi kekuasaan dan jangan pula sekadar ingin berkuasa lalu memperalat agama secara membabi buta.
Salam waras!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews