Tentang Prabowo yang Banyak Berubah

Tak ada lagi ekpresi kemarahan, tak ada wajah tegang, mimik bersungut sungut, dan gebrak gebrak meja, atau lempar handphone, seperti dulu. Dia makin semringah.

Senin, 13 Maret 2023 | 09:35 WIB
0
176
Tentang Prabowo yang Banyak Berubah
Prabowo Subianto (Foto: CNBC Indonesia)

Saya pernah menolak Prabowo Subiyanto saat dia tampil sebagai kandidat Presiden RI (2019). Bukan semata mata karena saya mendukung Jokowi – melainkan, masa itu, sosok Prabowo sangat berbahaya bagi Indonesia.  

Kedekatannya dengan kelompok kanan radikal, kemesraannya dengan mantan isteri, Siti Titi Hediyati Suharto - ‘notabene’ clan Cendana - sangat memungkinkan Indonesia kembali ke era rezim Orde Baru, bila dia memenangi pemilihan presiden (PilPres).

Mestinya Anda ingat ketika ketika Prabowo menolak hasil Pilpres, 22 Mei 2019. Ibukota mendadak senyap, suasana kota jadi mencekam, perkantoran segera mempercepat jam kerjanya dan menyuruh karyawan pulang lebih awal. Bayang bayang kengerian Jakarta di kerusuhan 1998 menghantui semua benar anak bangsa, was was dengan segala kemungkinan karena Prabowo marah dan kecewa.

Saya pun kemudian kecewa karena Jokowi mengajaknya masuk Kabinet Kerja. 

Namun sebentar saja, setelah merenungkannya; dengan mempertimbangkan stabilitas negara yang sedang membangun - dalam jangka panjang - saya bisa menerima kehadirannya. Ketimbang semakin rusuh tak jelas. Meruntuhkan polarisasi perbedaan. Merangkul dan memenangi politik tanpa merendahkan sesuai filosowi luhur budaya Jawa; 

"Sugih tanpa banda 

Ngluruk tanpa bala

Menang tanpa ngasorake"

(Kaya tanpa harta

Menyerbu tanpa pasukan

Menang tanpa merendahkan).

Nampaknya Prabowo juga intropeksi. Maju di Pilpres berkali kali dan kandas. Terus menerus kalah – yang tentunya menguras ratusan miliar dana kampanye – dan letih jiwa, capek batin – selain menguras energi fisik – karena harus berkeliling kampanye. Bahkan dia kalah saat bersaing dengan tentara sekolahan model SBY.  

Mungkin masuk kabinet dan bekerja dari dalam lebih aman dan bisa memberikan terobosan. Dan pilihan serta keputusannya itu terbukti benar. 

Lebih dari itu, sekarang saya menyadari, bahwa Prabowo Subianto sudah banyak berubah. Bukan lagi sosok Prabowo – anak ekonom Prof. DR Soemitro Djojohadikusumo, mantan mantu Presiden Suharto – bagian dari klan Cendana, dalam citra di angan angan saya selama ini.

MELIHAT bagaimana dia begitu bergembira di tengah prajurit sebagai Menteri Pertahanan RI, saya menyadari bahwa panggilan hidup Prabowo memang berada di tengah prajurit. Di antara kerumumnan tentara. Di tengah para serdadu, dia “at home”, nyaman. 

Kekesalan dan ketidak-puasannya, pada masa pencapresan, di luar kubu kekuasaan, adalah dia hanya bisa bergaul dengan “tentara-tentaraan” – milisi berseragam. Dengan berkuda, atau naik jeep, keliling lapangan “inspeksi – inspeksian” di tengah pendukungnya. 

Setelah menjadi Menteri Pertahanan RI dia bisa kembali ke markas tentara yang sesungguhnya - berkesempatan inspeksi pasukan yang sebenarnya. Berada di tengah prajurit yang dulu menjadi bagian perjuangan dan karirnya.

Bahkan baru baru ini mendapat Wing kehormatan usai menjajal pesawat jet tempur F16 milik TNI AU - hal yang mustahil dia dapat jika kukuh berada di luar ring kekuasaan.

Prabowo Subianto telah berubah. Ya. Setidaknya dalam pandangan saya, sebagai pengamat awam. Bahwa perjalanan panjangnya di masa lalu sebagai Danjen Kopassus, sebagai anak mantu keluarga Cendana, sebagai bintang terang perwira militer yang selalu diutamakan dan diistimewakan, mendapat banyak previlige, akhirnya mundur selangkah di bawah presiden era baru. Dan dia menerima dengan legawa.

Nampak segalanya menjadi cerah di mata Prabowo setelah masuk Kabinet Kerja Jokowi. Sudut pandang yang menyeluruh di dalam sidang kabinet – yang mendengarkan pembahasan masalah bangsa dari segala sisi – dari semua pembantu presiden yang ada - membuatnya lebih bijak.

Saya terharu melihat kepatuhannya pada atasan, dalam hal ini Presiden Jokowi. Prabowo memandang Jokowi dengan hormat dan patuh pada perintahnya. Dia paham kedudukan – sadar posisi. Tahu perannya. Lebih dari itu, dia aktif memberikan kesaksian, bagaimana Jokowi bersungguh sungguh dalam membangun bangsa ini dan dia bertekad untuk meneruskannya. 

Tak ada lagi ekpresi kemarahan, tak ada wajah tegang, mimik bersungut sungut, dan gebrak gebrak meja, atau lempar handphone, seperti dulu. Dia makin semringah. 

Dan kini sebagian dari kita melupakan hal hal buruk pada Prabowo. Karena menurut saya dia memang berubah

Jika Sandiaga Uno sebagai wakil Prabowo saatmenjadi Capres – Cawapres, yang sama sama masuk kabinet Jokowi – menegaskan dia memilih meneruskan kebijakan Jokowi ketimbang melakukan perubahan, maka dia bukan hanya mengikuti Prabowo, melainkan memang pilihan rasional berdasarkan fakta yang dia hadapi sehari hari.

Bukan perubahan (Change) yang dibutuhkan bangsa ini - saat ini . Melainkan keberlanjutan (Contiunity). 

Gagasan tawaran perubahan menjadi tak jelas, karena bisa saja berubah menjadi negara Islam, berubah jadi Taliban Afganistan dan terpuruk. Menyusul Yaman, Irak, Suriah, dan Libya.

***