Dahsyatnya Kata-kata

Banyak salah kaprah bermunculan karena menganggap diri sendiri sempurna dan memaksa orang lain mengikuti kita yang merasa lebih sempurna.

Rabu, 25 Mei 2022 | 17:08 WIB
0
117
Dahsyatnya Kata-kata
Mulut (Foto: hops.id)

Mulutmu harimaumu. Suaramu dapat mengubah dunia. Kata-Katamu menyihir dan membuat orang mempercayai segala ucapanmu. Apalagi kata-kata itu berasal dari orang yang ahli agama atau selebriti yang sedang naik daun. Lebih-lebih oleh pemuka agama yang “berani” yang tidak takut manusia menjadi terpecah belah yang sensasi kata-katanya mampu menyihir pengikutnya mengikuti apa yang keluar dari mulut pemuka agama tersebut.

Orang pintar, orang berpendidikan pun akan tersihir oleh pidato dan ajaran-ajarannya yang cenderung menjustifikasi orang lain dan agama lain sebagai sesat dan kafir. Pada siapa saya tidak menuding, tetapi sudah banyak pembaca yang tahu tokoh yang sedang saya bincangkan.

Penulis tidak akan menggiring opini agar pembaca membencinya atau melakukan perlawanan. Semua tertuju pada sebuah refleksi. Refleksi manusia yang masih penuh dosa. Ini bukan ajaran agama, tetapi bagi mereka yang suka merenung, meditasi, akan melakukan semacam koreksi diri.

“Aku sudah mempunyai kelebihankah sehingga bisa dengan gampangnya menyerang dan menuduh orang lain atheis, agnotis,tidak bermoral dan kafir. Mungkin saja memang benar menurutnya bahwa orang yang mempunyai kepercayaan lain itu adalah kafir atau salah di mata kepercayaannya, Ia yang dielu-elukan itu adalah sosok yang berani jujur, mengakui bahwa ia tidak suka dengan liyan, tidak suka dengan kebenaran yang lain. Ia hanya percaya bahwa kebenaran itu mutlak milik keyakinannya, milik agamanya dan yang lain tidak dianggap.”

Apakah benar seorang yang dianggap tidak bertuhan itu lantas moralnya jelek dan perlu diluruskan dengan bergabung dalam salah satu agama yang diakui negara. Apakah kepercayaan pada tanpa tuhan menurut kriteria agama itu salah. Nyatanya dalam kehidupan sekarang agama, jujur malah menjadi biang konflik. Pun pada agama sendiri menjadi sumber perpecahan. Apalagi mendekati tahun politik, di mana banyak politisi perlu merayu pemuka agama untuk menggiring dan memilih tokoh-tokoh yang potensial menjadi penguasa.

Mereka membabi buta untuk menuduh liyan sebagai kafir, tidak bermoral, cacat moral, oligarki. Patokannya jika tidak sesuai dengan kata-kata pemuka agama yang lagi viral yang banyak dipuja, yang sangat berani beda dengan penguasa adalah mereka yang masuk dalam orang-orang yang akan terjeblos dalam neraka jahanam.

Dengan mudah mereka akan menolak dan menganggap apa yang dikonsumsi, dinikmati dan dilihat itu adalah sumber dosa dan perlu dilarang. Banyak hal dilarang, karena banyak pemuka agama terlalu kaku dalam memahami tafsir-tafsir dalam kitab suci. Tidak ada patokan jelas, Semuanya dilihat dari satu kebudayaan asal agama, yang lain tidak diperkenankan dan dianggap tidak sesuai dengan ajaran.

Banyak pemuka agama merasa ia harus menjadi hakim bagi keyakinan lain, menjelek-jelekkan keyakinan lain karena ia percaya itu adalah sebuah misi wajib agar ia bisa meyakinkan pengikutnya agar tidak terseret dalam keyakinan lain.

Ia tidak memperkenankan melakukan refleksi, meneliti diri sendiri, melihat sejauh mana dirinya lebih baik dari liyan. Ia akan berusaha mencari titik lemah orang lain untuk bahan agar pengikutnya fanatik mengikuti ajaran-ajaran dan tafsir yang ia kumandangkan ke semua pengikutnya ke mana dia berada.

Dan ketika ada negara yang tidak berkenan pada ajaran kerasnya yang cenderung radikalis, ia akan melawan dan menggerakkan pengikutnya untuk mengutuk negara yang menolak berdasarkan kebenaran mutlak yang berasal dari kelompoknya sendiri. Bahkan pada orang yang berasal dari satu keyakinan namun yang mengambil jalan lain dengan menghormati, menghargai perbedaan sebagai sebuah anugerah dilawan dan diserang lewat media sosial.

Kebenaran adalah mutlak. Mereka tidak mudah menerima perbedaan, tidak mudah menerima penolakan. Tidak suka basa-basi untuk sekedar mengatakan yuk kita hargai perbedaan dan kita jalin hubungan toleransi yang saling menguntungkan.

Ah, apa gunanya refleksi, jika hanya membuat kamu terlalu lemah dalam keyakinanmu. Ikut saja aku yang begitu percaya diri bahwa surga sudah tergenggam di tangan jika mengikuti segala ajaran dan pengetahuan yang berasal dari diriku.

Jangan mudah percaya pada hubungan baik jika kamu beda keyakinan, selalulah curiga bahwa ada misi jika orang lain yang kebetulan beda keyakinan dan ideologi mendekatimu. Jangan percaya pada hukum jika akhirnya hanya memberi kesempatan orang lain berjaya. Sebab yang paling baik adalah percaya pada saya yang memberi pencerahan dan keyakinan meskipun harus berhadapan dengan penguasa.

Jangan takut marah dan membenci jika karena keyakinanmu kamu harus membela keyakinanmu meskipun dengan jalan membunuh dan merusak. Perbedaan dan toleransi kadang-kadang seperti pedang bermata dua, antara paham munafik dan sebuah ketidakyakinan diri akan keyakinanmu yang meragukan.

Maka ada pemuka agama yang tanpa ragu melawan, dan mencari cara entah lewat referensi dan pengetahuan darimana sehingga bisa membuka titik lemah ajaran-ajaran lain yang memungkinkan dia menjadi pahlawan bagi sebuah keyakinan yang tegas-tegas harus menyingkirkan yang tidak sepaham dengan dirinya. Keyakinannya tidak salah hanya orang lain yang tidak sepaham menganggap ajarannya terlalu radikal untuk diterapkan disebuah negara yang berbeda suku bangsa, bahasa, agama, ras dan kepercayaan lain.

Pada sebuah titik, muncul sebuah pertanyaan yang membuat banyak orang perlu menjauh dari agama. Apakah agama terus menerus hanya akan menjadi sumber konflik. Identitas dibesar-besarkan, simbol-simbol diberi spotlight. Yang semula keindahan itu dinikmati dianggap sebagai anugerah, kekayaan dan keunikan, kini banyak ditutupi agar tidak menimbulkan dosa dan pemicu dari pelecehan-pelecehan yang berakibat merugikan sepihak.

 Kenapa mereka diberi anugerah keindahan tetapi ditutupi dengan hanya karena menimbulkan kerawanan bagi jenis kelamin lain. Keadilan yang manakah yang membebaskan di satu sisi tetapi menjajah di sisi lainnya.

Yang baik sekarang belum tentu baik bagi sekelompok orang, yang benar sebenarnya malah salah di mata yang lain. Membingungkan bukan. Banyak masalah berasal karena kecurigaan yang berlebihan, banyak aturan yang membuat manusia terkungkung tidak berkembang hanya karena ini salah, itu salah. Bukankah kalau salah itu adalah sebuah pembelajaran untuk lebih baik di masa yang akan datang. Kalau terlalu banyak aturan membuat manusia menjadi tidak kreatif, serba ketakutan dan tidak bisa bersaing di tengah majunya zaman yang butuh kebebasan dalam berpikir, kebebasan berekspresi dan berimajinasi.

Jika ada pemuka agama yang selalu menyalahkan pengikutnya dan melarang banyak hal sehingga fokus manusia hanya terkonsentrasi pada salah benar, bagaimana bisa bersaing maju menjadi sebuah bangsa yang berdaulat dan mampu menciptakan kemajuan karena manusia diberi kebebasan untuk memilih  dan menciptakan penemuan baru.

“ Banyak pemuka agama, politikus, pejabat, pemimpin menggiring agar kata-kata bisa mengubah dunia. Ke arah lebih baik juga ke jurang kehancuran. Lihat saja media sosial, lihat saja banyak anak  muda yang sebenarnya cerdas namun tersihir oleh kata-kata pemuka agama sehingga pada akhirnya otak cerdasnya tidak terpakai melainkan malah terjerumus dalam paham radikal, fanatisme buta, siapa yang salah?”

Bijaklah para pemuka agama karena kata-kata kalian dapat merubah yang semula baik menjadi hancur lebur, sebaliknya yang semula buruk berbuah kebaikan. Kebenaran itu relatif, tergantung masing-masing. Keyakinan itu bukan hanya mutlak milik salah satu agama, atau salah satu ormas. JIka karena keyakinan lantas perang dan saling membenci sudah benarkah para pemimpin, pemuka agama mengajarkan kebajikan yang sebenar-benarnya.

Bukan sekedar kerasnya kata-kata tetapi bagaimana setiap orang mampu tergiring untuk melakukan refleksi diri. Tiap orang mempunyai sudut pandang sendiri, mempunyai kenyamanan sendiri, tidak bisa dipaksa untuk mengikuti keyakinan  berdasarkan dalil-dalil milik mayoritas. Semua orang berhak memilih untuk meyakini apa yang membuatnya damai dan nyaman.

Tidak harus memaksa orang lain suka, jika hanya karena pengin dipercaya harus membuat orang lain tampak buruk memandang dirinya apakah benar ia sudah sempurna dari yang lain. Ah. Ternyata pedas juga kata-kata. Aku lebih senang mengkritik diri sendiri daripada terlalu yakin mengkritik orang lain. BIsa jadi pengalaman orang lain lebih banyak dan mempunyai pertimbangan dalam menentukan arah jalan, terkadang kita sendiri terlalu sombong untuk menuntut orang lain sesempurna kita padahal diri sendiri tidak pernah sempurna.

Itulah yang terjadi sekarang, banyak orang karena telah populer dan terkenal  senang menjadi pengendali bagi orang lain, dan menganggap yang berbeda dengan dirinya itu salah dan harus mau mengakui apa yang dianggapnya benar.

Banyak salah kaprah bermunculan karena menganggap diri sendiri sempurna dan memaksa orang lain mengikuti kita yang merasa lebih sempurna. Padahal diri sendiri masih seperti debu, masih seperti orang yang sebenarnya belum sempurna perlu orang lain untuk menyempurnakan diri meskipun manusia tidak akan pernah sempurna.

Salam damai.

***