Penyebab Ketidakbecusan

Ketimpangan ekonomi, iya. Ketidakadilan, iya. Tapi intoleransi orang beragama, jangan-jangan bibit-kawit radikalisme dan terorisme.

Selasa, 31 Desember 2019 | 07:06 WIB
0
339
Penyebab Ketidakbecusan
Ilustrasi (Facebook/Sunardian Wirodono)

Menurut Sitti Zuhro, Peneliti LIPI, masalah terberat dan serius Indonesia bukanlah radikalisme. Melainkan ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi.

Pada sisi lain, Fadli Zon, anggota parlemen dari Gerindra, mengatakan radikalisme hanyalah istilah, atau isyu, juga kambing hitam, yang ditiupkan pemerintah untuk menutupi ketidakecusan. Ketidakbecusan pada? Kira-kira sama persis rumusan Sitti Zuhro.

Benarkah isyu (atau masalah) radikalisme tak penting? Hanya sekedar pengalihan isu, seperti omongan Fadli Zon? Atau karena yang lebih penting adalah soal ketimpangan ekonomi, juga ketidakadilan?

Persoalannya, kenapa baru sekarang? Bukankah ketidakadilan, kemiskinan, ketimpangan ekonomi di Indonesia sejak rezim Soeharto? Bahkan sejak Sukarno? Kenapa saat itu radikalisme tidak muncul? Lagian, bijimana index ekonomi, index korupsi dari Sukarno, Soeharto, Jokowi? Tak ada pertumbuhan?

Atau karena masih bodoh? Belum sadar? Masih alim? Takut digebug? Belum ada tukang kompor? Karena medsos? Kita tak punya kajian serius mengenai hal ini. Jangan-jangan, ‘radikalisme’ yang dimaksud, beda dengan ‘terorisme’ sebagai istilah.

Jangan-jangan radikalisme yang dimaksud lebih pada sentimen agama sebagai alat politik praktis (kekuasaan) belaka? Pada jaman SBY, dan kemudian Jokowi, perubahan isu terorisme ke radikalisme itu terasa. Paska Pilpres 2014, juga Pilgub DKI Jakarta 2017, dan lebih-lebih Pilpres 2019, gradasinya menebal, dan tak selesai.

Masyarakat Indonesia, bukanlah masyarakat terorganisasi. Tak ada pemimpin panutan dan kharismatik, kecuali dengan isu-isu sektoral dan personal. Bukti nyata, di antara elite agama (karena agama juga mengenal kelas), saling silang-pendapat justru paling kuat.

Radikalisme dalam konteks ini, tumbuh karena tafsir agama itu sendiri. Latar belakangnya, adalah kepentingan politik jangka pendek. Menyebut radikalisme tidak penting, menjadi semacam upaya mendistorsi, agar tekanan pemerintah pada gerakan politik atas nama agama dikendorkan.

Jika konon seorang nabi, atas nama agama, ditugaskan memperbaliki akhlak manusia, menjadi pertanyaan; bagaimana hal itu diperankan? Karena jika agama, apapun, dijalankan dengan baik dan benar, serta tidak sombong, rasanya dunia indah semata.

Tak ada saling tuding saling menyalahkan. Tak ada intoleransi. Juga tak ada korupsi dan chatting sex. Kalau elite agama cuma ngomongin bidak catur, terompet, ucapan hari natal dan hari ibu; Slompretlah namanya.

Ketimpangan ekonomi, iya. Ketidakadilan, iya. Tapi intoleransi orang beragama, jangan-jangan bibit-kawit radikalisme dan terorisme. Beragama namun tak mengenal nilai etik kemanusiaan, bukankah itu kegagalan para elite mendidik? Atau bisa jadi malah menunggangi?

Kenapa persoalan ketimpangan ekonomi tak dikorelasikan dengan korupsi? Mengapa penegakan hukum takut pada tekanan majoritas? Mengapa bersikap intoleran, tak adil, tak proporsional sejak dalam kepentingan? 

***