Jokowi–Prabowo Ibarat Lincoln–Seward di AS

Seperti Lincoln, Jokowi memberi jabatan strategis kepada Prabowo: Menteri Pertahanan. Dari sisi anggaran, Kementeri Pertahanan disebut-sebut memiliki anggaran terbesar: Rp 127 triliun.

Rabu, 23 Oktober 2019 | 13:42 WIB
0
675
Jokowi–Prabowo Ibarat Lincoln–Seward di AS
Lincoln-Seward (Foto: forwardky.com)

Ketika Jenderal Naga Bonar diminta menurunkan pangkat anak buah kesayangannya, Mayor Bujang, dia tidak memilih Kapten atau Letnan. Tapi melorot sangat jauh hingga “Sersan Mayor”. “Sudahlah…yang penting Kau ada Mayor-nya,” kilah sang Jenderal ketika si Bujang protes.

Plesetan senada dialamatkan kepada Prabowo Subianto. Karena upayanya untuk menjadi Presiden sejak 2004 selalu gagal, ya sudah, menjadi Pembantu Presiden (Menteri) pun tak apa. Kapan lagi bisa mengabdi kepada Republik, mengingat usia kian beranjak senja.

Ya, memang banyak yang kecewa dengan keputusan Prabowo bersedia menjadi Menteri Pertahanan di kabinet Jokowi. Pendukung militan yang kadung menganggap Prabowo seperti Kesatria langsung berbalik dengan menyebut ‘kucing rumahan’. Sebaliknya para pendukung Jokowi, baik relawan maupun parpol koalisi menyebut langkah tersebut keliru karena membuat koalisi menjadi sangat gemuk. Obesitas.

Tapi apa yang dilakukan Jokowi dan Prabowo bukan tanpa referensi. Untuk dunia politik di tanah air langkah keduanya memang hal baru. Tapi di Amerika Serikat hal semacam itu pernah terjadi, ketika Barack Obama menggandeng rivalnya, Hillary Clinton sebagai Menteri Luar Negeri. Bahkan pada 1860 lebih dramatis. Kala itu Abraham Lincoln yang terpilih sebagai Presiden ke-16 di AS menyadari betul tantangan yang dihadapi untuk memimpin AS. Ancaman perang saudara, Utara dan Selatan, tak bisa dibiarkan.

Lincoln lalu mengutus Wakil Presiden Hannibal Hamlin untuk menjajaki kemungkinkan rivalnya dalam konvensi calon presiden Partai Republik, William Henry Seward, berkenan masuk kabinet. Kursi menteri yang ditawarkan adalah Menteri Luar Negeri. Ini kursi paling bergengsi dan menempati urutan ketiga dalam struktur kekuasaan di AS, setelah Presiden dan Wapres.

Sebagai Senator ulung yang pernah menjadi Gubernur New York, tentu tawaran itu tak serta-merta diterima Seward. Sebagai orang yang kalah, ia tahu diri. Juga punya harga diri. Ia tak mau terjebak, terus berada di bawah komando dan ‘diketiakin’ oleh rival yang amat dibencinya itu. Apalagi Seward merasa dirinya punya kapasitas lebih. Karena itu selama kampanye dia tak cuma melontarkan berbagai kritik, juga cemoohan terhadap pribadi Lincoln. Saking bencinya, Lincoln pernah dikatainya, ‘Monyet’!

Meski tak sesarkastis Seward, selama kampanye Pilpres, Prabowo pun pernah beberapa kali mengkritik dan mengolok-olok sejumlah program Jokowi. Mulai dari Mobil Esemka, tunggakan tagihan BPJS ke rumah sakit, hingga utang luar negeri. Terkait hasil pilpres, Prabowo juga sangat serius melontarkan tudingan adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, massif, dan brutal. Semua tudingan itu berlanjut ke Mahkamah Konstitusi.

Lincoln dengan kesabaran dan jiwa besarnya meyakinkan bahwa tawaran yang diajukan tidak harus diartikan sebagai penaklukan total. Ia tahu lawan politiknya itu sangat membenci dirinya. Tapi, please… ke sampingkan semua yang bersifat pribadi. Utamakan keutuhan negeri. Lincoln membujuk dan meyakinkan Seward secara tertulis.

Pada 28 Desember 1860, Seward akhirnya luluh. Menurut Doris Kearns Goodwin, Lincoln juga mengajak dua seteru lainnya di Republik, yakni Gubernur Ohio Salmon P. Chase dan Edward Bates yang dikenal sebagai negarawan senior dari Missouri. “Chase dijadikan Menteri Keuangan dan Bates sebagai jaksa Agung,” kata penulis buku Team of Rivals: The Political Genius of Abraham Lincoln yang terbit pada 2005 itu.

Seward yang lahir di Florida, New York pada 16 Mei 1801, mengemban tugas sebagai Menlu AS sejak 5 Maret 1861 hingga 4 Maret 1869. Selain menunaikan tugasnya untuk menangani berbagai urusan internasional khususnya selama Perang Sipil, pada 1867 Seward berhasil melakukan negosiasi untuk membeli wilayah Alaska dari Rusia.

Seperti Lincoln, Jokowi pun memberikan jabatan strategis dan prestisius kepada Prabowo: Menteri Pertahanan. Dari sisi anggaran, Kementeri Pertahanan disebut-sebut memiliki anggaran terbesar: Rp 127 triliun. Selain itu ada Edy Prabowo, wakil ketua umum Partai Gerindra, yang diserahi tugas untuk memimpin Kementerian Kelautan.

Lalu, apa sih sebetulnya tantangan yang dihadapi Jokowi-Prabowo?

Memang bukan Civil War seperti di AS, tapi diakui atau tidak, jauh sebelum masa kampanye berlangsung, masyarakat kita sudah terbelah dengan sangat militan. Nah, dengan memimpin Kementerian Pertahanan, Prabowo tak cuma ditantang untuk mewujudkan visi-misinya membangun pertahanan nasional. Menjaga kedaulatan bangsa agar disegani negara-negara lain.

Posisi Prabowo juga dapat dimanfaatkan untuk meredam bahkan memadamkan segala potensi radikalisme yang sudah dumbuh dan merasuk ke berbagai lapisan masyarakat. Memadamkan berbagai hoax yang pernah muncul terhadap Jokowi maupun pemerintah secara umum. Seperti Jokowi Cina, pemerintah menggadaikan kedaulatan ke Cina, dan berbagai isu SARA dan rasisme lainnya. Cilakanya, isu-isu semacama itu ternyata berembus juga di lingkungan para purnawirawan yang loyal kepada Prabowo. Setidaknya dari percakapan grup WA yang pernah saya ikuti.

Tentu ada hal yang tidak perlu terjadi pada Jokowi dan Prabowo seperti dialami Lincoln dan Seward. Kedua tokoh yang berjuang keras mempersatukan Utara dan Selatan dalam Perang Sipil itu menjadi sasaran pembunuhan. Lincoln juga dikenal amat konsen mengangkat wacana emansipasi dan penghapusan perbudakan terhadap kaum kulit hitam.

Dia juga sangat berpihak kepada kaum miskin dengan menerbitkan Homestead Acts. Lewat aturan ini warga miskin dimungkinkan memiliki sepetak tanah dengan harga murah.

Lincoln ditembak mati oleh John Wilkes Booth saat tengah menonton pertunjukan di Teater Ford, 14 April 1865. Di waktu yang sama, Seward yang terbaring sakit di rumahnya luput dari upaya pembunuhan. Dia hanya mengalami luka tusuk pada bagian pipinya.

***