“Quo Vadis” Pemberantasan Korupsi Indonesia?

Tampaknya KPK masih sulit untuk bisa menjadi seperti ICAC jika anggotanya berasal bukan dari masyarakat sipil murni!

Selasa, 10 September 2019 | 17:24 WIB
0
370
“Quo Vadis” Pemberantasan Korupsi Indonesia?
Demo Tolak Revisi UU KPK (Foto: Katadata.co.id)

Adakah yang menarik terkait Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana? Jawabnya: Ada! Coba saja simak pasal-pasal untuk terpidana korupsi dalam RKUHP yang sedang digodok di DPR.

Hukuman bagi koruptor yang diatur dalam sejumlah pasal dalam RKUHP lebih ringan jika dibandingkan dengan yang tertera pada UU Tipikor. Langkah ini jelas bisa membuat korupsi di Indonesia akan semakin marak dan efek jera bagi koruptor akan berkurang.

Setidaknya, ada 3 pasal mengenai pidana dan denda bagi koruptor yang bobot hukumannya lebih ringan daripada pasal-pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pertama, Pasal 604 RKUHP mengenai perbuatan memperkaya diri serta merugikan keuangan negara berisi ancaman hukuman pidana selama 2 tahun penjara. Padahal, Pasal 2 UU Tipikor, hukuman untuk tindakan serupa diganjar kisaran 4 hingga 20 tahun penjara.

“Begitu pula dengan dendanya. Pasal 2 UU Tipikor menetapkan denda paling sedikit Rp 200 juta, namun pada pasal 604 RKUHP dendanya menjadi Rp 10 juta,” ujar Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman, seperti dilansir BBC News Indonesia, Rabu (04/09/2019).

Kedua, Pasal 605 RKUHP yang diambil dari Pasal 3 UU Tipikor tentang penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan negara, sanksi dendanya lebih ringan dari Rp 50 juta menjadi Rp 10 juta.

Ketiga, Dalam Pasal 607 Ayat (2) RKUHP yang diambil dari Pasal 11 UU Tipikor tentang penyelenggara yang menerima suap, ancaman hukumannya menjadi lebih ringan dari paling lama 5 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara.

Pada pasal ini juga, denda terpidana korupsi menjadi Rp 200 juta. Sedangkan denda untuk tindakan serupa diganjar Rp 250 juta pada UU Tipikor. Menurut penilaian Zaenur Rohman,  DPR semestinya mencabut seluruh pasal UU Tipikor dari RKUHP.

Alih-alih revisi pada KUHP, dia justru berharap ada revisi UU Tipikor sebagai penguatan lembaga KPK dengan memasukkan ketentuan dari United Nation Convention Against Corruption (UNCAC).

UU Tipikor belum memenuhi seluruh standar dari UNCAC. Misalnya tentang korupsi di sektor swasta, korupsi yang dilakukan di negara lain. “Ini yang seharusnya diakomodir di dalam peraturan perundang-undangan, bukan malah mengaturnya di RKUHP,” tegasnya.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) akan menjadi kejahatan biasa (ordinary crimes) ketika pasal-pasalnya masuk ke dalam RKUHP.

Kejahatan luar biasa itu antara lain korupsi hingga terorisme yang sudah diatur dalam undang undang khusus. “Karena pengaturan secara rinci sudah ada di UU khusus itu,” ungkap Fickar, seperti dilansir BBC Indonesia, Rabu (04/09/2019).

Jika pasal-pasal dalam UU yang khusus mengatur kejahatan luar biasa masuk dalam RKUHP, tingkat keseriusan dan bobot kejahatannya akan berkurang. “Karena dengan memasukkan ke KUHP, maka itu akan menjadi tindak pidana biasa. Nah, kita keberatan pada itu,” lanjutnya.

Ia menyarankan DPR mencabut seluruh pasal-pasal terkait kejahatan luar biasa yang diatur khusus dari RKUHP. “Sebaiknya, UU extraordinary crimes itu tetap berada di luar KUHP,” kata Fickar. Itulah fakta yang terjadi terkait RKUHP.

Bagaimana dengan Revisi UU KPK? Inilah yang menarik! Ternyata wewenang KPK bakal dipangkas habis. Yang berkuasa di KPK nantinya adalah Dewan Pengawas (DP) KPK. DP inilah yang nantinya akan mengendalikan kinerja KPK. 

Semua proses keputusan KPK tidak bisa langsung dieksekusi lagi. Karena harus “seizin” DP terlebih dahulu. Dengan fakta ini, DPR sudah melemahkan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK menjadi Komisi Perlindungan Korupsi!

Komisi untuk melindungi perilaku korupsi. Jika ini terjadi, jangan salahkan rakyat kalau DPR dituding sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Sehingga perlu untuk diamankan sedemikian rupa sehingga tidak bisa disentuh (ditangkap) KPK.

Atas inisiatif DPR itu, semua fraksi setuju dan sepakat untuk merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, Kamis (5/9/2019). Ada beberapa poin penting yang melemahkan KPK. Pertama, KPK akan dilengkapi Dewan Pengawas (DP).

Kekuasaan DP ini sangat besar atas KPK. Kedua, komisioner KPK harus minta izin ke DP untuk melakukan penyadapan telepon dan penggeledahan. Kalau DP tidak setuju, ya KPK tidak bisa mengeksekusi. Ini jelas bisa disalahgunakan.

Bukan tidak mungkin, bisa saja ada oknum DP membocorkan operasi penyadapan kepada terduga yang mau disadap. Ketiga, KPK boleh menghentikan penyidikan atas sesuatu kasus. Sehingga, bisa diterbitkan semacam SP3.

Melansir tulisan wartawan senior Asyari Usman di fnn.co.id, Jum’at (6/9/2019), yang tidak kalah penting adalah status karyawan KPK yang akan disamakan seperti ASN. Mereka akan menjadi pegawai negeri biasa. Tunduk pada semua aturan tentang ASN.

Revisi ini sangat berbahaya. KPK tidak punya keistimewaan lagi. Hampir pasti OTT tidak akan semudah dan seseru sekarang. Sebab, OTT hanya bisa dilakukan dengan penyadapan telepon. “Ini yang justeru dipangkas oleh DPR,” tulis Asyari Usman.

Siapa yang berkepentingan dengan revisi ini? Semua fraksi setuju. Itu artinya, semua fraksi merasa OTT KPK mengancam kader mereka, baik yang duduk di DPR maupun yang duduk sebagai kepala daerah (gubernur, bupati, atau walikota).

Selama ini, para gubernur dan bupati-walikota yang terkena OTT berasal dari hampir semua fraksi di DPR. Yang paling banyak terkena OTT KPK adalah dari PDIP. Kedua yaitu Golkar. Begitu juga Nasdem, Demokrat, Gerindra, dan lain-lain.

“Jika mau jujur, sebenarnya justru Partai Demokrat-lah yang berada dalam urutan pertama sebagai partai terkorup. Tapi, karena KPK dikuasai oleh Partai Biru, sehingga kadernya masih terlindungi,” ungkap sumber Pepnews.com.

Coba saja silakan petakan siapa saja anggota komisioner yang menjabat sekarang ini. Ketua KPK Agus Rahardjo disebut-sebut sebagai “orangnya” Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Makanya, banyak kader Demokrat yang”lolos”.

Pertanyaannya kemudian, apakah Revisi UU KPK tersebut bukan dirangsang oleh sikap KPK selama ini, yang condong ke Partai Biru SBY? Karena, banyak skandal yang mengarah pada kader SBY, tapi tak diproses oleh KPK, seperti skandal Pelindo.

Tapi, kalau ke kader partai lain, sangat cepat sekali. Sehingga banyak kader partai lain yang ditangkapi. Sementara pada 2018 dan 2019 ini tidak ada kader Demokrat yang ditangkapi. Padahal banyak yang bisa diproses dan ditersangkakan.

Ketua DPP Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) Bambang Sulistomo akan mendukung semua pihak untuk melawan pihak-pihak yang berniat “merongrong” wibawa KPK.

Putra Pahlawan Bung Tomo itu secara tegas menolak upaya pelemahan KPK melalui revisi UU 30/2002 KPK. “Segala upaya pelemahan pada KPK akan berdampak pada pelemahan dan keutuhan NKRI,” katanya kepada Pepnews.com.

KPK adalah lembaga independen untuk menjaga keutuhan NKRI, dan kelahiran KPK atas UU 30/2002, pada akhirnya merupakan bagian dari sejarah kehendak para pendiri bangsa dan upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Tindak pidana korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa, yang berdampak luas pada semua teks jual-beli hukum. Yakni pada proses pemiskinan masyarakat, pada proses ketimpangan sosial ekonomi, pada proses krisis kepercayaan masyarakat.

KPK mendapatkan harapan besar dari masyarakat agar mampu menegakkan kepastian hukum dan keadilan. “IP-KI menolah upaya untuk melemahkan peran dan kekuatan KPK,” tegasnya.

Contohlah Hongkong!

Kalau DPR ingin Revisi UU KPK, maka KPK harus dijadikan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi Hong Kong atau Hong Kong Independent Commission Against Corruption (ICAC). ICAC independen murni sejak pembentukan.

Tidak ada personil polisi dan kejaksaan, masih aktif atau mantan. Semua rekrutmen murni dari sipil sejak awal. Sehingga sepak terjang ICAC sangat ditakuti semua pejabat Hongkong.

ICAC hanya bertanggungjawab soal penangkapan pada Gubernur Hongkong. Bukan mengkonsultasikan pada Gubernur. Proses penyidikan dan penyelidikan juga berdasar investigasi, berdasar masukan warga dan pengawasan terhadap perilaku pejabat dan petugas negara. Bukan berdasar laporan yang diterimanya.

Sehingga yang diburu ICAC murni pelanggaran hukum korupsi. Yang menarik, ICAC juga berhak menangkap Gubernur Hingkong, jika terbukti korupsi. Padahal ICAC bertanggung jawab pada Gubernur Hongkong.

Itulah keistimewaan ICAC yang diadopsi Jepang, FBI, dan banyak negara lain di Asia dan Eropa. ICAC disebut-sebut sebagai lembaga tersukses di dunia memberantas korupsi. ICAC didirikan pada 1974, saat korupsi di Hong Kong demikian masif.

Saat itu, bisa jadi Hong Kong adalah kota terkorup di dunia. Demikian masifnya, di Hong Kong ada hubungan yang erat antara aparat penegak hukum dengan sindikat kejahatan terorganisasi.

Sebut saja perjudian dan narkoba yang saat itu mendapat perlindungan dari oknum-oknum penegak hukum. Saat ICAC dibentuk hanya sedikit yang optimis lembaga ini bisa membawa perubahan. Kebanyak menilai sebagai “Mission Impossible”.

Namun, dalam waktu tiga tahun, ICAC sukses menghukum 247 pejabat pemerintah, termasuk 143 polisi. Dalam Millenium Survey terbaru bahwa pendirian ICAC menempati posisi ke-6 peristiwa terpenting sepanjang 150 tahun sejarah Hong Kong.

Tampaknya KPK masih sulit untuk bisa menjadi seperti ICAC jika anggotanya berasal bukan dari masyarakat sipil murni!

***