Bila agama ingin ditarik ke ranah politik, kedua subjek ini lebih pas diakrabkan secara sosiologis, di mana semua agama dipandang sama dalam kehidupan sosial manusia.
Membincangkan nilai-nilai luhur agama yang diekstraksi ke dalam sistem politik bangsa ini, tentu saja sesuatu penting dan dibutuhkan saat ini. Bahkan, kalau kita tak bisa menggunakan etika universal, barangkali bisa kita ikuti nasihat-nasihat agama dalam berpolitik; yang santun dan beradab, juga menjauhkan diri dari hasrat berkuasa yang sesat.
Khusus untuk para pemimpin, siapapun yang nanti memenangkan Pilpres 2019 ini maupun yang kalah, haruslah menunjukkan sikap-sikap kesalihan politik (asketisme politik), bila perlu mencontoh cara berpolitik pemimpin-pemimpin terdahulu. Yang menang tidak jemawa dan yang kalah tidak dendam, begitulah seharusnya.
Baca Juga: Mengapa Jualan Agama Demikian Laku?
Saya pernah membaca salah satu penggalan pidato Abu Bakar Ash-Shiddiq yang teramat sangat terkenal saat bertugas di hari pertama sebagai Khalifah Islam kala itu? Khalifah Abu Bakar berkata: "Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin, bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semua. Untuk itu, jika aku berbuat baik, bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku."
Khalifah Abu Bakar menunjukkan bahwa seorang pemimpin haruslah asketis (shaleh), populis, dekat dengan rakyat, terbuka dengan kritik dan saran, cerdas membuat keputusan dan cekatan bertindak. Khalifah Abu Bakar tidak mengambil jarak dengan rakyat, bahkan saban hari rakyat bisa menjumpai khalifah di kantornya, Masjid Nabawi.
Begitupun Umar bin Khattab, suatu kali rumahnya diketuk seorang warga yang hendak meminta tolong. Umar yang membuka pintu menjawab pada warga tersebut untuk kembali lagi keesokan harinya karena waktu sudah larut malam. Namun di luar dugaan, sang tamu khalifah itu menjawab: Demi Allah ya Umar, apakah engkau yakin akan hidup sampai esok hari? Seketika air mata Umar menetes deras dan menyilakan tamunya masuk dan mengadu.
Bagaimana dengan pemimpin saat ini, terkhusus di Indonesia? Kalau kita membahas politik kekinian, maka pemimpin yang berani menyelesaikan konflik horizontal secara elegan adalah pemimpin yang nalar politiknya bagus dan jiwa asketisnya mumpuni.
Karena itu, tentu masyarakat berharap kepada para elite politik agar lebih serius melakukan rekonsiliasi sosial masyarakat supaya tak terjadi friksi yang lebih parah pascapemilu dan tidak sibuk membagi-bagi kue kemenangan saja atau gencar merawat keributan akibat kalah dalam kontestasi.
Pemimpin adalah suri tauladan, memimpin dengan tindakan dan hikmah (Dakwah Bil Haal & Dakwah Bil Hikmah), lalu adanya kesesuaian antara janji kampanye dan fakta faktual saat menjabat. Begitupun masyarakat, tidak menyerahkan tampuk legitimasi kepemimpinan begitu saja, tapi melakukan pengawasan kritis sepanjang periode sang pemimpin.
Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1930), menjelaskan konsep asketisme politik sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakan demi kemaslahatan rakyat banyak.
Baca Juga: Alangkah Ribetnya Caramu Beragama
Kita juga tentu mengenal istilah zuhud dalam khazanah sufisme, yang dalam term politik dimaknai sebagai sikap eskapisme atau mengalienasi diri dari syahwat politik, latihan hidup sederhana dan bersahaja. Asketisme politik lebih diarahkan untuk meningkatkan kesalehan berpolitik, baik di tingkat pribadi maupun institusional. Sehingga, agama bukanlah alat politik bagi para pemburu kekuasaan melainkan sebagai alat kendali atas ketimpangan sikap politik.
Kalau kita merujuk pada tesis Marx, rasanya kita tak lagi bisa menyangkal bahwa saat ini agama secara politik praksis difungsikan untuk memelihara status quo suatu kelas sosial yang berkuasa atas kelas sosial lain dalam masyarakat. Agama adalah "candu" kelas elite, dimana dalil-dalilnya digunakan sebagai legitimasi kekuasaan dan mengeksploitasi konstituen.
Lantas, haramkah agama dikorelasikan dengan politik? Tentu tidak. Bila agama ingin ditarik ke ranah politik, maka kedua subjek ini lebih pas diakrabkan secara sosiologis, di mana semua agama dipandang sama dalam kehidupan sosial manusia, termasuk dalam politik.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews